Hidayah dan Kesesatan
Agama | 2024-07-12 05:42:14Dalam Al-Qur'an Surat Al-An'am ayat 125, Allah berfirman:
"Barangsiapa yang dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit".
Ayat ini membuka diskusi mendalam tentang konsep hidayah (petunjuk) dan kesesatan dalam Islam, serta peran kehendak Allah dalam menentukan nasib spiritual manusia. Mari kita telaah lebih dalam makna dan implikasi dari ayat yang kaya akan hikmah ini.
Pertama-tama, penting untuk memahami bahwa ayat ini berbicara tentang kehendak Allah yang mutlak. Ini menunjukkan bahwa Allah memiliki kuasa penuh atas siapa yang akan mendapat petunjuk dan siapa yang akan tersesat. Namun, interpretasi ini tidak boleh disalahartikan sebagai predestinasi yang kaku atau peniadaan kehendak bebas manusia.
Konsep "membukakan dada" untuk Islam mengandung makna yang dalam. Ini bisa diartikan sebagai Allah memberikan kemudahan, kelapangan, dan kesiapan hati untuk menerima ajaran Islam. Ketika seseorang diberi hidayah, ia akan merasakan ketenangan dan kepuasan batin dalam menjalankan ajaran agama. Islam tidak lagi terasa sebagai beban, melainkan menjadi jalan hidup yang menyenangkan dan membebaskan.
Di sisi lain, gambaran "dada yang sempit dan sesak" untuk mereka yang tersesat adalah metafora yang kuat. Ini menggambarkan perasaan tertekan, tidak nyaman, dan kesulitan yang dialami oleh mereka yang menolak kebenaran. Perumpamaan "seakan-akan mendaki ke langit" lebih jauh menekankan betapa sulitnya kondisi spiritual mereka - seolah-olah mereka dipaksa melakukan sesuatu yang mustahil dan menyakitkan.
Namun, pertanyaan kritis muncul: Apakah ini berarti bahwa nasib spiritual seseorang telah ditentukan sepenuhnya oleh Allah, tanpa mempertimbangkan usaha atau pilihan individu? Tentu saja tidak. Ayat ini harus dipahami dalam konteks yang lebih luas dari ajaran Al-Qur'an tentang tanggung jawab manusia dan keadilan Allah.
Al-Qur'an berulang kali menekankan pentingnya ikhtiar (usaha) manusia. Misalnya, dalam Surat Ar-Ra'd ayat 11, Allah berfirman: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri." Ini jelas menunjukkan bahwa manusia memiliki peran aktif dalam menentukan nasib mereka.
Lebih jauh lagi, Al-Qur'an juga menegaskan bahwa Allah Maha Adil dan tidak akan menzalimi hamba-Nya. Dalam Surat Fussilat ayat 46, dinyatakan: "Barangsiapa berbuat baik, maka (pahala) untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa berbuat jahat, maka (dosanya) atas dirinya sendiri. Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba(-Nya)."
Jadi, bagaimana kita mendamaikan konsep kehendak mutlak Allah dengan kebebasan dan tanggung jawab manusia? Jawabannya terletak pada pemahaman yang lebih nuansa tentang konsep "kehendak Allah".
Allah, dalam kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas, telah menciptakan sistem di mana manusia diberi kebebasan untuk memilih, namun konsekuensi dari pilihan tersebut tetap dalam kendali-Nya. Allah mengetahui pilihan yang akan dibuat oleh setiap individu, namun pengetahuan ini tidak menghapus kebebasan pilihan itu sendiri.
Ketika seseorang secara konsisten memilih untuk mencari kebenaran, berusaha mendekatkan diri kepada Allah, dan menjalani hidup dengan ketulusan, maka Allah "membukakan dadanya" untuk Islam. Ini bukan tindakan arbitrer, melainkan respons ilahiah terhadap upaya manusia.
Sebaliknya, ketika seseorang terus-menerus menolak kebenaran, mengabaikan tanda-tanda Allah, dan mengeraskan hatinya, maka Allah "menjadikan dadanya sempit". Ini pun bukan hukuman yang sewenang-wenang, melainkan konsekuensi alami dari pilihan-pilihan yang telah dibuat.
Pemahaman ini sejalan dengan konsep sunnatullah - hukum-hukum Allah yang berlaku di alam semesta. Sama seperti hukum fisika yang mengatur dunia material, ada juga hukum-hukum spiritual yang mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya.
Penting juga untuk dicatat bahwa keadaan spiritual seseorang bukanlah sesuatu yang statis. Sepanjang hidupnya, manusia terus-menerus diberi kesempatan untuk berubah dan berkembang. Seseorang yang sebelumnya tersesat masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan hidayah, sementara mereka yang telah mendapat petunjuk harus terus berjuang untuk mempertahankannya.
Implikasi praktis dari pemahaman ini sangat signifikan. Pertama, ini mendorong kita untuk terus berusaha mendekatkan diri kepada Allah dan mencari kebenaran. Kita tidak boleh berpasrah pada takdir, melainkan harus aktif dalam perjalanan spiritual kita.
Kedua, ini mengajarkan kita untuk tidak menghakimi orang lain. Kita tidak tahu perjalanan spiritual seseorang atau bagaimana Allah bekerja dalam kehidupan mereka. Yang bisa kita lakukan adalah mendoakan dan membimbing mereka dengan kasih sayang, sambil tetap menghormati kebebasan pilihan mereka.
Ketiga, ini mengingatkan kita akan pentingnya rasa syukur. Jika kita merasa telah diberi kemudahan dalam menerima dan menjalankan Islam, itu adalah nikmat besar yang harus kita syukuri, bukan untuk disombongkan.
Terakhir, pemahaman ini memberikan harapan dan motivasi. Tidak ada yang mustahil bagi Allah. Bahkan mereka yang saat ini merasa jauh dari jalan yang lurus masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan hidayah, asalkan mereka membuka hati dan berusaha.
Kesimpulannya, Surat Al-An'am ayat 125 mengajarkan kita tentang kompleksitas hubungan antara kehendak Allah dan pilihan manusia. Ini bukan ayat tentang predestinasi yang kaku, melainkan undangan untuk memahami dinamika spiritual yang mendalam. Ayat ini mendorong kita untuk terus berusaha, berdoa, dan berserah diri kepada Allah, sambil tetap menghargai misteri ilahi dalam perjalanan spiritual setiap individu.
Dalam menghadapi realitas yang kompleks ini, kita diajak untuk menyeimbangkan keyakinan akan kekuasaan mutlak Allah dengan kesadaran akan tanggung jawab pribadi kita. Dengan pemahaman yang matang dan nuansa, ayat ini tidak lagi menjadi sumber kebingungan atau perdebatan, melainkan sumber inspirasi dan pedoman dalam perjalanan spiritual kita menuju ridha Allah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.