Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yudhi Hertanto

Omicron dan Pelajaran Bagi Kita

Politik | 2022-01-14 09:02:14
republika.co.id

Gentayangan. Hantu dari varian baru mutasi virus Corona berjenis Omicron kini menjadi persoalan baru, seolah memperpanjang nafas pandemi. Tidak henti dirundung malang, status darurat kesehatan belum kunjung selesai, di ranah politik lantas disikapi dengan usulan untuk memperpanjang kekuasaan.

Tekanan Omicron, tentu harus dipandang dalam kerangka ilmiah sebagai sebuah mekanisme pembentuk keseimbangan relasi manusia sebagai inang dan virus. Tetapi kemunculan ini sekaligus mendorong upaya untuk memahami, lebih dari sekedar menjelaskan fenomena pandemi.

Kita tentu tidak dapat memandang Omicron, hanya sebagai varian flu dari Sub-Sahara Afrika, tetapi juga memperhatikan secara serius persoalan ketimpangan ketahanan kesehatan. Sebaran penyakit menular dengan sebaran kecepatan tinggi tidak memandang negara maju maupun miskin.

Prinsipnya, no one si safe until everyone is. Dengan begitu, upaya penanganan bersama diperlukan. Dibutuhkan respon global, namun pada realitanya sulit membuat kredo tersebut membumi. Kolaborasi antar bangsa dengan nama misi kemanusiaan, masih jauh dari terjadi.

Ilmu pengetahuan terus melakukan update atas fenomena pandemi. Kita berada disituasi dimana kemampuan untuk menjelaskan relasi kausalitas, yang menjadi ciri khas ilmu alam menghadapi keterbatasan besar dalam menerangkan sebuah kejadian. Corak khas manusia -bounded rationality.

Sementara itu, ditingkat lokal, sumberdaya pengetahuan kita dalam kerangka lembaga penelitian nasional mengalami guncangan akibat sentralisasi dan kericuhan akibat invisible hand. Kepentingan penelitian untuk keluar dari pandemi, dipaksa selaras dalam kerangka politik serta ideologis.

Pelajaran penting dari perkara pandemi, sesungguhnya bukan melulu tentang pengetahuan ilmiah mengenai virus dan ekosistemnya, ini tentang manusia dan kehidupan sosial, melihat perilaku dan respon umat manusia, atas sebuah permasalahan bersama yang mengancam eksistensinya.

Bahwa dalam paparan pandemi, berbagai sektor secara serta-merta ikut terhimpit, maka hal itu tidak terkecuali mengenai manusia dan mobilitas ekonominya, berhadapan dengan pemaknaan akan solidaritas dan nilai kemanusiaan itu sendiri.

Episode pandemi dalam lakon Omicron, adalah sebuah kelanjutan dari momen kontemplatif manusia untuk kembali berpikir reflektif. Bahwa yang normal adalah ketidaknormalan, situasi ketidakmenentuan adalah sebuah kenyataan, dan dalam kondisi tersebut yang seharusnya muncul adalah kesadaran.

Kita menyadari bahwa kita tidak bisa hidup tanpa keberadaan pihak lain, sejatinya kita adalah makhluk sosial, maka disiplin dalam menjaga protokol sehat menjadi mutlak. Kewarasan adalah padanan yang harus dijaga, agar kita mampu mencerna secara kritis apa yang terselubung dari sebuah peristiwa.

Pada kajian Saifur Rohman, Berpikir Kritis, 2021 dinyatakan bahwa kita harus berupaya untuk mencapai kebenaran dari situasi yang berlimpah informasi, mendekatkan akar berpikir secara kritis untuk memisahkan perkara pokok tentang hal benar dari pengacau serta pengotornya.

Dalam ancaman baru Omicron, maka kita perlu mengasah daya nalar. Sekali lagi, pandemi bukan hanya tentang virus, ini tentang perilaku manusia sepanjang sejarah kehidupannya. Kita jelas melihat beragam sifat dasar serta karakter manusia di dalam pandemi, secara hitam-putih.

Sebagaimana film Netflix, Don’t Look Up, 2021 yang menggambarkan tentang ambisi politik mengalahkan daya kritis pengetahuan. Relasi kuasa bertindak, para ilmuwan tumpul dihadapan para elite dan aktor politik, menjadikannya sebagai alat untuk memoles citra.

Satu yang nampak mengkhawatirkan, kita tidak henti-hentinya menolak untuk belajar dari kearifan pengalaman pandemi, serakah dan berpikir tentang kuasa. Disaat yang sama tengah berjuang untuk bersiap akan pandemi selanjutnya.

Semoga saja Omicron membuat kita kembali berpikir ulang tentang manusia dan kemanusiaan, hingga akhirnya pandemi segera berlalu.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image