Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Tenia Vigu

Moralitas dan Empati dalam Film Vina Sebelum 7 Hari

Eduaksi | 2024-06-03 21:02:54

Eksploitasi Tragedi: Perspektif Etika dan Empati

Salah satu alasan utama film "Vina Sebelum 7 Hari" dikecam adalah karena dianggap tidak beretika. Mengangkat kisah nyata yang tragis untuk keuntungan komersial dinilai banyak orang sebagai tindakan yang tidak memiliki empati. Dari sudut pandang psikologi, empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang orang lain rasakan. Carl Rogers, seorang psikolog humanistik, mengatakan bahwa empati adalah komponen kunci dalam hubungan manusia yang sehat. Ketika film ini dianggap tidak menunjukkan empati kepada korban dan keluarganya, maka film ini dinilai gagal dalam aspek etika.

Pengaruh Media Terhadap Persepsi Kekerasan

Media memiliki kekuatan besar dalam membentuk persepsi kita terhadap dunia. George Gerbner mengembangkan teori yang disebut "Cultivation Theory", yang menjelaskan bahwa paparan berulang terhadap kekerasan di media dapat membuat kita terbiasa dan kurang sensitif terhadap kekerasan nyata. Dalam kasus "Vina Sebelum 7 Hari", adegan kekerasan seksual yang eksplisit bisa membuat penonton terbiasa melihat kekerasan sehingga kehilangan rasa empati terhadap korban kekerasan nyata. Hal ini bisa berdampak buruk karena masyarakat bisa menjadi kurang peka terhadap penderitaan orang lain.

Trauma dan Representasi: Perspektif Teori Trauma

Judith Herman, dalam bukunya "Trauma and Recovery", menjelaskan bahwa penggambaran kejadian traumatis yang tidak sensitif bisa memperburuk kondisi mental korban atau penyintas. Bagi orang yang pernah mengalami kekerasan seksual, menonton adegan seperti yang ditampilkan dalam "Vina Sebelum 7 Hari" bisa memicu kembali trauma yang sudah mereka alami. Hal ini bisa menyebabkan flashback, mimpi buruk, dan berbagai gejala PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder).

Dampak pada Keluarga Korban

Keluarga korban dalam kasus ini sudah memberikan izin untuk pembuatan film. Namun, keputusan ini mungkin merupakan bagian dari proses mereka dalam menghadapi trauma dan kehilangan. Elisabeth Kübler-Ross mengembangkan model lima tahap kesedihan yang meliputi penyangkalan, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Mungkin dengan memberikan izin, keluarga korban mencoba untuk mencari makna dari tragedi yang menimpa mereka dan menemukan cara untuk melanjutkan hidup.

Representasi Kekerasan dan Moralitas dalam Seni

Selain itu, representasi kekerasan dalam seni juga menimbulkan pertanyaan tentang moralitas. Apakah boleh menggunakan tragedi nyata untuk hiburan? Ernest Becker dalam bukunya "The Denial of Death" berargumen bahwa manusia memiliki dorongan untuk mencari makna dalam hidup mereka, dan salah satu cara untuk melakukannya adalah melalui seni. Namun, seni juga harus bertanggung jawab dan menunjukkan sensitivitas terhadap pengalaman nyata orang-orang.

Kesimpulannya, "Vina Sebelum 7 Hari" memicu diskusi yang penting tentang bagaimana media menggambarkan kekerasan dan trauma. Dari perspektif psikologis, penting untuk mempertimbangkan dampak dari representasi semacam ini pada penonton dan keluarga korban. Pendekatan yang lebih empatik dan sensitif diperlukan agar media tidak hanya mengejar keuntungan komersial tetapi juga menghormati martabat dan perasaan korban serta keluarganya. Memahami dan menghargai sensitivitas terhadap pengalaman tragis nyata adalah kunci untuk menjaga integritas dan etika dalam seni dan media.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image