Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ghofiruddin Alfian

Topeng-Topeng

Sastra | 2022-01-20 07:49:02
piqsels.com" />
gambar diunduh dari piqsels.com

Topeng-topeng saat ini telah begitu merajalela. Setiap orang begitu gemar berlomba-lomba untuk menampakkan muka yang tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam hatinya atau apa yang sesungguhnya dianutnya. Topeng-topeng itu begitu berkuasa. Topeng-topeng yang dijajakan atau ditawarkan oleh para penguasa itu mampu mengendalikan atau menggerakkan derap langkah pikiran kemudian menyeret tubuh-tubuh, sesuatu yang kasat mata untuk meniru tanpa mempertimbangkan suatu keadaan yang mungkin akan menjadi terbelakang di masa yang akan datang. Topeng-topeng itu telah menyeret manusia ke dalam tingkat keakuan yang begitu akut, yang begitu mementingkan kepentingan pribadi. Bahkan, jika topeng itu sudah berlapis kuadrat, keakuan bisa saja tersamarkan melalui kepedulian yang mampu menggetarkan perasaan insan.

Topeng-topeng itu bisa saja meneteskan air mata, meskipun wajah sesungguhnya sedang terpingkal-pingkal dalam tawa. Saat ini, banyak orang menangis bukan karena rasa, bukan karena benar-benar sedih, bukan karena haru bahagia. Saat ini orang-orang menangis untuk menarik simpati para manusia-manusia yang juga telah tertipu oleh perputaran-perputaran topeng yang telah begitu mengikat selera nafsu. Nafsu yang telah jauh dan dalam membelit kebutuhan-kebutuhan lahiriah manusia yang lambat laun bukan lagi sebuah kebutuhan, tetapi berubah menjadi sebuah keinginan-keinginan. Keinginan yang terus berlipat ganda, berubah menjadi hasrat, mengekang dan sanggup membunuh sekali lipat. Hasrat yang mudah terpukau hanya karena melihat kemolekan pantat.

Mari kita lihat kenyataannya. Untuk menjabarkannya kita akan membuat sebuah perbandingan dalam sistem kasta yang ada pada Hinduisme. Kasta atau tingkatan itu adalah sudra, waisya, ksatria, dan brahmana. Sudra atau golongan yang terdiri dari para gelandangan, gembel, atau fakir miskin itu telah banyak yang terpukau dengan gaya hidup real estate yang sering mereka tonton di layar-layar kaca. Tontonan-tontonan atau topeng-topeng itu telah begitu merasuk ke dalam pikiran dan meracuni perasaan sehingga mau tidak mau yang sedemikian itu adalah standar yang harus selalu diupayakan. Sayangnya, upaya-upaya untuk menuju ke arah standar itu sering dibarengi dengan suatu tindak-tindak kriminal, seperti pencurian, perampokan dan bahkan yang lebih sadis, pembunuhan. Tindakan yang menghasilkan degradasi pada status sosial itu akan semakin mengambinghitamkan individu-individu tersebut. Selanjutnya mereka akan terus terjebak di dalam lingkaran-lingkaran, pusaran-pusaran arus hitam yang membelenggu kebebasan hati nurani yang sebenarnya selalu ingin memancarkan kasih sayang.

Selain degradasi pada status sosial, degradasi juga dapat terjadi dalam tataran moral. Dalam tataran salah-benar, yang dianggap benar bukanlah sesuatu yang berada pada koridor kebaikan atau yang menghasilkan suatu kebaikan. Yang dianggap sebagai suatu kebenaran adalah segala hal yang memberikan keuntungan terhadap dirinya meskipun, seperti yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya, harus berkubang dengan lumpur kejahatan. Dengan kata lain, kejahatan sudah bukan lagi merupakan kejahatan bagi orang yang telah mengalami degradasi moral sedemikian rupa. Dan, tentu saja degradasi moral yang terjadi pada kaum-kaum papa tersebut merupakan suatu berkah bagi pihak yang memiliki status quo. Semua itu bisa dijadikan alasan sebagai legitimasi atas program-program yang semakin memperlebar jurang kesenjangan. Program-program yang hanya mementingkan keuntungan berupa uang atau harta benda yang menjadi aset dunia, namun begitu jauh meminggirkan prinsip-prinsip kemanusiaan dan menganggap kaum-kaum papa itu sebagai orang-orang terbuang, terpinggirkan dan tidak lebih berharga dari seekor hewan piaraan.

Kemudian ada waisya. Waisya adalah golongan para pedagang atau orang yang memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berniaga. Golongan ini sekarang sedang menikmati puncak kejayaan dengan menempati strata tertinggi di dalam tingkatan sosial keduniawian. Meskipun demikian tidak semua pedagang masuk dalam kategori strata tertinggi ini. Strata tertinggi ini hanya dimiliki oleh para pedagang yang memiliki modal atau kapital yang mungkin di dalam pandangan ketakjuban dan pendengaran telinga fana bisa dikatakan tidak terbatas. Ketidak terbatasan itu membuat mereka mampu untuk memproduksi, mendistribusikan hampir segalanya. Dan, dengan hegemoninya yang sudah sangat luar biasa, golongan ini mampu untuk memaksakan orang-orang untuk membeli atau mengonsumsi barang hasil produksinya tanpa merasa lagi terpaksa. Kehebatan dari golongan pedagang yang menempati strata tertinggi ini adalah dalam mempengaruhi pola pikir orang banyak dengan memanfaatkan berbagai teknologi informasi dan komunikasi yang notabene adalah penemuan mereka sendiri.

Di zaman sekarang ini, kebanyakan manusia berlomba-lomba untuk menjadi seorang waisya atau dengan kata lain berusaha menumpuk kekayaan sebanyak mungkin. Jarang sekali kita dapati di zaman yang semakin edan ini orang-orang yang benar-benar berwangsa ksatria. Ksatria berdasarkan pengertian yang sebenar-benarnya, yaitu orang yang berjuang untuk kepentingan umum atau kepentingan orang banyak, bangsa dan negara misalnya. Sedikit sekali saat ini, orang-orang yang bisa dikategorikan sebagai negarawan sejati. Anggota dewan, setelah mengeluarkan begitu banyak modal di pemilihan umum, tentu memiliki pandangan agar supaya bagaimana modal itu bisa kembali dan kalau bisa mendapatkan keuntungan yang lebih. Cara yang bisa diupayakan tentu adalah korupsi terhadap proyek-proyek pembangunan yang menggelontorkan banyak dana. Jadi, jangan heran bila banyak sekali proyek pembangunan yang tidak berjalan atau tidak mencapai target yang dicanangkan. Para negarawan saat ini sudah sangat gemar sekali berdagang.

Eksekutif dan yudikatif pun tidak jauh berbeda. Untuk menjabat sebagai menteri, seseorang harus memiliki daya tawar terhadap kepentingan para pemangku kekuasaan dan yang menggerakkannya dari belakang. Jika visi dan misi orang tersebut berseberangan dengan pihak-pihak tersebut tentu dia tidak akan bisa menjabat, meskipun dia memiliki kapabilitas dan kredibilitas di bidangnya. Dalam posisi tersebut, dia harus menyesuaikan diri dengan kepentingan-kepentingan tersebut atau dengan kata lain dia harus menjual harga dirinya untuk memperoleh suatu jabatan eksekutif yang berkelas dan secara tidak sadar banyak orang-orang ini yang mengorbankan kepentingan rakyat jelata untuk mengeruk kekayaan pribadi. Memang, untuk mengeruk kekayaan pribadi yang sebanyak-banyaknya, seseorang tidak boleh melangkahi pihak-pihak yang sangat berkuasa. Jika sampai berani melangkahi, mungkin bisa dikatakan yang ia dapatkan hanyalah mati.

Para hakim yang merupakan the last man standing untuk menegakkan keadilan pun juga gemar melakukan jual-beli keputusan. Mereka menawarkan keputusan berdasarkan permintaan tertinggi. Siapa yang menawar dengan harga yang tinggi, maka keputusan hakim akan memihak kepada kepentingan si penawar. Jika sudah terjadi seperti ini, maka tidak ada yang namanya keadilan. Keadilan sudah dibuang ke selokan, ditempatkan di dalam comberan-comberan hitam kerakusan manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang telah didapatkan, manusia yang telah dikuasai oleh topeng-topeng setan. Keadilan telah berada di keranjang sampah karena peraturan dibuat untuk memenuhi tuntutan para penguasa dunia, bukan untuk keseimbangan semesta. Keadilan sudah berjalan bungkuk dan terhuyung-huyung karena kebijakan pemerintah telah digerakkan oleh para pemilik modal yang dengan benang-benangnya yang tak kasat mata berhasil menggerakkan derap langkah setiap pemimpin selayaknya boneka atau wayang yang digerakkan oleh sang dalang.

Mungkin di zaman sekarang ini yang masih bisa dikatakan sebagai manusia seutuhnya adalah orang-orang dari golongan brahmana. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada keindahan sejati. Seniman, agamawan, cendekiawan, para ibu rumah tangga, dan para guru yang tulus berkarya atau melakukan sesuatu hal hanya untuk memperoleh ketentraman jiwa dan belaian lembut sang pencipta yang dapat dikategorikan dalam golongan ini. Namun kenyataannya sulit sekali menemukan orang-orang yang seperti itu. Para manusia dengan mental pedagang telah memiliki topeng-topeng untuk menyamar menjadi seorang brahmana. Berapa banyak seniman yang hanya memproduksi karya seni sesuai dengan permintaan pasar tanpa menonjolkan suatu idealisme dengan tingkat estetika yang mumpuni. Ambil saja contoh, para musisi yang sering nongol di layar kaca. Mereka hanya berkarya untuk mendapatkan uang sehingga karya-karya yang dikeluarkan hanyalah karya-karya roman asmara picisan yang di dalamnya mengajak penikmat karya tersebut untuk bermental galau dan kemudian acuh tak acuh terhadap suatu permasalahan yang lebih pelik seperti permasalahan sosial atau permasalahan-permasalahan yang bermuatan filsafat.

Agamawan yang sering nongol atau numpang di layar kaca, televisi ataupun sosial media sungguh sangat diragukan kualitas kebrahmanaannya. Bukan pemahaman terhadap teks-teks yang bersifat infrastruktural yang menjadi masalah. Agamawan yang sering nongol itu pasti memiliki pemahaman yang sangat baik terhadap teks-teks agama yang dijadikan landasan dalam menyampaikan pesan-pesan agama. Masalahnya adalah apakah ada motif tertentu di balik pesan-pesan yang disampaikan tersebut. Apakah mereka itu benar-benar tulus amar ma’ruf nahi munkar. Jawabannya tentu adalah wallohu a’lam. Namun, melihat bagaimana gelimang harta yang didapatkan dan tentu juga fitnah yang ternyata semakin besar setelah para agamawan itu beraksi, justru menimbulkan banyak tanda tanya. Orang-orang seperti mereka itu seharusnya mampu meredam fitnah supaya tidak menjalar menjangkau pelosok perasaan orang awam yang telah terlalu banyak disulitkan dengan pertanyaan apakah esok masih bisa makan.

Cendekiawan pun terlalu banyak yang abal-abal. Berapa banyak mereka yang muncul di atas mimbar menyampaikan teori-teori, mengutip pendapat-pendapat para ahli, dan menggunakan kata-kata, retorika yang memukau rasa, namun sebenarnya mereka hanya sedang mencari uang, mencari harta, dan mencari popularitas. Banyak buku-buku yang ditulis tidak lebih dari sebuah kumpulan pendapat-pendapat dan orang-orang ini hanya merangkumnya. Dan, anehnya buku-buku tersebut laris manis diserbu oleh orang-orang terutama anak muda yang haus akan ilmu. Akhirnya anak-anak muda itu menjadikan cendekiawan tersebut sebagai teladan dalam menelurkan sebuah karya, yaitu cukup ambil sana, comot sini, copy dan paste, semuanya jadi. Dan, tidak sadar mereka telah berubah menjadi generasi pencuri, generasi in-telek, dan bukan intelektual.

Apa boleh dikata? Topeng-topeng memang telah sedemikian berkuasa. Dalam berbagai bidang keduniawian, topeng-topeng tersebut sangat merajelela. Mereka telah menjerat leher manusia-manusia yang haus akan keduniawian dengan begitu kuatnya. Namun, orang-orang yang mau berpikir tentu tahu di mana batas-batas kekuasaan topeng-topeng itu. Ya, topeng-topeng itu tidak akan pernah mampu menjangkau nurani manusia. Nurani itu adalah dua cahaya yang telah ada pada diri manusia, yaitu pikiran dan perasaan. Pikiran bertugas untuk mendeterminasikan salah dan benar. Sementara perasaan berurusan dengan masalah baik dan buruk. Keduanya harus berjalan beriringan. Karena, jika pikiran saja yang diunggulkan, manusia akan terseret kepada kepicikan, kelicikan, kejahatan yang disertai dengan pembenaran. Sebaliknya, jika hanya perasaan yang ditonjolkan, bukan tidak mungkin manusia akan terkoyak-koyak oleh keadaan, oleh pahitnya kenyataan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image