Ambisi Politik Vs Tanggung Jawab Politik
Politik | 2025-09-29 21:01:02Ambisi Politik Vs Tanggung Jawab Politik
Oleh. Rochma Ummu SatirahJokowi telah menyerukan Prabowo-Gibran 2 periode. Dia mulai menginstruksikan relawannya untuk mengawal ide ini. Tentu, besar harapan hal ini bisa tercapai di tahun 2029. Ambisi politik Belum genap setahun Presiden Prabowo menjabat, mantan presiden Jokowi sudah berkoar-koar Prabowo-Gibran 2 periode. Presiden ke-7, Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa dirinya memberikan arahan dukungan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dua periode sejak awal.
Jokowi menegaskan bahwa arahan itu disampaikan dalam pertemuan dengan relawan sejak awal Prabowo-Gibran. Ia mengatakan, dalam pertemuan itu ada relawan yang menanyakan terkait dukungan untuk Prabowo-Gibran, (detik.com/27-09-2025).Tentu saja hal ini menuai respon dari masyarakat. Terlebih, pemerintahan yang saat ini sedang berjalan masihlah terbilang baru. Bahkan, ada banyak isu kenegaraan yang pantas untuk dibahas ketimbang memproyeksikan kontestasi politik 2029.
Beberapa isu kenegaraan yang saat ini banyak berkembang antara lain adalah minimnya lapangan pekerjaan dengan beruntunnya PHK massal belakangan ini; isu MBG yang menelan banyak korban keracunan sehingga sebagian masyarakat menginginkan adanya evaluasi dari kebijakan ini, terlebih anggaran MBG memotong sejumlah besar anggaran pendidikan. Tentunya masih banyak lagi kondisi masyarakat yang membutuhkan perhatian pemerintah dan membutuhkan penyelesaian segera dari pemerintah. Bukan malah berfokus pada penyiapan kekuatan politik untuk pemilu empat tahun ke depan.
Wajah Rakus Kekuasaan
Sangat wajar jika di sistem sekuler kapitalis saat ini, penguasa menjadikan kekuasaannya sebagai ajang untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya. Memperoleh kekuasaan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Sehingga, saat berada di dalam kekuasaan, nyata-nyata yang dilakukan adalah usaha untuk balik modal. Agar semua yang dikeluarkan di masa kampanye kembali, bahkan berlipat-lipat.Sekuler Kapitalis selalu menghalalkan segala cara untuk berhasil pada tujuan, termasuk dalam jalan memperoleh kekuasaan.
Menyuap, mempermainkan hukum dan undang-undang agar sejalan dengan apa yang diinginkan, termasuk bermain curang. Semua menjadi hal yang lumrah dalam kontestasi politik. Setelah berada di puncak kekuasaan, setelah merasakan manisnya jabatan yang mengantarkan pada kemudahan perolehan harta, tentu saja tak ingin segera berakhir. Dilakukanlah segala macam cara untuk mempertahankan kekuasaan ini. Inilah wajah rakus kekuasaan. Menganggap jabatan adalah sarana memperkaya diri dan kolega. Soal tanggung jawab politik, tentu bukanlah prioritas. Hal ini terbukti dari banyaknya kebijakan penguasa yang dirasa tak memihak rakyat. Sebut saja kebijakan naiknya nominal pajak yang benar-benar memberatkan rakyat, naiknya sejumlah harga bahan pokok pangan yang dibutuhkan setiap rakyat sehingga sebagian kesulitan untuk mendapatkannya, dan masih banyak lagi kebijakan yang tidak pro-rakyat.Di lain sisi, beberapa pejabat malah menampakan gaya hidup hedonis serta sering flexing. Mereka hidup bergelimang harta, seringkali pelesir ke luar negeri dengan keluarga, memakai barang-barang branded dengan harga yang tak pernah masuk akal di pemikiran rakyat Sungguh ironi. Rakyat yang harusnya selalu diperjuangkan hanyalah dibutuhkan saat menjelang pemilu. Suara mereka dikejar. Calon penguasa tak malu mengemis suara mereka dengan menampakan manis muka. Setelah jadi penguasa, rakyat tak lagi diperhatikan.Islam Memandang Tanggung Jawab PolitikRealitas penguasa yang tak tamak kekuasaan saat ini jauh berbeda dengan apa yang ditemukan dalam sistem Islam. Jika sekarang, banyak orang yang berlomba-lomba meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, sistem Islam melahirkan orang yang tak pernah rakus pada kekuasaan. Justru, kekuasaan menjadi musibah besar bagi mereka. Salah satunya bisa kita lihat dari pidato pertama kali Khalifah Umar bin Abdul Aziz sesuai pelantikannya. Beliau berkata, "Demi Allah, ini sama sekali bukanlah atas permintaanku, baik secara rahasia ataupun terang-terangan. Taatlah kamu kepadaku selama aku ta’at kepada Allah. Jika aku durhaka kepada Allah, maka tak ada keharusan bagimu untuk taat kepadaku."Setelah beliau menjadi Khalifah, hidup beliau menjadi semakin sederhana. Yang dulunya selalu wangi, beliau pun meninggalkan minyak wangi dan hanya makan dengan roti kering. Setiap harinya digunakan untuk memikirkan umat dan kesejahteraannya. Sampai-sampai tinta emas sejarah mencatat kemakmuran di masa beliau karena tidak ditemukannya mustahik zakat pada saat itu. Harta di Baitul Mal melimpah ruah. Inilah gambaran politik dalam Islam yaitu sebagai realisasi ri'ayah su'unil ummah yaitu pengurusan urusan umat. Penguasa menjadikan kekuasaannya sebagai amanah untuk menerapkan syariat Islam di mana dengan syari'at inilah, Rahmat untuk kehidupan alam ini bisa tercapai. Sistem Islam menjauhkan penguasa dari gila jabatan karena jabatan sesungguhnya adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Setiap pejabat akan ditanyai mengenai pelaksanaan wewenang jabatan itu, apakah sudah dijalankan dengan baik untuk umat atau tidak? Semua ini dibangun atas pondasi ketakwaan kepada Allah Swt. Dengan rasa iman, kekuasaan dijalankan untuk mendapatkan rida Allah. Inilah yang tercipta dalam sistem Islam dalam memandang kekuasaan sebagai bentuk tanggung jawab kepada Allah. Bukan seperti realitas kekuasaan saat ini yang hanya menciptakan wajah-wajah tamak kekuasaan, tapi hilangnya perhatian pada kondisi rakyat. Wallahu'alam bishowab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
