Ketahanan Pangan Bukan Angan-Angan dalam Sistem Islam
Agama | 2024-08-15 19:53:14Penulis: Ariefdhianty Vibie (Pegiat Literasi, Bandung)
Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung bersama sejumlah kolaborator menggelar Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Grand Design Pangan di Hotel Aryaduta, pada Jumat 2 Agustus 2024. Ini merupakan kali pertama OPD Kota Bandung (Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian) merumuskan dokumen dengan melibatkan seratus persen pihak di luar pemerintahan. Adapun kolaborator Pemkot Bandung dalam hal ini, antara lain: Universitas Parahyangan, Rikolto Indonesia, serta Milan Urban Food Policy Pack (MUFPP).
Penjabat Sekretaris Daerah Kota Bandung, Dharmawan menyambut positif kegiatan ini. Menurutnya, kegiatan ini sejalan dengan dukungan Pemkot Bandung terhadap SDGs. Ia menggarisbawahi sejumlah tujuan SDGs yang sejalan dengan Pemkot Bandung, antara lain tanpa kemiskinan, mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan, memperbaiki nutrisi dan mempromosikan pertanian yang berkelanjutan, serta memastikan konsumsi yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
"Ketahanan pangan yang kuat dicirikan oleh kemandirian pangan yang tinggi dalam menjamin penyediaan kebutuhan pangan di tingkat nasional, daerah, maupun rumah tangga," ujar Dharmawan.
Dharmawan juga menyebut, perlu dukungan semua pihak dalam rangka menjaga ketahanan pangan di Kota Bandung. Menurutnya, kegiatan FGD ini sangat diperlukan untuk merumuskan Grand Design Pangan di Kota Bandung (Laman resmi Humas Kota Bandung, 02/08/2024).
Memiliki ketahanan pangan kuat adalah impian semua negara, sehingga wajar jika banyak pihak mencoba mengupayakannya dimulai dari lapisan terbawah, yaitu masyarakat, seperti Kota Bandung dengan programnya Buruan Sae. Pemerintah kota bersama warga mencoba mewujudkan ketahanan pangan meski dengan lahan terbatas di tengah ketidakpastian harga bahan pangan yang senantiasa naik. Yakni memanfaatkan lahan-lahan sempit warga Kota Bandung dengan budidaya penanaman komoditas pangan. Komoditas pangan seperti cabe rawit, bawang merah, tomat dan tanaman sayuran lainnya, ditanam warga sebagai langkah efektif menjaga ketahanan pangan dan pengendalian inflasi. Program Buruan Sae dinilai berhasil menjadi alternatif dalam menyediakan bahan pangan, bahkan sudah meraih penghargaan karena menjadi rujukan ketahanan pangan dunia.
Namun tentunya, program Buruan Sae yang diapresiasi oleh banyak pihak, bahkan sampai tingkat internasional ini hanya sebatas program tumpang tindih lainnya yang tidak solutif. Program dengan kinerja dan hasil yang bagus belum tentu mengantarkan pada solusi yang mengakar selama ditopang dengan politik yang salah.
Pasalnya, di negara yang menerapkan sistem kapitalisme seperti indonesia ini, lebih banyak meminggirkan peran pemerintah dalam mengurusi pangan. Seperti halnya di program Buruan Sae. Pemerintah sedang melempar urusan pangan langsung kepada masyarakat, agar masyarakat sendiri yang mengelola dan memanen hasilnya untuk dikonsumsi. Begitu juga dengan pelibatan pihak asing atau swasta di luar pemerintahan. Bukan tidak mungkin program dikembangkan bersama masyarakat Bandung ini justru akan ‘diambil alih’ dan dimanfaatkan demi kepentingan asing/swasta atas nama kerjasama atau investasi, selalu ada hidden agenda dalam setiap pelibatan pihak asing.Pada akhirnya yang menjadi korban lagi adalah masyarakat kecil.
Lalu, bagaimana mungkin pangan bisa swasembada jika pemerintah tidak hadir?
Negara berdaulat seharusnya mandiri dalam ketahanan pangan skala nasional. Terlebih, Indonesia merupakan negara yang memiliki lahan pertanian yang luas, kaya akan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam. Rasanya aneh, dengan kekayaan agraris luar biasa, Indonesia justru mengalami krisis pangan, masyarakatnya kelaparan, dan mengalami gizi buruk. Jika itu terjadi, berarti ada yang salah dalam tata kelola dan distribusinya.
Keterjaminan pangan sesungguhnya merupakan tanggung jawab negara di setiap wilayah karena pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang mesti dipenuhi individu per individu. Tidak bisa hanya mengandalkan komunitas saja meski didukung oleh banyak pihak.
Dalam Islam, Rasulullah saw. menegaskan, “Imam (Khalifah) raain (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad, Bukhari).
Dari hadis di atas jelas bahwa penguasa adalah pihak yang paling bertanggung jawab menjamin seluruh kebutuhan umat, terutama kebutuhan pangan, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.
Negara wajib evaluasi dan berbenah diri. Arah pandang politik yang kapitalistik mesti diubah dan tidak bersandar kepada politik praktis yang mementingkan cuan semata, melainkan demi kemaslahatan umat. Selain membuat harga barang stabil, negara juga wajib memperhatikan kesejahteraan petani, mendukung penuh segala program agar bisa swasembada pangan, termasuk memberikan pupuk dan bibit murah, lahan produktif, dan memajukan SDM serta teknologi pertanian. Negara juga wajib memberikan sanksi tegas pada pelaku kartel atau penimbun yang membuat harga tidak stabil di pasar.
Oleh karena itu, terwujudnya ketahanan pangan yang kuat hanyalah angan-angan selama masih berkubang dalam sistem kapitalisme. Maka dari itu sudah seharusnya beralih pada sistem Islam kaffah yang diridhoi Allah SWT.
Wallahu'alam bishowab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.