Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Slamet Samsoerizal

Isolasi Sosial Kronis Berdampak pada Gangguan Memori Sosial, Solusinya?

Gaya Hidup | Wednesday, 24 Jul 2024, 11:13 WIB
Menyendiri tanpa tujuan bisa mengakibatkan isolasi kronis sosial ([email protected]/SSDarindo)

Sebuah studi baru-baru ini pada tikus menemukan bahwa isolasi sosial kronis mengurangi aktivitas neuron di daerah korteks insular anterior otak. Kondisi ini mengakibatkan gangguan memori sosial. Pengobatan dengan (R)-ketamin menangkal pengurangan ini, memulihkan fungsi memori sosial pada tikus-tikus.

Makalah ini diterbitkan di Molecular Psychiatry. Manusia membutuhkan kontak dengan manusia lain untuk tetap sehat dan menjaga kesehatan mental mereka. Bayi yang baru lahir membutuhkan interaksi dengan manusia untuk mengembangkan kemampuan kognitifnya secara memadai. Isolasi sosial kronis terjadi ketika seseorang memiliki sedikit atau tidak ada kontak dengan orang lain dalam waktu yang lama.

Kondisi ini biasanya disertai dengan perasaan kesepian dan keterputusan hubungan. Isolasi sosial kronis dapat menimbulkan dampak kesehatan mental yang parah, termasuk depresi dan kecemasan. Kondisi ini juga dapat mengakibatkan penurunan kognitif atau gangguan perkembangan kognitif pada anak-anak.

Secara fisik, hal ini dikaitkan dengan peningkatan risiko kondisi seperti penyakit jantung, melemahnya fungsi kekebalan tubuh, dan tingkat kematian yang lebih tinggi. Seiring waktu, kurangnya kontak sosial dapat memperburuk stres dan menyebabkan berkurangnya rasa memiliki tujuan hidup.

Mengutip dari laporan laman psypost.org efek dari isolasi sosial terjadi, karena otak mengubah fungsinya ketika seseorang terpapar pada isolasi sosial yang kronis. Penulis studi Rei Yokoyama dan rekan-rekannya bertujuan untuk memeriksa apakah beberapa perubahan yang merugikan ini dapat diatasi dengan pengobatan farmasi.

Ketamin adalah obat yang terutama digunakan untuk anestesi dan pereda nyeri, tetapi juga digunakan dalam dosis yang lebih rendah untuk efek antidepresan yang bekerja cepat dalam pengobatan depresi dan kondisi kesehatan mental lainnya. Biasanya merupakan campuran dari dua konfigurasi molekul: (R) -ketamin dan (S) -ketamin.

(S) -ketamin umumnya dianggap memiliki potensi anestesi yang lebih besar dan onset kerja yang lebih cepat. Sedangkan (R) -ketamin menarik minat penelitian, karena efek antidepresannya yang berpotensi lebih lama dengan efek samping yang lebih sedikit. Para peneliti secara khusus tertarik pada (R)-ketamin.

Para peneliti melakukan penelitian pada tikus, membaginya menjadi dua kelompok. Satu kelompok tikus dibesarkan dalam isolasi sosial, mulai dari usia tiga minggu, dan dipelihara secara individual selama enam minggu dalam kandang plastik buram. Kelompok lainnya ditempatkan 5-6 ekor per kandang dalam kandang plastik bening dengan ukuran yang sama.

Ketika tikus-tikus tersebut berusia sembilan minggu, para peneliti memulai tes perilaku untuk menilai fungsi kognitif mereka. Mereka melakukan tes untuk mengukur analogi hewan terhadap perasaan tak berdaya (tes berenang paksa), interaksi sosial (tes tiga ruang), dan ingatan (tes ingatan sosial lima percobaan). Setelah tes ini, para peneliti melakukan serangkaian eksperimen fisiologis pada tikus.

Hasilnya menunjukkan bahwa tikus yang dipelihara dalam isolasi sosial menunjukkan fungsi kognitif yang lebih buruk dalam tes memori sosial. Kerusakan ini disertai dengan pola unik berkurangnya aktivitas saraf di korteks insular anterior setelah kontak sosial. Pengobatan dengan (R)-ketamin, tetapi tidak dengan (S)-ketamin, menangkal penurunan aktivitas saraf ini, yang secara efektif memulihkan memori sosial dan kognisi sosial pada tikus-tikus ini.

"Temuan kami tentang kemampuan (R)-ketamin untuk memperbaiki defisit kognitif sosial dapat berkontribusi pada pengembangan pengobatan untuk berbagai gangguan mental yang memiliki defisit kognitif sosial yang serupa," penulis studi menyimpulkan.

Studi ini menunjukkan bahwa 2 konfigurasi molekuler ketamin memiliki efek yang berbeda pada tikus dan (R)-ketamin dapat menangkal efek isolasi sosial. Namun, ini adalah penelitian pada tikus, bukan manusia.

Meskipun tikus dan manusia memiliki banyak kesamaan fisiologis, keduanya merupakan spesies yang sangat berbeda. Oleh karena itu, efeknya pada manusia mungkin tidak sama. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi potensi (R)-ketamin sebagai pengobatan untuk defisit kognitif sosial pada manusia. Uji klinis akan sangat penting untuk menentukan kemanjuran dan keamanannya dalam mengobati gangguan mental yang ditandai dengan defisit serupa. ***

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image