Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Violita Adisty Mutiara Fitri

Budaya Catcalling Semakin Mengakar, Dimana Ruang Aman Bagi Perempuan?

Pendidikan dan Literasi | 2024-06-06 11:34:19
Sumber: "Problema Nona" pada website whiteboardjournal.com

Catcalling merupakan salah satu bentuk perilaku komunikasi verbal dimana pelaku memberikan ekspresi berupa siulan ataupun komentar - komentar mengenai bentuk tubuh korban. Menurut Hidayat dan Setyanto (2020), catcalling merupakan hal yang nyata dan dapat disaksikan menggunakan panca indera. Perilaku catcalling ini sebenarnya telah banyak terjadi sejak zaman dahulu, namun di era sekarang sepertinya hal tersebut menjadi salah satu perilaku yang mulai dinormalisasi. Kebanyakan perilaku catcalling ini membuat korbannya trauma dan menjadi takut untuk berekspresi. Perilaku catcalling ini diartikan dalam KBBI sebagai “panggilan kucing”. Dalam kehidupan nyata, beberapa perempuan seringkali menjadi objek yang rentan mendapat catcalling sehingga membuat tidak nyaman dan membatasi ruang gerak bagi sebagian perempuan ketika berada di publik.

Dilansir melalui survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mulai bulan Januari hingga Juni tahun 2024, terdapat 9.136 total kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia dengan persentase 88% atau sebanyak 7.966 kasus dengan korban perempuan, dan 22% atau sebanyak 2.002 kasus dengan korban laki-laki. Selain itu, berdasarkan hasil survei Komnas Perempuan tahun 2023, menyebutkan bahwa terdapat 1276 kasus kekerasan yang terjadi di ranah publik dan bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan seksual. Total pelaku kekerasan seksual pun berjumlah 6.880, sebanyak 6.118 (89%) berjenis kelamin laki-laki dan 762 (11%) berjenis kelamin perempuan. Bentuk pelecehan yang kebanyakan terjadi yaitu berupa siulan (2.000 kasus), komentar tubuh (934 kasus), main mata (873 kasus), komentar seksual (795 kasus), di klakson (792 kasus), dan disentuh (602 kasus). (Hasil Survey KRPA, 2023). Hal ini tentu saja mengarah pada catcalling karena bentuk catcalling sendiri berupa pelecehan verbal yang dilontarkan oleh pelaku melalui kata-kata. Sesuai dengan data yang ada, diketahui bahwa korban catcalling sebagian besar adalah perempuan dikarenakan adanya perbedaan pandangan terhadap peran laki-laki dan perempuan akibat budaya patriarki yang masih mengakar di Indonesia sehingga melahirkan makna ganda catcalling sebagai gurauan atau pelecehan seksual.

Sebagai seorang perempuan dan mahasiswa, tidak jarang penulis melihat dan mengalami catcalling di ruang publik, khususnya di sekitar kampus. Baru-baru ini, pada pertengahan tahun 2023, terdapat kasus catcalling yang dilakukan oleh mahasiswa laki-laki di salah satu Universitas yang ada di wilayah Jawa Timur. Kasus ini mendapatkan banyak perhatian di platform X dan tidak sedikit juga yang mengecam pelaku catcalling tersebut. Menurut pengakuan korban (NS, 19 tahun) yang merupakan mahasiswa semester dua di Universitas tersebut menyebutkan bahwa pelaku (RM, 19 tahun) merupakan teman satu kelasnya yang selalu memanggil dia dengan panggilan “istriku-istriku”. Mungkin bagi pelaku, panggilan tersebut merupakan candaan semata yang dilontarkan untuk korban, namun berbeda bagi korban, kata-kata tersebut menimbulkan rasa tidak nyaman yang kemudian mengarah pada pelecehan verbal. Tidak hanya itu, dalam thread yang NS tulis di platform X, pelaku (RM) juga kerap kali menjadikan perempuan sebagai “objek” pembicaraannya. Merujuk dari hasil survei KRPA tahun 2023, instansi pendidikan seperti sekolah dan kampus turut menjadi salah satu tempat beraksinya pelaku catcalling. Maka dari itu, tidak bisa dipungkiri bahwa catcalling juga dapat dialami dan dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan sekalipun. Pengalaman mendapat catcalling bukanlah suatu pengalaman baik yang dapat terus diingat melainkan menjadi pengalaman buruk yang dapat memunculkan traumatik bagi korban yang mengalaminya. Selain rasa traumatik, dampak lain yang ditimbulkan dari perilaku ini yaitu adanya rasa takut, cemas, dan khawatir bagi perempuan untuk berekspresi. Bahkan, jika korban mengalami catcalling secara berulang-ulang, juga dapat berdampak pada gangguan psikologis yang berujung pada keinginan enggan lagi untuk hidup.

Upaya memberantas perilaku catcalling ini masih tergolong sedikit. Saat terjadi catcalling, seringkali orang yang melihat dan mendengarnya bersikap acuh tak acuh serta menormalisasi adanya pelecehan verbal tersebut, menganggapnya sebagai sebuah candaan. Pemberian edukasi serta penanaman nilai-nilai moral seharusnya diberikan oleh sekolah, baik di tingkat sekolah dasar maupun di tingkat sekolah menengah atas, sampai di tingkat universitas dalam upaya mencegah terjadinya catcalling di lingkungan sekitar. Di Indonesia sendiri, hanya ada hukum tertulis mengenai tindakan pelecehan atau kekerasan seksual secara fisik saja, namun belum ada hukum atau aturan tertulis spesifik yang diberikan bagi pelaku catcalling. Maka dari itu, diperlukan tindakan tegas secara hukum terkait pelaku catcalling ini demi menciptakan ruang aman bagi sebagian besar perempuan yang telah menjadi korban.

Dapat disimpulkan bahwa perilaku catcalling ini merupakan salah satu bentuk pelecehan seksual yang dilontarkan secara verbal melalui kata-kata. Catcalling ini merupakan hasil dari produk budaya patriarki yang masih mengakar di Indonesia. Tak sedikit perempuan yang menjadi korban dari perilaku catcalling ini dan menimbulkan dampak psikologis bagi perempuan yang mengalaminya. Fenomena catcalling yang terjadi masa kini merupakan salah satu bentuk degredasi moralitas serta tidak sesuai dengan nilai-nilai yang mencerminkan orang terpelajar. Untuk meminimalisir adanya catcalling, juga diperlukan penanaman nilai-nilai moral serta tindakan tegas melalui hukum tertulis yang berisi hukuman bagi pelaku catcalling.

REFERENSI

Angeline Hidayat, Y. S. (2019). Fenomena Catcalling sebagai Bentuk Pelecehan Seksual secara Verbal terhadap Perempuan di Jakarta. Koneksi Vol.3 No.2 , 485-486.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. (2023). Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Publik dan Negara: Minimnya Pelindungan dan Pemulihan. Lembar Fakta Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2023.

Saffana Zahro Qila, R. N. (2021). Catcalling as a Traumatic Form of Sexual Harassment. Jurnal Mahasiswa Komunikasi Cantrik, 95-106.

Syukri, W. N. (2021). Persepsi Mahasiswa Terhadap Aktivitas Catcalling di Lingkungan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar. Jurnal Komunikasi dan Organisasi (J-KO) Volume 3, Nomor 2, 38-48.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image