Demo Apdesi 31 Januari 2023: Memahami Hak, Tanggung Jawab, dan Etika dalam Demonstrasi
Politik | 2024-02-01 19:28:00Pengantar
Pada tanggal 31 Januari 2024, Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) menggelar aksi demonstrasi di depan gedung DPR/MPR RI di Jakarta. Mereka menuntut agar DPR segera mengesahkan revisi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang dianggap penting untuk meningkatkan kesejahteraan dan otonomi desa. Namun, aksi tersebut berakhir ricuh, dengan massa membakar spanduk, melemparkan botol, memblokade jalan tol, dan merusak tembok pagar gedung DPR dengan palu besar.
Aksi demonstrasi yang berujung anarkis ini memunculkan kekhawatiran yang mendalam. Tidak hanya merugikan fasilitas umum, tetapi juga mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat secara keseluruhan. Bahkan, tindakan tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar tentang pemahaman dan kesadaran akan makna sebenarnya dari hak untuk menyampaikan pendapat secara damai dan teratur di ruang publik.
Tentang Demo
Demonstrasi, sebagai salah satu bentuk kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, didukung dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (3). Namun, penting untuk diingat bahwa kebebasan ini tidak bersifat mutlak dan harus dijalankan dengan tanggung jawab. Demonstrasi harus menghormati hak dan kewajiban orang lain, serta tetap patuh pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, penegakan aturan yang berkaitan dengan pelaksanaan demonstrasi secara damai, tertib, dan beradab adalah suatu keharusan, sehingga tindakan anarkis, provokatif, atau melanggar hukum dapat dihindari.
Menurut Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap individu atau kelompok yang ingin melakukan demonstrasi. Persyaratan ini meliputi:
- Pemberitahuan Tertulis: Sebelum pelaksanaan demonstrasi, pihak yang bersangkutan wajib memberitahukan secara tertulis kepada Kepolisian Republik Indonesia paling lambat 3 x 24 jam sebelumnya. Pemberitahuan ini harus mencakup maksud dan tujuan demonstrasi, lokasi dan waktu pelaksanaan, bentuk demonstrasi, penanggung jawab, serta perkiraan jumlah peserta yang akan ikut serta.
- Pembatasan Peralatan: Dalam pelaksanaan demonstrasi, peserta tidak diperkenankan membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak, atau bahan berbahaya lainnya yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan peserta dan orang lain di sekitarnya.
- Pertimbangan Terhadap Ketertiban Umum: Demonstrasi tidak boleh mengganggu ketertiban umum atau merusak fasilitas umum. Peserta harus menjaga agar kegiatan demonstrasi berjalan dengan tertib dan tidak mengganggu aktivitas masyarakat umum.
- Pencegahan Isu SARA dan Ujaran Kebencian: Tindakan yang mengandung unsur SARA, penghinaan, pencemaran nama baik, atau ujaran kebencian tidak boleh dilakukan dalam demonstrasi. Peserta harus memastikan bahwa setiap tindakan dan ucapan yang disampaikan tidak melanggar norma-norma hukum dan sosial yang berlaku.
- Kepatuhan Terhadap Prinsip-Prinsip Negara: Demonstrasi harus dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, kesatuan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta semangat Bhinneka Tunggal Ika. Setiap tindakan atau pernyataan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut harus dihindari.
Kode Etik dalam Berdemo
Selain persyaratan resmi, ada juga prinsip-prinsip etika yang harus dijunjung tinggi oleh setiap demonstran guna menjaga kedamaian dan keberhasilan penyampaian aspirasi mereka, antara lain:
- Kepatuhan Terhadap Hukum: Demonstran harus memahami dan menghormati hukum yang berlaku dalam melakukan aksi demonstrasi. Mereka harus memastikan bahwa tindakan mereka sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan tidak melanggar hak-hak orang lain atau merugikan pihak lain.
- Keteladanan dan Kebijaksanaan: Demonstran harus menunjukkan keteladanan dan kebijaksanaan dalam tindakan dan ucapan mereka. Mereka harus menghindari tindakan atau kata-kata yang dapat memicu konflik atau kekerasan, serta memperlihatkan sikap yang tenang dan penuh pengertian dalam menyampaikan pendapat mereka.
- Respek Terhadap Hak-hak Orang Lain: Demonstran harus menghormati hak-hak orang lain yang tidak terlibat dalam demonstrasi, seperti hak untuk beraktivitas, berlalu lintas, dan berpendapat. Mereka tidak boleh mengganggu kehidupan sehari-hari atau menghalangi kegiatan masyarakat umum.
- Kerjasama dengan Pihak Terkait: Demonstran sebaiknya menjaga komunikasi dan kerjasama yang baik dengan pihak-pihak terkait, termasuk kepolisian dan pemerintah setempat. Mereka harus bersedia bekerja sama dalam rangka memastikan keamanan dan ketertiban selama berlangsungnya demonstrasi.
- Penolakan Terhadap Provokasi: Demonstran harus menghindari provokasi dari pihak-pihak yang ingin mengacaukan atau memanfaatkan situasi demo untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka harus tetap tenang dan tidak terprovokasi oleh upaya-upaya yang bertujuan merusak tujuan damai dari demonstrasi.
Sikap Pimpinan DPR
Sikap pimpinan DPR dalam menghadapi demo Apdesi juga merupakan bagian penting yang perlu diperhatikan.
- Ketua DPR RI, Puan Maharani, menjelaskan bahwa pihaknya setuju untuk melakukan pembahasan lanjutan revisi UU Desa usai pelaksanaan pemilu 2024. Ia mengatakan bahwa DPR telah sepakat akan melanjutkan pembahasan revisi UU Desa yang merupakan inisiatif DPR.
- Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mendatangi massa aksi unjuk rasa para kepala desa di depan Gedung DPR, Jalan Gatot Soebroto, Jakarta, Selasa (17/1). Ia mengatakan bahwa DPR akan mengakomodasi aspirasi Apdesi dan berjanji akan segera menyelesaikan revisi UU Desa. Ia juga mengapresiasi sikap Apdesi yang bersedia berdialog dengan DPR.
- Wakil Ketua DPR RI, Azis Syamsuddin, mengatakan bahwa pihaknya menghormati hak massa untuk menyampaikan aspirasi, namun mengecam tindakan anarkis yang merusak fasilitas umum. Ia juga mengatakan bahwa DPR sudah membentuk kelompok kerja (pokja) untuk membahas revisi UU Desa, dan berharap massa bersabar menunggu proses legislasi yang sedang berlangsung. Ia juga meminta polisi untuk mengusut tuntas pelaku perusakan dan membawa mereka ke pengadilan.
Menghasilkan UU Memerlukan Proses Panjang
Proses pembentukan undang-undang (UU) memang memerlukan waktu dan kajian yang mendalam, mengingat UU merupakan produk hukum tertinggi yang mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pentingnya proses ini tak terlepas dari perannya yang mendasar dalam menjaga stabilitas, keadilan, dan kedaulatan hukum suatu negara. Sebuah UU harus memenuhi sejumlah kriteria yang sangat penting:
- Kesesuaian dengan Dasar Negara: UU harus selaras dengan nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ini mencakup prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, hak asasi manusia, serta nilai-nilai budaya dan agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia.
- Ketegasan Tujuan dan Materi: UU harus memiliki tujuan yang jelas dan spesifik, serta materi muatan yang terdefinisi dengan baik. Artinya, setiap pasal dan ketentuan dalam UU harus dirumuskan secara teliti dan berdasarkan pada kebutuhan serta aspirasi masyarakat yang diwakilinya.
- Keterkaitan dan Konsistensi dengan UU Lain: UU yang baru harus memiliki keterkaitan dan konsistensi yang baik dengan UU yang telah ada sebelumnya. Ini bertujuan untuk mencegah tumpang tindih regulasi dan konflik hukum yang dapat merugikan masyarakat dan menghambat pelaksanaan kebijakan.
- Kepastian Hukum dan Keadilan: UU harus memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat, baik itu individu, perusahaan, maupun lembaga negara. Selain itu, UU juga harus menjamin keadilan dalam perlakuan dan penegakan hukum, tanpa diskriminasi dan penyalahgunaan wewenang.
- Kemanfaatan dan Kepatutan: UU haruslah bermanfaat bagi masyarakat secara luas dan dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Selain itu, UU juga harus sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, serta tidak bertentangan dengan norma-norma moral dan etika yang berlaku.
Sikap yang Harus Dibangun
Sikap yang harus dibangun oleh aparat desa, terutama Apdesi, dalam menuntut revisi UU Desa adalah sikap yang baik, logis, dan sabar. Sikap baik berarti menghargai proses demokrasi yang berjalan di DPR dan tidak melakukan tindakan yang merugikan pihak lain. Sikap logis berarti menyampaikan tuntutan yang rasional, didasarkan pada data dan fakta yang valid, serta mempertimbangkan dampak dan implikasi dari revisi UU Desa secara menyeluruh. Sikap sabar berarti menunggu hasil dari pembahasan revisi UU Desa dengan tenang, tanpa memaksakan kehendak atau mengancam dengan tindakan lanjutan.
Dengan sikap baik, logis, dan sabar, diharapkan aparat desa dapat menjadi mitra yang konstruktif bagi DPR dalam menyusun revisi UU Desa yang lebih baik, adil, dan bermanfaat bagi desa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa demonstrasi Apdesi yang ricuh merupakan akibat dari ketidakpuasan, ketidaksabaran, dan ketidakpahaman massa demonstran terhadap proses dan etika demonstrasi. Aksi ini tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga merugikan pihak lain, baik pihak berwajib, pihak yang menjadi sasaran penyampaian pendapat, maupun masyarakat umum. Aksi ini juga tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi, Pancasila, dan UUD 1945, yang menjadi dasar negara kita.
Untuk menghindari kejadian serupa di masa depan, penting bagi Apdesi dan pihak terkait untuk meningkatkan pemahaman tentang hak dan kewajiban dalam berdemokrasi, serta mengedepankan dialog dan negosiasi sebagai cara untuk menyelesaikan perbedaan pendapat. Selain itu, pendekatan yang lebih proaktif dalam memberikan masukan dan partisipasi aktif dalam proses pembahasan kebijakan juga dapat membantu menciptakan solusi yang lebih inklusif dan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat. Dengan demikian, upaya untuk meraih perubahan yang diinginkan dapat dilakukan secara lebih efektif dan damai, tanpa merugikan pihak lain atau merusak hubungan antarwarga dan pemerintah.
Contoh Demo Damai
Contoh demo damai yang mencerminkan kedewasaan dan kepatuhan terhadap nilai-nilai kemanusiaan adalah aksi 212, yang berlangsung pada tanggal 2 Desember 2016. Aksi ini diselenggarakan oleh umat Islam dengan tujuan menuntut penegakan hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang diduga melakukan penistaan agama. Partisipasi dalam aksi ini mencapai tingkat yang mengagumkan, dengan sekitar 7 juta orang yang berkumpul di Jakarta untuk berdoa, berdzikir, dan bershalawat bersama-sama di Monas.
Yang menonjol dari aksi ini adalah kedamaian dan ketertiban yang terpelihara sepenuhnya. Tidak ada insiden kekerasan atau perusakan yang terjadi selama aksi berlangsung. Bahkan, para peserta dengan sukarela membersihkan semua sampah yang dihasilkan selama kegiatan berlangsung, sebagai bentuk tanggung jawab sosial mereka. Kebersihan dan keteraturan ini tidak hanya mencerminkan sikap hormat terhadap lingkungan sekitar, tetapi juga menunjukkan komitmen untuk memelihara citra positif aksi tersebut.
Tindakan sukarela dari petugas lapangan demo yang membantu mengumpulkan sampah dari peserta demo secara tuntas adalah contoh nyata dari kerjasama dan koordinasi yang baik antara penyelenggara dan peserta aksi. Hal ini menegaskan bahwa aksi 212 bukan hanya sekedar ungkapan pendapat, tetapi juga manifestasi dari kesadaran akan tanggung jawab sosial dan kepedulian terhadap kebersihan lingkungan.
Tidak heran bahwa aksi ini mendapat penghargaan dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) sebagai aksi damai terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Penghargaan ini bukan hanya sekadar pengakuan atas jumlah peserta yang masif, tetapi juga atas sikap kedewasaan, tanggung jawab, dan ketertiban yang ditunjukkan oleh semua pihak yang terlibat.
Contoh aksi seperti ini memberikan inspirasi dan teladan bagi masyarakat dalam menyuarakan pendapat dan aspirasi mereka secara damai dan teratur. Mereka mengingatkan kita bahwa dalam mewujudkan perubahan yang diinginkan, kekerasan bukanlah satu-satunya cara. Dengan kesadaran, kerjasama, dan komitmen terhadap nilai-nilai kebersamaan, kita dapat mencapai perubahan yang lebih baik bagi masyarakat dan bangsa.
Penutup
Dalam menyampaikan aspirasi, sangat penting untuk meningkatkan kesadaran akan etika, baik dari pihak demonstran, pihak berwajib, maupun pihak yang menjadi sasaran penyampaian pendapat. Kesadaran etika ini meliputi sikap saling menghormati, menghargai, dan mengakomodasi kepentingan serta aspirasi masing-masing pihak, tanpa harus menggunakan kekerasan atau menyerahkan diri pada tindakan anarkis.
Selain itu, kesadaran etika juga mencakup sikap rasional, kritis, dan objektif dalam menyikapi isu-isu yang menjadi latar belakang demonstrasi, tanpa harus terpengaruh oleh emosi, informasi palsu, atau upaya provokasi. Dengan menginternalisasi nilai-nilai etika ini, diharapkan demonstrasi seperti yang dilakukan oleh Apdesi dapat berlangsung dengan damai, tertib, dan beradab, serta dapat mencapai tujuan yang diinginkan, yakni revisi UU Desa yang lebih baik, adil, dan bermanfaat bagi masyarakat desa.
Sebagai apparat pemerintahan terkecil, demo Apdesi seharusnya menjadi contoh yang baik, menunjukkan bahwa demonstrasi yang damai adalah sarana yang efektif untuk menyampaikan aspirasi tanpa mengorbankan keamanan dan ketertiban masyarakat. Perlu diingat bahwa kesadaran akan etika dalam situasi demonstrasi tidak hanya penting untuk menjaga citra dan martabat desa sebagai pilar demokrasi dan pembangunan di Indonesia, tetapi juga untuk memelihara stabilitas sosial dan keberlangsungan proses demokratisasi.
Demo 212 telah membuktikan bahwa demonstrasi dapat dilakukan secara damai, meskipun diikuti oleh jutaan orang di Indonesia, asalkan mematuhi ketentuan hukum dan mengutamakan nilai-nilai etika dalam setiap tindakan. Demonstrasi yang damai bukan hanya lebih efektif dalam menyampaikan aspirasi, tetapi juga lebih menghormati hak dan kewajiban orang lain, serta lebih konsisten dengan prinsip-prinsip demokrasi, Pancasila, dan UUD 1945, yang menjadi landasan negara kita.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.