Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Suprianto Haseng

Ketika Tulisanku Dianggap Sampah, Padahal Aku Menulis Untukmu

Rubrik | 2024-06-20 05:55:01
Ilustrasi seseorang sedang menuangkan Ide dan pemikirannya melalui tulisan. Ketika tulisanku dianggap sampah, sedangkan aku menulis untukmu. Sumber Foto: https://www.pexels.com

Hari ini aku ingin berbagi cerita tentang kehidupanku sebagai seorang penulis konten di media digital. Mungkin bagi sebagian orang, apa yang aku lakukan ini dianggap enteng, bahkan sampah. Tapi percayalah, ada banyak hal yang harus kulewati sebagai pekerja kreatif. Aku adalah salah satu dari mereka yang sering dianggap "beban" oleh orang-orang.

Pekerjaan ini bukan hanya tentang menulis kata-kata yang menarik, tetapi juga tentang memikirkan cara-cara untuk membuat ide-ide itu tampil lebih hidup lagi. Setiap hari, aku duduk di depan komputer, menggali ide dari sudut pandang yang berbeda, mencoba menangkap perhatian orang-orang dalam waktu singkat dengan kalimat-kalimat yang tepat.

Tapi, bagi sebagian orang, apa yang aku lakukan ini tidaklah dianggap sebagai pekerjaan sungguhan. "Kamu cuma duduk di depan komputer, nulis-nulis doang," begitulah kata mereka. Mereka tidak tahu betapa sulitnya menciptakan konten yang bisa menginspirasi, menghibur, atau bahkan mengubah cara pandang seseorang.

Aku sering bertanya pada diriku sendiri, apakah ini benar-benar pekerjaan? Apakah semua usaha dan kreativitas yang aku curahkan ke dalam setiap kata tidak bernilai? Terkadang, ketika aku melihat teman-teman yang memiliki pekerjaan konvensional dengan jam kerja yang jelas dan gaji yang menjanjikan, rasa tidak pasti itu merayapi pikiranku.

Tapi, di balik semua keraguan dan ketidakpastian itu, ada satu hal yang aku yakin: bahwa kreativitasku memiliki nilai. Meskipun mungkin tidak terukur dengan cara yang konvensional, tulisan-tulisan ini bisa menyentuh hati orang, bisa membuat mereka tersenyum di tengah kesibukan mereka, atau bahkan memberi mereka dorongan untuk tidak menyerah.

Jadi, ya, mungkin aku dianggap sebagai "beban" karena tidak memiliki pekerjaan yang terlihat nyata bagi sebagian orang. Tapi bagi mereka yang pernah merasa terhibur, terinspirasi, atau mendapat pandangan baru berkat tulisanku, mungkin aku bukanlah beban. Mungkin, aku hanya seorang penulis konten yang mencoba memberi warna pada dunia ini, satu kata-kata per satu kata-kata.

Beginilah kisahku ...

Setiap hari, aku duduk di depan layar komputer, mencurahkan segala ide dan pemikiranku ke dalam deretan kata-kata. Aku menulis tentang apa yang sedang tren, isu yang hangat dibicarakan, bahkan pengalaman pribadiku. Tujuanku sederhana: memberi informasi, hiburan, bahkan inspirasi bagi pembacaku.

Tapi seringkali, tulisanku hanya dianggap sebagai sampah digital yang tidak berguna. Bayangkan betapa sakitnya hatiku saat membaca komentar-komentar pedas di bawah artikelku. "Amatir!", "Gak penting banget sih!", atau yang paling menyayat "Mending cari kerja yang jelas daripada nulis gak jelas gini". Astagfirullah, apa mereka tahu betapa kerasnya aku bekerja untuk menghasilkan tulisan-tulisan itu?

Pernahkah kalian membayangkan betapa sulitnya menjadi seorang penulis lepas? Kami harus terus berpikir kreatif, mengikuti tren, dan menulis secepat kilat demi memenuhi target. Di sela-sela itu, kami juga harus mencari-cari ide segar agar tulisan kami tetap menarik. Belum lagi ketika naskah kami ditolak editor atau mendapat kritik pedas. Percayalah, itu bukan hal yang mudah.

Tapi apa boleh buat, ini adalah pilihan hidupku. Aku memilih menjadi penulis karena ini adalah passion ku. Menulis adalah caraku untuk mengekspresikan diri, membagikan pemikiran, bahkan memberi manfaat bagi orang lain. Jadi tolong, jangan pernah menganggap remeh apa yang kukerjakan. Aku bukan beban, tapi pekerja kreatif yang berusaha memberikan yang terbaik.

Menjadi Penulis di Tengah Gelombang Perubahan

Hidup sebagai pekerja kreatif penulis di masa kini memang tak pernah lepas dari tantangan. Saat industri media digital berkembang pesat, persaingan di antara kami pun semakin ketat. Setiap hari, puluhan, bahkan ratusan konten baru bermunculan, berebut untuk mendapatkan perhatian pembaca.

Di tengah hiruk-pikuk ini, kami dituntut untuk selalu berinovasi, menciptakan konten yang unik dan menarik. Bayangkan betapa frustasinya ketika ide-ide yang susah payah kami munculkan, ternyata sudah ada yang menulis serupa. Kami harus berpikir ekstra keras untuk menemukan sudut pandang baru, mencari celah yang belum tersentuh.

Belum lagi terkait dengan tekanan target yang diberikan editor atau pemilik media. Mereka menginginkan konten yang dapat menghasilkan banyak traffic dan engagement. Sementara kami, sebagai penulis, lebih fokus untuk menghasilkan tulisan yang berkualitas dan bermanfaat bagi pembaca. Tak jarang, kami harus berkompromi antara tuntutan bisnis dan passion menulis kami.

Di sisi lain, kami juga harus beradaptasi dengan tren di dunia digital yang terus berubah. Misalnya, penggunaan media sosial yang kian masif. Kami tak hanya dituntut untuk menulis konten yang menarik, tapi juga mahir dalam mempromosikannya di berbagai platform. Belum lagi, algoritma media sosial yang seringkali membuat kami pusing tujuh keliling. Para content creator pasti sangat paham tentang ini.

Sungguh, menjadi penulis di masa kini tak semudah yang orang bayangkan. Kami tak hanya dihadapkan pada tantangan kreatif, tapi juga tantangan bisnis dan teknologi. Namun, justru itulah yang membuat profesi ini semakin menarik. Kami dituntut untuk terus belajar, berinovasi, dan beradaptasi agar tetap eksis.

Menengok Sahabat-Sahabat yang Memilih Berhenti Menulis

Beberapa waktu belakangan ini, aku menyadari semakin banyak sahabat penulisku yang memutuskan untuk berhenti berkarya. Satu per satu, mereka mulai menghilang dari dunia pertulisanan, memilih untuk fokus pada karir atau pekerjaan lain.

Mengingat hal itu, hatiku terasa miris. Aku tahu betul, menjadi penulis di masa kini tidaklah mudah. Banyak tantangan dan rintangan yang harus dihadapi, mulai dari persaingan ketat, tekanan target, hingga kritik pedas dari pembaca. Namun, siapa sangka hal-hal tersebut justru membuat beberapa temanku menyerah.

Salah satu di antara mereka adalah Wawan, seorang penulis esai yang sangat kucintai karyanya. Dulu, Wawan selalu membagikan tulisan-tulisannya yang indah dan mengena di hati. Namun, sejak beberapa bulan terakhir, ia tak lagi aktif di media sosial maupun blog pribadinya.

Ketika aku mencoba untuk menghubunginya, Wawan bercerita bahwa ia mulai merasa frustasi. Ide-ide yang ia tuangkan seringkali tak mendapat respons yang memuaskan dari pembaca. Begitu juga dari Tim Editor yang kerap kali tulisanya ditolak. Bahkan, tak jarang ia menerima komentar negatif yang menyakitkan hati.

"Mungkin memang bukan jodohku jadi penulis, Kak. Aku capek terus-terusan berjuang sendirian, sementara hasil karyaku tak begitu dihargai," ujarnya dengan nada sedih.

Wawan pun memutuskan untuk fokus pada pekerjaannya sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan. Menulis, yang dulu menjadi hobi dan pelepas stresnya, kini hanya menjadi kenangan.

Cerita Wawan tentu saja mengingatkanku pada pengalaman pahitku sendiri beberapa waktu lalu. Aku sangat memahami situasi dan kondisi ini. Karena aku sendiri juga mengalami hal yang sama. Aku pun sempat terpuruk dan berpikir untuk menyerah. Tapi, entah bagaimana, aku masih memiliki tekad yang kuat untuk terus berkarya.

Sayangnya, tidak semua sahabatku memiliki ketegaran yang sama sepertiku. Beberapa di antara mereka justru memilih jalan yang lebih mudah, yaitu berhenti menulis dan beralih profesi. Mereka merasa lebih nyaman dan aman untuk tidak lagi berhadapan dengan tekanan-tekanan tersebut.

Melihat hal itu, hatiku terasa semakin berat. Aku merindukan tulisan-tulisan mereka yang sarat makna. Aku ingin mereka kembali menemukan semangat dan kecintaan mereka pada dunia tulis-menulis. Namun, aku juga paham, setiap orang memiliki jalan dan pilihan masing-masing.

Karena itu, sebagai sesama penulis, aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk mereka. Semoga suatu hari nanti, ketika rasa lelah dan frustasi itu menghilang, mereka bisa kembali menemukan passion menulis yang telah lama mereka tinggalkan. Bagaimanapun, dunia pertulisanan akan selalu terbuka untuk menyambut mereka kembali.

Inspirasi menulis dari Perjalanan JNE Selama 33 Tahun

Perkataan sahabatku Wawan yang memilih untuk berhenti menulis tentu saja membuatmu merasa terpuruk. Namun, aku teringat akan kisah perjalanan perusahaan pengiriman barang JNE (Jalur Nugraha Ekakurir) telah berdiri kokoh selama 33 tahun. Cerita mereka bisa menjadi sumber inspirasi bagi kita semua, termasuk dirimu yang sedang berjuang di dunia tulis menulis.

Berawal dari sebuah usaha kecil yang didirikan pada 1990, JNE kini telah tumbuh menjadi salah satu perusahaan jasa pengiriman terbesar di Indonesia. Pada awal-awal berdirinya, misalnya, JNE harus bersaing ketat dengan pemain-pemain lama yang sudah lebih dulu mapan di industri ini. Mereka juga harus bekerja keras untuk membangun kepercayaan dan loyalitas pelanggan. Tidak jarang, mereka harus berhadapan dengan kritik dan skeptisme dari masyarakat.

Meskipun sesukses sekarang tak jarang kita dapati masyarakat pengguna Jasa JNE melakukan kritikan pedas atas pelayanan yang diberikan oleh JNE. Aku mengakui, aku juga pernah melakukan hal yang sama. Melakukan kritikan atas keterlambatan paketku. Sungguh hal yang bodoh pernah kulakukan. Aku sadar aku tak pantas melakukan hal itu. Aku sadar diri dimana aku berdomisili jauh dari perkotaan. Aku berada jauh di pelosok negeri perbatasan Indonesia dan Malaysia yang sulit untuk dijangkau.

Namun, alih-alih menyerah, justru semakin termotivasi untuk terus mengembangkan bisnisnya. JNE tak pernah kehilangan semangat dan tekad untuk menjadi yang terbaik di bidangnya. Setiap tantangan yang datang, selalu dijadikan sebagai peluang untuk berinovasi dan meningkatkan layanan.

Berkat kerja keras, inovasi, dan ketangguhan mental yang dimiliki, JNE pun kini telah bertransformasi menjadi raksasa di industri pengiriman barang. Jaringan dan layanannya kian meluas, melayani berbagai kebutuhan pengiriman barang di seluruh Indonesia dan mancanegara.

Kisah perjalanan JNE ini tentu saja sangat menginspirasi. Bagaimana sebuah perusahaan kecil bisa tumbuh besar dan menjadi pemain dominan di industrinya, melewati berbagai tantangan dan rintangan dengan penuh ketangguhan.

Hal ini mengingatkanku pada perjuanganmu di dunia pertulisanan. Seperti JNE, kita juga pasti harus berhadapan dengan banyak tantangan, persaingan ketat, kritikan pedas, serta tekanan untuk terus berprestasi. Tapi, jika kita tak pernah kehilangan semangat dan tekad untuk terus berkarya, siapa tahu suatu hari nanti, namamu juga akan menjadi salah satu penulis terkemuka di negeri ini. Itulah harapanku.

Jadi, jangan menyerah, teman. Jadikan setiap tantangan yang dihadapi sebagai peluang untuk terus berinovasi dan mengembangkan diri. Selalu percaya pada kemampuan diri, lalu terus berkarya dengan sepenuh hati. Siapa tahu, 33 tahun ke depan, nama kita akan menjadi legenda di dunia pertulisanan, seperti JNE yang merajai industri pengiriman barang.

Semangat Tak Kenal Lelah: Belajar dari Perjalanan JNE

Ketika sedang merasa terpuruk dan kehilangan semangat, ingatlah kembali kisah inspiratif dari perjalanan JNE selama 33 tahun ini. Betapa perusahaan itu tak pernah menyerah, selalu bersemangat untuk terus berinovasi dan berkarya demi negeri tercinta.

Seperti yang telah kubahas sebelumnya, JNE berawal dari usaha kecil yang harus bersaing ketat dengan pemain-pemain lama di industri pengiriman barang. Namun, alih-alih menyerah, mereka justru semakin termotivasi untuk terus mengembangkan bisnisnya. Setiap tantangan yang datang, selalu dijadikan sebagai peluang untuk berinovasi dan meningkatkan layanan. Tidak ada kata lelah bagi mereka untuk terus berkarya dan membuktikan diri sebagai yang terbaik.

Berkat tekad yang kuat, kerja keras yang tak kenal henti, serta semangat berinovasi yang selalu dijaga, JNE pun kini bertransformasi menjadi raksasa di industri pengiriman logistik. Mereka telah melayani berbagai kebutuhan pengiriman di seluruh penjuru tanah air.

Nah, coba renungkan kembali perjuanganmu sebagai seorang penulis. Bukankah kita juga pernah menghadapi berbagai tantangan dan rintangan serupa? Kritik pedas, persaingan ketat, bahkan hujatan dari para hater yang ingin menyurutkan semangatmu.

Tapi, sekali lagi, lihatlah apa yang telah dicapai oleh JNE. Mereka tidak pernah menyerah, tidak pernah kehilangan semangat, dan terus berjuang untuk menjadi yang terbaik. Itulah yang seharusnya menjadi teladan bagi kita semua, termasuk dirimu.

Jadi, jangan pernah patah semangat, teman. Jadikan setiap tantangan yang dihadapi sebagai pemicu untuk terus berkarya dan berinovasi. Teruslah menulis dengan sepenuh hati, tak kenal lelah, demi membuktikan kualitasmu sebagai penulis.

Siapa tahu, 33 tahun ke depan, namamu akan menjadi legenda di dunia pertulisanan, seperti halnya JNE di industri pengiriman barang. Teruslah berkarya, teruslah bersemangat, dan yakinlah bahwa kita pasti bisa menjadi yang terbaik. Gass terus semangat kreativitasnya.

#JNE #ConnectingHappiness #JNE33Tahun #JNEContentCompetition2024 #GasssTerusSemangatKreativitasnya

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image