Perlakuan Pajak terhadap Bonus Atlet di Olimpiade Paris 2024: Apakah Sudah Adil?
Info Terkini | 2024-08-15 00:23:33Olimpiade Paris 2024 yang berlangsung dari 26 Juli hingga 11 Agustus 2024 menjadi saksi kehebatan para atlet dari seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sebagai salah satu negara yang turut berpartisipasi, Indonesia berhasil meraih prestasi gemilang dengan membawa pulang dua medali emas dan satu medali perunggu. Veddriq Leonardo memenangkan medali emas dalam cabang olahraga panjat tebing, Rizki Juniansyah meraih emas di angkat besi, dan Gregoria Mariska Tunjung berhasil membawa pulang perunggu dari cabang bulutangkis. Prestasi ini tidak hanya membanggakan bagi bangsa, tetapi juga menimbulkan pertanyaan terkait kebijakan perpajakan atas bonus yang diterima para atlet berprestasi tersebut.
Bonus untuk Para Atlet
Sebagai bentuk apresiasi atas dedikasi dan kerja keras yang telah ditunjukkan oleh para atlet, Presiden Indonesia, Joko Widodo, memberikan bonus khusus kepada mereka. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dengan cepat mengumumkan bahwa bonus yang diberikan kepada para atlet peraih medali ini akan bebas dari pajak. Kebijakan ini seolah menjadi angin segar bagi para atlet, yang sudah bekerja keras mengharumkan nama bangsa di kancah internasional. Tujuannya jelas, yaitu untuk memastikan bahwa para atlet dapat menikmati hasil jerih payah mereka tanpa harus terbebani oleh pajak yang umumnya dikenakan atas pendapatan tambahan seperti ini. Keputusan untuk membebaskan bonus atlet dari pajak memang bukan hal baru di Indonesia. Pada tahun-tahun sebelumnya, kebijakan serupa juga diterapkan untuk atlet yang berprestasi di berbagai ajang internasional. Namun, apakah langkah ini benar-benar adil dan tepat? Sebuah pertanyaan yang patut dipertimbangkan dalam konteks kebijakan perpajakan yang lebih luas.
Pandangan Hukum atas Bonus
Berdasarkan Pasal 4 ayat 1 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh), setiap penghasilan yang diterima atau diperoleh, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, merupakan objek pajak. Penghasilan tersebut termasuk gaji, upah, honorarium, tunjangan, bonus, dan imbalan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Bonus yang diterima oleh atlet, pada dasarnya, merupakan objek pajak yang dikenakan tarif pajak progresif sesuai Pasal 17 UU PPh. Namun, pemerintah mengambil langkah untuk memberikan pengecualian pajak bagi bonus yang diberikan kepada para atlet peraih medali Olimpiade. Hal ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam mendukung dan menghargai prestasi atlet. Langkah pembebasan pajak ini tentu saja disambut baik oleh para atlet dan masyarakat umum. Namun, di sisi lain, hal ini juga menimbulkan perdebatan tentang keadilan dan kesetaraan dalam perlakuan pajak. Mengapa hanya bonus dari pemerintah yang dibebaskan dari pajak? Bagaimana dengan pendapatan lain yang diterima oleh atlet, seperti dari sponsor atau kontrak iklan?
Perlakuan Pajak atas Pendapatan Lainnya
Di luar bonus dari pemerintah, atlet sering kali menerima pendapatan tambahan dari berbagai sumber lain, seperti sponsor dan endorsement. Berbeda dengan bonus dari pemerintah, pendapatan ini tetap dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jika pendapatan tersebut diberikan dalam bentuk tunai, maka dikenakan PPh Pasal 21 dengan tarif progresif sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Tarif PPh Pasal 21 mulai dari 5% hingga 35% tergantung pada jumlah penghasilan kena pajak (PKP) tahunan. Selain itu, jika pendapatan yang diterima berupa royalti dari penggunaan nama atau gambar atlet dalam iklan, maka dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif 15% dari jumlah bruto, sesuai dengan UU HPP. Ini menunjukkan bahwa meskipun bonus dari pemerintah dibebaskan dari pajak, atlet tetap harus membayar pajak atas pendapatan lain yang mereka terima, sering kali jumlahnya tidak kalah besar dari bonus pemerintah.
Hadiah Non-Tunai dan Penghasilan Komersial Lainnya
Selain pendapatan tunai, para atlet juga dapat menerima hadiah non-tunai seperti mobil, perhiasan, atau barang berharga lainnya. Hadiah-hadiah ini juga dianggap sebagai objek pajak dan dikenakan PPh berdasarkan nilai pasar barang tersebut. Nilai pasar dari hadiah ini akan ditambahkan ke total penghasilan atlet dan dikenakan tarif pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17 UU PPh. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pemerintah memberikan kebijakan pengecualian pajak atas bonus, pendapatan lain yang diterima oleh atlet tidak mendapat perlakuan yang sama. Selain itu, atlet juga sering memperoleh pendapatan dari kegiatan komersial lainnya, seperti penampilan di acara publik atau kontrak iklan. Pendapatan dari kegiatan ini dianggap sebagai penghasilan dan dikenakan pajak dengan tarif progresif sesuai dengan jumlah total penghasilan. Biasanya, pihak yang membayar akan memotong PPh 21 sebelum membayar kepada atlet, dan atlet harus memastikan bahwa pemotongan ini tercatat dengan benar dalam laporan pajak tahunan mereka.
Bagaimana Negara Lain Menerapkan Pajak atas Bonus Atlet?
Melihat perlakuan pajak di negara lain, pembebasan pajak atas bonus atlet bukanlah hal yang asing. Misalnya di Amerika Serikat (AS), sejak 2016, AS telah memiliki UU yang membebaskan atlet dari pajak atas medali dan uang yang mereka terima di acara olahraga internasional, asalkan penghasilan mereka di bawah ambang batas yang sudah ditentukan. Di negara lain seperti Filipina, pemerintah juga memberikan insentif pajak bagi atlet yang berprestasi dengan membebaskan pajak atas hadiah dan bonus yang diterima dari kemenangan di ajang internasional, termasuk Olimpiade. Kebijakan-kebijakan ini menunjukkan bahwa banyak negara memahami pentingnya memberikan insentif bagi atlet nasional yang berprestasi di panggung internasional. Namun, di Indonesia, meskipun kebijakan pembebasan pajak atas bonus dari pemerintah telah diterapkan, belum ada aturan khusus yang mengaturnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kesetaraan dan konsistensi dalam kebijakan perpajakan.
Kesimpulan
Keberhasilan para atlet Indonesia di Olimpiade Paris 2024 tidak hanya membawa kebanggaan bagi bangsa, tetapi juga menyoroti perlunya evaluasi kebijakan perpajakan yang berlaku bagi mereka. Pajak atas bonus bisa menimbulkan pandangan yang berbeda di masyarakat. Di satu sisi, banyak yang berpendapat bahwa pembebasan pajak adalah bentuk penghargaan yang layak diberikan kepada atlet yang telah berjuang dan mengharumkan nama bangsa. Namun, di sisi lain, prinsip keadilan pajak harus tetap diperhatikan. Pajak seharusnya tidak memihak satu golongan atau individu, dan harus diterapkan secara adil berdasarkan hukum positif. Dalam konteks ini, pembebasan pajak atas bonus atlet bukan hanya soal teknis perpajakan, tetapi juga tentang bagaimana negara menghargai kontribusi mereka dalam olahraga. Pemerintah perlu terus mengevaluasi dan menyesuaikan kebijakan perpajakan agar sesuai dengan perkembangan zaman serta tetap menjaga integritas sistem perpajakan yang adil dan transparan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.