Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Diya Puspita

Penerapan Kaidah Fiqhiyah Dalam Transaksi Keuangan

Agama | Tuesday, 16 Jan 2024, 17:46 WIB

A. Pendahuluan

Kaidah fiqhiyyah sebagai salah satu disiplin ilmu tidak berdiri sendiri dalam tema dan kajiannya. Sebagai derifasi dari fiqih atau hukum Islam, kaidah fiqhiyyah merupakan kesimpulan umum dari beberapa permasalahan hukum Islam yang dapat digunakan oleh kalangan awam maupun fuqaha (ahli fiqh) dalam mencari solusi permasalahan hukum yang muncul di tengah masyarakat dalam berbagai tema baik ibadah, muamalah, maupun isu-isu hukum Islam kontemporer. Ushuliyyun membagi kaidah fiqhiyyah dari sisi substansinya menjadi dua bagian, yaitu kaidah pokok yang memuat lima kaidah dan kaidah cabang yang mencakup banyak aspek baik kaidah-kaidah yang berkaitan dengan ibadah, muamalah, siyasah, maliyah dan lain-lain. Namun dalam tulisan ini penulis hanya memfokuskan pada beberapa kaidah dan contoh penerapannya yang sering kita temukan.

Kaidah Fiqhiyah

B. Pembahasan

Dalam pembahasan ini saya akan menjelaskan singkat mengenai 5 kaidah beserta contoh penerapannya.

1. Al Qawaidul Haakimah ‘Ala Ribaa (Aturan yang mengatur riba)

Dalam Al Quran riba memiliki pengertian penambahan yang diambil tanpa adanya transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan oleh syariat. Tambahan pada hal-hal tertentu dan tambahan atas nilai pokok hutang sebagai imbalan dari tambahan batas waktu secara mutlak.

Salah satu contoh penerapannya yaitu riba Fadl, adalah penukaran barang dengan barang yang sejenis namun lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan seperti itu. Contoh riba ini adalah padi ditukar dengan padi, emas ditukar dengan emas, dan semacamnya.

2. Tafsidul ‘Uqud Bil Gharari Katsiiri Duunal Yasiiri (Kontrak dirusak oleh banyak penipuan, bukan karena penipuan kecil)

Gharar adalah transaksi bisnis yang mengandung ketidakjelasan bagi para pihak, baik dari segi kuantitas, fisik, kualitas, waktu penyerahan, bahkan objek transaksinya pun bisa jadi masih bersifat spekulatif. Ketidakpastian ini melanggar prinsip syariah yang idealnya harus transparan dan memberi keuntungan bagi kedua belah pihak.

Contoh penerapannya yaitu jual beli benda yang belum ada atau belum tersedia. Misalnya, membeli anak sapi di perut tanpa menginginkan induknya juga, menjual ikan di dalam air.

3. Al Aslu Fil Mu’awadhat Al Ibahah (Prinsip Dasar dalam negoisasi adalah diperbolehkan)

Prinsip dasar dalam penjualan dan transaksi lainnya adalah boleh. Tidak haram kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Seperti dibolehkannya jual beli taqsith, yaitu seseorang membeli barang tertentu untuk ia manfaatkan, kemudian ia bersepakat dengan penjual bahwa ia akan melunasi pembayarannya dengan cara dicicil/dikredit dalam jangka beberapa waktu. Jual beli ini termasuk jual beli yang ditunda pembayarannya sampai batas waktu yang telah ditentukan.

4. Al Qawaidut Taabi’ Wal Matbu’ (Aturan pengikut dan yang diikuti)

Maksudnya ialah pengikut jatuh bersamaan dengan jatuhnya yang diikuti, jika sesuatu tidak sah maka apa yang ada didalamnya dan apa yang dibangun diatasnya maka tidak sah, barangsiapa memiliki sesuatu dia juga berhak atas salah satu kebutuhannya. Seperti Ihya Al Mawat yaitu upaya menghidupkan, mengelola tanah yang tidak terjamah oleh manusia sebelumnya, atau pernah dikelola namun ditelantarkan dalam kurun waktu yang lama. Seperti mengelola tanah untuk dijadikan sumur, maka dalam beberapa meter tanah tersebut masih mengikuti hukum sumur tersebut.

5. Al Qawaidul Ihtiyath Wa Saad Dzarai’ (Aturan kehati-hatian dan dalih pemblokiran)

Syariah didasarkan pada kehati-hatian dan ketegasan, jika yang halal dan haram digabungkan maka yang haram lah yang menang, apa yang diharamkan untuk digunakan dilarang untuk diambil, apa yang dilarang untuk diambil dilarang untuk diberikan. Contoh penerapannya dalam transaksi keuangan adalah akad jual beli salam, dimana barang yang diperjualbelikan tidak ada di tempat transaksi, namun dengan membayarnya di muka, pembeli akan mendapatkan barangnya beberapa waktu setelahnya

C. Penutup

Dari apa yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa kaidah fiqhiyyah adalah ketentuan hukum yang bersifat umum yang mencakup hukum-hukum derifasinya karena sifat keumumannya dan atau totalitasnya. Kaidah fiqhiyyah cabang adalah kaidah yang spesifik membidangi bab atau tema tertentu pada permasalahan fikih, sehingga sebagian fuqahâ memasukkan dalam dlawâbith fiqhiyyah , sebagian lagi memasukkan dalam qawâid fiqhiyyah khâshshah. Cakupan kaidah fiqhiyyah cabang diantaranya adalah ‘ibâdah, mu’âmalah, mâliyah, siyâsah, akhwal alsyakhshiyyah, dan lain-lain. Kaidah fiqhiyyah sebagai instrument hukum Islam, memiliki daya akseptabilitas

yang tinggi terhadap permasalahan hukum Islam kontemporer sehingga eksistensinya

membantu mijtahidin dalam memetakan masalah dan mencari solusi yang maslahah.

D. Referensi

Adam, P. (2021). Penerapan Sadd Al Dzari’ah dalam Transaksi Muamalah. Istiqra, 7(1), 17–35.

Hilal, S. (2013). Qawa’id Fiqhiyah Furu’iyyah Sebagai Sumber Hukum Islam. Al-’Adalah, 11(2), 141–154.

QAWAID FIQHIYYAH 11-12 KAidah al-Muaawadhot. (n.d.).

QAWAID FIQHIYYAH 13 -14 Kaidah Riba n Gharar. (n.d.).

QAWAID FIQHIYYAH 9-10 Kaidah Besar selain 5. (n.d.).


Diya Puspita

Akuntansi Syariah

STEI SEBI

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image