Merdeka atau Mati
Sastra | 2024-07-29 23:00:50"Sesuatu yang rentan pada ketersinggungan dan ketidaknyamanan, barangkali akan lebih aman bila dijadikan nyanyian dan lawakan," ungkap si Nohes pada suatu ketika, saat bercengkerama dengan si Jhon dan si Paneri.
"Para pejuang dan pahlawan kemerdekaan bangsa Indonesia Nusantara saat berjuang demi mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negeri ini, terkenal dengan pekik motto dan semboyannya, 'merdeka atau mati', sebagai kata-kata yang mengandung ruh semangat untuk melawan imperialisme-kolonialisme yang hendak kembali bercokol di bumi pertiwi," sahut si Jhon.
"Ya, begitu bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945, kemudian mengesahkan Pancasila beserta UUD 1945 sebagai pondasi bangunan negara-bangsa menuju tatanan kehidupan bernegara-berbangsa di segala aspek kehidupannya, 18 Agustus 1945, dalam proses perjalanannya masih menemui aral rintangan yang menghadang. Situasi dan kondisi Indonesia Nusantara di awal pertumbuhan sebagai negara-bangsa yang baru merdeka itu, hendak dimanfaatkan oleh Belanda untuk kembali menjajah, menlanjutkan lagi setelah 350 tahun mencengkeram bumi Indonesia Nusantara ini," timpal si Paneri.
"Studi historis mengungkapkan bahwa Belanda hendak kembali ke Indonesia Nusantara dengan membonceng tentara sekutu yang dimotori oleh Pemerintahan Sipil Hindia Belanda di pengasingan, Netherlands Indies Civil Administration yang disingkat NICA, dideklarasikan di Bisbane, Australia, pasca Belanda ditaklukkan oleh tentara Jepang dalam Perang Dunia 2," kata si Nohes menyambung narasi si Paneri.
"Peristiwa 10 November 1945 adalah tonggak sejarah yang patut untuk dikenang dan dijadikan pelajaran yang berharga bagi bangsa kita, karena betapa pentingnya mempertahankan kemerdekaan yang telah dinyatakan sebagai berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Sehingga meskipun masih dalam keterbatasan sarana dan infrastruktur untuk menjadi negara-bangsa yang berdaulat, maka hanya ada dua pilihan yang dihadapi oleh para perintis, pejuang dan pahlawan kemerdekaan bangsa Indonesia waktu itu, yakni 'merdeka atau mati. Sekali, berarti sesudah itu, mati!' kata penyair Chairil Anwar," ungkap si Jhon.
"Mustinya begitu ya mentalitas para pemegang dan pengendali kebijakan di negeri ini dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia apabila menjiwai semangat yang telah diletakdasarkan oleh para founding father bangsa kita? Artinya, bagaimana seoptimal mungkin menjadi negara-bangsa yang berdaulat dan mandiri di segala bidang, mengikis ketergantungan yang berlebihan kepada negara-bangsa lain. Lha ini, koq terkesan tanpa sedikitpun berpikir akibat dan dampak negatifnya bila terlalu bergantung kepada negara-bangsa lain, yakni terhadap kelangsungan kehidupan negara-bangsa Indonesia seiring dengan potensi, kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki oleh negeri ini," tegas si Paneri kali ini.
"Bro, apakah situasi dan kondisi di negeri ini sudah tak lagi menjiwai semangat yang telah diletakkdasarkan oleh para founding father dengan motto dan semboyan merdeka atau mati?" Tanya si Nohes kepada si Paneri.
"Ya, sampeyan cerna dan sampeyan analisis sendirilah bagaimana fakta realitanya di segenap sendi kehidupan bernegara dan berbangsa di negeri ini," jawab si Paneri.
"Maksudnya, Bro?" Tanya si Jhon tertuju kepada si Paneri.
"Singkat saja ya, Bro? Sekarang, motto dan semboyan 'merdeka atau mati' telah bergeser jauh dan berganti menjadi, 'merdeka atau korupsi sampai mati'," jawab si Paneri.
Si Jhon dan si Nohes pun terperangah menatap kepada si Paneri, tanpa berkata apa-apa lagi. Sementara, si Paneri dengan tenang dan rileksnya nyeruput kopi hitam tubruk sambil menghisap rokok kreteknya dalam-dalam ....
*****
Kota Malang, Juli di hari kedua puluh sembilan, Dua Ribu Dua Puluh Empat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.