Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Angga Adi Prasetya

Berbeda Bukan untuk Bermusuhan

Dunia islam | Saturday, 03 Feb 2024, 08:09 WIB
Image:Kompasiana

kita ketahui bersama bahwa pada saat ini kita tengah memasuki tahun politik. Dalam pekan-pekan terakhir ini, kita memperhatikan diskusi, gagasan, dan dinamika para calon pemimpin kita. Begitu juga di sekeliling kita sudah banyak gambar-gambar yang konon katanya menjadi wakil kita dalam bernegara.

Puncaknya adalah pada bulan Februari tahun 2024 nanti yang akan menjadi titik tolak bagaimana nasib negara ini selama lima tahun ke depan. Satu hal yang penting disorot dari fenomena ini adalah apa dan bagaimana situasi dan kondisi pesta demokrasi pada lima tahun silam, tepatnya tahun 2019. Sejenak kita mengingat-ingat kembali pada tahun tersebut.

Ya, betul, pada tahun tersebut media sosial kita dipenuhi dengan keributan, cacian, dan perkataan-perkataan yang tidak sepantasnya keluar dari kelompok masyarakat yang menjunjung tinggi norma-norma agama dan etika moral. Bahkan, tidak sedikit antar sesama sanak saudara, tetangga, dan teman yang terputus hubungannya hanya perbedaan pilihan politik. Pertanyaannya: apakah kita akan mengulanginya kembali pada tahun ini?

Allah berfirman dalam al-Baqarah ayat 66:
فَجَعَلْنَاهَا نَكَالًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهَا وَمَا خَلْفَهَا وَمَوْعِظَةً لِلْمُتَّقِينَ

Artinya: “Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.

Bila kita melihat cita-cita yang diinginkan Islam, kita akan menemukan banyak dalil bahwa Islam menyuruh umatnya untuk menjaga persatuan dan menjauhi perpecahan.
Misalnya dalam surat Ali Imran ayat 103 disebutkan:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
Artinya: “Dan berpeganglah kalian semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika dahulu (masa Jahiliyah) kalian bermusuh-musuhan, kemudian Allah mempersatukan hati kalian, sehingga menjadilah kalian dengan nikmat Allah sebagai orang-orang yang bersaudara.” Kata Syekh Wahbah al-Zuhaili, setidaknya ada dua pesan utama dari ayat ini yakni
(1) perintah untuk berpegang teguh pada agama Allah, (2) larangan bercerai-berai setelah bersatu di bawah agama-Nya. Ayat ini memang hendak memperingatkan para sahabat saat itu, yang awal mulanya bermusuhan kemudian berdamai dengan sama-sama menganut agama Islam.

Ini menunjukkan bila yang sebelumnya pernah bermusuhan kemudian bersatu dalam keyakinan, maka disuruh untuk tidak berpecah apalagi yang telah memeluk agama Islam sejak lahir seperti kita.
Oleh karena itu, pada ayat lain dipertegas juga bahwa orang-orang beriman itu saling bersaudara. Hal ini sebagaimana dalam surat al-Hujurat ayat 10:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudara kalian itu.”
Lumrahnya orang bersaudara akan berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga dan merawat hubungannya agar tetap akur, rukun, dan guyub.

Begitu juga saat ada masalah atau perbedaan pandangan antar sesama saudara maka akan mencari jalan keluar agar tidak sampai memutus tali persaudaraan. Terlebih bila sesama orang beriman, yang pondasi kehidupannya sama-sama berlandaskan pada kepercayaan kepada Dzat yang Esa sehingga sudah sepantasnya persatuan lebih diutamakan ketimbang perpecahan.

Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan sahabatnya berangkat ke perkampungan Bani Quraidzah, lalu para sahabat berkata : yaa Rasulallah sebentar lagi masuk waktu Ashar, lebih baik kita shalat Ashar dulu, setelah itu kita berangkat, kata Nabi: tidak, kalian berangkat sekarang juga
لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضَهُمْ الْعَصْرُ فِي الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ

Intinya, Nabi menekankan: kalian tidak boleh ada yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidzah. Dalam perjalanan, tidak ada yang berani shalat Ashar, namun setelah matahari hampir terbenam dan merekapun belum sampai ke perkampungan Bani Quraidzah, muncullah perbedaan pendapat di antara para sahabat, mereka terpecah menjadi dua kelompok.

Kelompok pertama mengatakan: Tadi waktu di Madinah kita tunda shalat Ashar karena waktunya masih sangat luas, sekarang waktunya sudah mau habis, sebaiknya kita berhenti shalat dulu, setelah itu kita teruskan perjalanan. Alasannya: bahwa Sholat Ashar itu fardu ain, kalau kita tinggalkan berdosa, dan apa sih susahnya shalat dulu kemudian menlanjutkan perjalanan.

Sementara kelompok kedua mengatakan: Tidak bisa, kata Nabi:

لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ

Ini berarti walaupun sudah masuk waktu maghrib, waktu isya sekalipun, kita tidak boleh shalat Ashar, shalatnya nanti kita ganti ketika sudah sampai di perkampungan Bani Quraidzah, sebab begitulah bunyi perintah dan ketentuan dari Nabi.

Kira-kira, kalau kita ada di tengah mereka, kita mengikuti kelompok yang mana? Yang berhenti shalat Ashar dulu, atau yang jalan terus? Ini kisah sangat menarik untuk menyebutkan contoh bagaimana perbedaan pendapat yang terjadi langsung di hadapan Nabi sendiri, karena sampai para sahabat itu pulang ke Madinah, urusan shalat Ashar yang benar seperti apa itu belum selesai. Mereka saling melaporkan kepada Nabi dan saling mengklaim kebenaran pendapatnya. Kemudian Nabi menengahi:

فَذْگِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيهِ وَ سَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْحُمْ

Kata Nabi SAW, kelompok yang berhenti shalat Ashar baru kemudian meneruskan perjalanan, itu pendapatnya benar. Dan kelompok yang jalan terus dan tidak shalat kecuali setelah sampai di perkampungan Bani Quraidzah, kata Nabi kalian juga benar, jadi dua-duanya benar dan tidak ada yang salah. Lalu kenapa kita ribut merasa kita yang paling benar, orang lain kalau tidak sama dengan kita bawaannya ingin disalah- salahin, ternyata oleh Nabi juga dibenarkan.

Inilah yang perlu kita fahami saat ini, karena ummat Islam kadang tidak tau siapa saudara, siapa kawan dan siapa lawan, akhirnya yang seharusnya dijadikan saudara malah dijadikan lawan.

Saudara kita adalah, siapa saja yang bertauhid, berkeyakinan dan beraqidah tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Nabi dan Rasul Allah, penutup para nabi, apapun kelompoknya dia adalah saudara kita, meskipun kita berbeda, Sesungguhnya kita hanya berbeda sudut pandang saja, Inshaa Allah masuk syurga semua, asal saling menghargai, saling menghormati, lisannya dijaga, tidak saling mencaci dan tidak saling mengkafirkan.

Acapkali terjadi lantaran beda pendapat kita saling mencaci, menyesatkan, bahkan saling mengkafirkan, kata-kata kasarpun dikeluarkan untuk menunjukkan ketidak-setujuan terhadap pendapat yang dilontarkan orang lain. Padahal berkata kasar dalam Islam sangat dilarang, apalagi bila kata kasar itu menyakiti orang lain:

المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسلِمُونَ مِنْ لِسَا نِهِ وَيَدِهِ

Artinya : “Muslim adalah orang yang mampu menjaga orang lain dari lisan dan tangannya”.

Seorang Muslim mustinya bisa menahan diri dan tidak mengeluarkan kata atau kalimat yang menyakiti hati orang lain karena pada hakikatnya Islam itu adalah penyelamatan, kedamaian dan keamanan. Tidak ada gunanya beragama tetapi orang lain selalu terganggu dengan kehadiran kita.

Ini terus terang kami sampaikan karena perbedaan pendapat memicu pertengkaran dan konflik apalagi ditengah panasnya kontestasi politik.
.
Kalau ada kalimat yang bisa saya jadikan kesimpulan dalam khutbah singkat ini, maka saya akan katakan bahwa: Perbedaan itu sudah ada di masa nabi, dan jangan sampai perbedaan terutama dalam pilihan pemimpin kita sampai mencaci atau bermusuhan. Yang paling penting adalah mengutamakan Ukhuwah/persatuan diantara kita, khususnya umat Islam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image