Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gili Argenti

Mengenal Sistem Parlementer Era Orde Lama

Sejarah | Thursday, 04 Jul 2024, 08:01 WIB
Kampanye partai Islam Masyumi, salah satu partai terkuat di dalam sistem pemerintahan parlementer

Secara garis besar sistem pemerintahan di dunia terbagi ke dalam dua sistem, yaitu sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensil, meskipun terdapat beberapa negara mengkombinasikan kedua sistem itu, menjadi sistem pemerintahan campuran, tetapi tidak banyak negara melakukannya, umumnya kalau tidak parlementer pilihannya ke presidensil.

Bangsa Indonesia termasuk bangsa kaya pengalaman politik, kita pernah mengalami pergantian periode pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi, juga bongkar pasang sistem pemerintahan, dari presidensil ke parlementer, lalu kembali lagi ke presidensil. Termasuk pergantian bentuk negara dari federalisme ke negara kesatuan, artinya secara pengalaman politik bangsa Indonesia bisa dikatakan sudah mapan bernegara.

Pemerintahan Parlementer

Di dalam sistem pemerintahan parlementer terdapat kepala negara dan kepala pemerintahan, kepala negara tidak memiliki kekuasaan politik yang besar, sebatas simbolis dan seremonial, sebagai icon atau simbol pemersatu bangsa. Kepala negara bisa dijabat oleh presiden, sultan, raja, atau ratu (Syafiie, 2009).

Kemudian terdapat kepala pemerintahan yang dijabat seorang perdana menteri, sosoknya biasanya dari ketua umum partai politik pemenang pemilu, yang berhasil membentuk koalisi pemerintahan di parlemen (legislatif) bersama partai politik lain, kepala pemerintahan ini kemudian dipilih dan diangkat oleh anggota parlemen.

Kepala pemerintahan (perdana menteri) membentuk kabinet, dengan mengangkat para pembantunya (menteri-menteri), biasanya berasal dari partai politik yang menjadi anggota koalisi di parlemen.

Karena perdana menteri diangkat parlemen, maka kebijakan pemerintahannya dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada parlemen yang memilihnya, keunikan dari sistem parlementer, kepala pemerintahan bisa dijatuhkan oleh parlemen ditengah jalan di masa kekuasaanya melalui mosi tidak percaya. Syarat anggota parlemen dapat menjatuhkan seorang kepala pemerintahan, bila perdana menteri dan kabinetnya, mendapatkan dukungan anggota parlemen kurang atau sama dengan 50% dari jumlah anggota parlemen (Rauf, 2009).

Pemerintahan Presidensil

Berbeda dengan sistem parlementer di dalam sistem presidensil jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan tidak terpisah, tetapi disatukan ke dalam jabatan presiden dan wakil presiden, keduanya selain sebagai simbol pemersatu bangsa atau kepala negara, juga kepala pemerintahan yang memiliki kekuasaan politik besar, dalam mengatur dan mengendalikan roda pemerintahan (Noor, 2009).

Di dalam sistem presidensil jabatan presiden dan wakil presiden itu bersifat tetap, tidak bisa dijatuhkan ditengah jalan oleh lembaga legislatif, karena anggota legislatif dan presiden serta wakil presiden sama-sama dipilih langsung oleh rakyat, tidak bisa saling menjatuhkan atau membubarkan satu sama lain, jabatan presiden dan wakil presiden dituntaskan sampai berakhir periode kekuasaannya. Tetapi bila presiden dan wakil presiden melanggar konstitusi, lembaga legislatif bisa memberhentikan (impeachment) presiden atau wakil presiden, dengan syarat terdapat fakta hukum dipersidangan, bahwa presiden atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran pada konstitusi.

Sistem Parlementer di Indonesia

Praksis sistem parlementer di Indonesia terjadi pada masa pemerintahan Orde Lama dari awal kemerdekaan 1945 sampai keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, terdapat beberapa karakteristik sistem parlementer Indonesia ketika itu.

Pertama, sirkulasi pemerintahan dinamis, karena kepala pemerintahan bisa dijatuhkan mudah oleh parlemen lewat mosi tidak percaya, kerap terjadi gonta-ganti perdana menteri dan kabinet, bahkan tidak ada kabinet bisa bertahan sampai dua tahun berkuasa. Hal itu disebabkan di parlemen tidak ada satu partai politik pun bisa mencapai kursi 50%+1, ketika hendak membentuk kabinet maka diperlukan koalisi politik, sayangnya koalisi politik itu tidak bertahan lama, bila terjadi konflik sesama anggota koalisi, satu partai keluar koalisi berakibat dukungan parlemen kepada pemerintah kurang dari 50%.

Kedua, parlemen betul-betul memainkan peran politiknya, partai-partai di parlemen menjalankan fungsi kontrolnya dengan maksimal, setiap kebijakan perdana menteri dan kebinetnya betul-betul diawasi secara ketat, bila terindikasi kesalahan serius akan menyebabkan keluarnya mosi tidak percaya, berdampak jatuhnya perdana menteri dan kabinetnya.

Ketiga, era kejayaan partai politik, bangsa Indonesia betul-betul merasakan sistem politik bercorak liberal, tidak ada batasan pendirian partai politik, masyarakat diberikan ruang kebebasan untuk mendirikan partai politik, berdasarkan pijakan ideologi mereka yakini, maka tidak heran saat itu partai politik lintas ideologi dapat hidup dari kiri, tengah, dan kanan, untuk berkontestasi dalam merebut simpati publik.

Karakteristik sistem pemerintahan parlementer berikutnya adalah Pemilu 1955 dan Politik Aliran.

Pemilihan Umum (Pemilu) 1955

Pemilu 1955 dilaksanakan di bawah pemerintahan Burhanuddin Harahap dari Partai Islam Masyumi, diatas segala keterbatasan ketika itu, pemerintahan di bawah kendali Masyumi sukses menyelenggarakan pesta demokrasi pertama kalinya, terlebih kemudian sejarah mencatat pemilu 1955, merupakan pemilu terbersih yang pernah dilakukan bangsa Indonesia sebelum era reformasi.

Bahkan menurut Maarif (2014) sampai saat ini pemilu 1955 masih menjadi acuan sebagai pemilu yang ideal pernah dikenang dalam sejarah politik Indonesia, karena di tengah pertentangan ideologi politik sangat tajam, pemilu berhasil dilaksanakan dengan sangat demokratis, aman, damai, dan tanpa politik uang.

Menyimak kesaksian Ismail (2014) mengenai pelaksanaan Pemilu 1955, menurutnya pemilu di era Orde Lama ini dihormati oleh dunia internasional, karena di sebut sebagai pemilu paling demokratis dan jujur, terbukti hasil pemilu 1955 tidak diprotes para kontestan pemilu, kemudian masa kampanye dilewati tanpa kekerasan fisik, terutama antara masa pendukung partai Islam dengan pendukung partai kiri, terakhir Pemilu 1955 menyimpan keunikannya tersendiri, terlihat dari partisipasi masyarakat mendorong para tokoh pemuda dinilai jujur dan berintergritas, untuk menjadi anggota legilatif di Jakarta, dengan cara memberikan bantuan materi sebagai modal politik untuk menjadi anggota legislatif.

Pemilu 1955 selain diikuti partai politik memiliki narasi ideologi besar, juga diikuti oleh beberapa partai politik yang didirikan atas ikatan etnis-kesukuan, misalnya di Kalimantan Barat, terdapat Partai Persatuan Dayak yang memperoleh suara signifikan, memperoleh suara kedua terbanyak setelah Masyumi (Haris, 2014).

Pemilu 1955 diadakan dua kali, pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR RI serta tanggal 15 Desember untuk memilih anggota Majelis Konstituante. Para peserta pemilu 1955 merupakan partai-partai yang memiliki basis ideologi serta basis agama yang sangat kuat, kenyataan tersebut menyebabkan sering terjadinya gesekan antara satu partai dengan partai lain, akibat sering terjadi gesekan tersebut mangakibatkan pengkotak-kotakan di tengah-tengah masyarakat mereka terpisah serta di batasi secara tegas ke dalam ikatan-ikatan yang bersifat primordial di sebut politik aliran (Hamdi, 2013).

Politik Aliran

Politik aliran adalah masyarakat terkotak-kotak ke dalam berbagai aliran atau ideologi politik, di dalam studi Feith dan Castles (1988) menjelaskan terdapat lima narasi besar ideologi politik ketika itu, yaitu (1) Islam, (2) Nasionalisme, (3) Sosialis Demokrasi, (4) Tradisionalis Jawa, dan (5) Komunisme.

Kelompok Islam memiliki wadah politiknya, Partai Masyumi dan Partai Nahdlatul Ulama. Kemudian kelompok nasionalis memiliki wadah politik Partai Nasional Indonesia (PNI), sedangkan kelompok kiri terbagi dua varian ideologi, Partai Sosialis Indonesia (PSI) berhaluan sosialisme demokrat (sosdem) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) mewakili komunisme, sedangkan kelompok tradisionalisme jawa ada di masing-masing partai politik.

Selain terbagi ke dalam aliran politik, masyarakat Indonesia khususnya di Pulau Jawa terbagi-bagi ke dalam tiga lapisan budaya, yaitu Abangan, Santri, dan Priyayi (Al-Hamdi, 2013).

Abangan, merupakan kelompok masyarakat yang banyak mengadopsi nilai-nilai tradisi dan budaya animisme serta dinamisme dalam kehidupan keagamaanya. Kelompok masyarakat ini banyak dijumpai di wilayah pedesaan Jawa, meskipun secara formal mereka beragama, namun praktek keagamaanya masih didominasi praktek ritual lokal.

Santri, kelompok Islam yang memusatkan perhatiaanya pada ibadah ritual serta mempraktekan kehidupan agama berdasar Al-Qur’an dan Hadist, kelompok ini terbagi kedalam dua kelompok, tradisional dan modernis. Tradisional berlatarbelakang pesantren, mayoritas tinggal di desa, sedangkan modernis berlatarbelakang pendidikan sekolah, mayoritas tinggal di kota, kedunya memiliki komitmen sangat kuat pada Islam.

Priyayi, kelompok masyarakat yang berasal dari keluarga aristokrat (bangsawan) dan dalam kehidupan sosialnya banyak di warnai nilai-nilai etika Jawa, corak keagamaan mereka banyak di pengaruhi oleh tradisi budaya agama nenek moyang.

Meskipun sistem pemerintahan parlementer pernah mewarnai perjalanan politik bangsa Indonesia, namun sampai detik ini, kita belum pernah mendengar wacana apalagi aspirasi dari kekuatan politik di Indonesia untuk mewacanakan kembali ke sistem ini, mungkin hal itu disebabkan kegagalan partai-partai politik masa itu mempertahankan koalisi pemerintahan di parlemen, menjadi sebab jatuh bangunnya kabinet pemerintahan dan gonta-ganti perdana menteri.

Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA).

Referensi Artikel

1. Al-Hamdi, Ridho. 2013. Partai Politik Islam Teori Dan Praktik Di Indonesia. (Graha Ilmu, Yogyakarta).

2. Feith, Herbert dan Lance Castles. 1988. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 (LP3ES, Jakarta)

3. Haris, Syamsudin. 2014. Partai, Pemilu dan Parlemen Era Reformasi (Buku Obor, Jakarta).

4. Noor, Firman. 2009. Menimbang Masa Depan Presidensil di Indonesia dalam Sistem Presidensil dan Sosok Pemimpin Ideal (Pustaka Pelajar, Yogyakarta).

5. Maarif, Ahmad Syafii. 2014. Pemilu 1955 (Harian Republika, 25 Maret 2014)

6. Rauf, Maswadi. 2009. Evaluasi Sistem Presidensil dalam Sistem Presidensil dan Sosok Pemimpin Ideal (Pustaka Pelajar, Yogyakarta).

7. Syafiie, Inu Kencana. 2009. Sistem Politik Indonesia (Refika Aditama, Bandung).

8. Wawancara Dengan Taufik Islamil : Puisi di Kalbu Kekuasaan (Harian Republika, Tanggal 21 April 2014).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image