Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fika Salsabila

Revisi UU ITE Membahayakan atau Melindungi?

Politik | 2024-01-13 20:13:20
bkwiehihewoihwe

Presiden Joko Widodo resmi menandatangani Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 11 Tahun 2028 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Alasan revisi juga dilakukan karena aturan sebelumnya belum menyelesaikan masalah. Selain itu, masih ada persepsi tidak tepat sasaran dalam pelaksanaan aturan. Perubahan kedua atas UU ITE dipandang masih banyak mengandung pasal bermasalah, yang dapat menjadi pasal karet yang dapat dimainkan untuk menyerang pihak tertentu.

Sebagai alat untuk mengkriminalisasi masyarakat?

Namun demikian, kita tidak bisa liat bahwa perubahan tersebut untuk mengkriminalitas masyarakat. Sejak disahkan pada 2008 dan revisi pertama 2016, kata koalisi, “UU ITE telah mengkriminalisasi pembela hak asasi manusia , jurnalis, perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, hingga warga yang melontarkan kritik sah.”

Koalisi sejak awal menyoroti tertutupnya proses revisi sehingga memberikan sedikit ruang bagi keterlibatan dan pengawasan publik.

Pasal-pasal bermasalah itu, antara lain: Pasal 27 ayat (1) hingga (4) yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil; Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang kerap dipakai untuk membungkam kritik; hingga ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B.

DPR bersama pemerintah juga menambahkan ketentuan baru, salah satunya Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang. Isnur sebut, berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis. Pasal baru lainnya adalah Pasal 27B tentang ancaman pencemaran.

Koalisi masyarakat sipil juga mendesak agar DPR dan pemerintah untuk menerapkan partisipasi publik dan bermakna dalam pengambilan keputusan serta mendorong implementasi revisi UU ITE bukan untuk upaya kriminalisasi.

Selain itu, ada beberapa hal krusial lain. Pasal 27 ayat 1 yang memuat kesusilaan masih ada. Meskipun sudah berubah rumusan, tapi bunyi masih sama dengan KUHP. Pasal pencemaran nama baik dari Pasal 27 ayat 3 menjadi Pasal 27A. Rumusan tersebut malah mirip dengan KUHP baru.

Ia mengaku ada beberapa poin yang perlu direvisi. Pertama, Pasal 26 tentang perlindungan data pribadi sebaiknya diatur di UU PDP. Kedua, Pasal 36 tentang pemberatan pidana. Aturan ini masih punya potensi melanggar hak korban yang dilindungi lewat UU TPKS meski hanya untuk Pasal 30-34.

Gabungan koalisi organisasi masyarakat menyatakan.

Isnur menekankan, koalisi mengkritik keras upaya pembahasan revisi yang tertutup. Hal itu membuat publik minim ruang untuk terlibat dan mengawasi proses revisi, mereka malah melihat isi revisi tidak menghilangkan masalah.

Oleh karena itu, kata Isnur, koalisi menolak pengesahan revisi UU ITE oleh DPR dan pemerintah karena mengabaikan partisipasi publik dan masih melanggengkan pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan berekspresi dan pelangaran HAM.

25 organisasi masyarakat sipil, termasuk Aliansi Jurnalis Independen, Amnesty International Indonesia, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Undang-Undang Nomor 1 tahun 2024 yang diteken presiden pada 2 Januari itu masih memuat pasal-pasal bermasalah seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses, demikian menurut organisasi-organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE.

Indonesia salah satu contoh trend di dunia.

"UU ITE di Indonesia adalah salah satu contoh tren di dunia bagaimana undang-undang terkait kejahatan dunia maya disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Sejak disahkan pada 2008 dan revisi pertama 2016, UU ITE telah mengkriminalisasi pembela hak asasi manusia (HAM), jurnalis, perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, hingga warga yang melontarkan kritik sahnya," kata Muhammad Isnur yang juga Ketua Umum Pengurus YLBHI dalam keterangannya, Jumat (5/1/2024).

Pasal-pasal itu, antara lain Pasal 27 ayat (1) hingga (4) “yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil;” Pasal 28 ayat (1) dan (2) “yang kerap dipakai untuk membungkam kritik;” hingga ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B.

Koalisi menyebut, “DPR bersama pemerintah juga menambahkan ketentuan baru, salah satunya Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang.”

Pasal baru lainnya adalah Pasal 27B tentang ancaman pencemaran; Pasal 28 ayat 3 dan Pasal 45A ayat (3) tentang pemberitahuan bohong yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP baru.

Ia menyebut, UU ITE sudah banyak makan korban dan “sering digunakan orang kaya dan yang punya jabatan” untuk menjerat orang yang berseberangan.

Pasal-pasal itu, antara lain Pasal 27 ayat (1) hingga (4) “yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil;” Pasal 28 ayat (1) dan (2) “yang kerap dipakai untuk membungkam kritik;” hingga ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B.

Rio dilaporkan oleh Endi ke Polres Manggarai Barat pada 19 Mei setelah ia mengunggah sejumlah gambar wajah Endi l di Facebook. Pada setiap gambar terdapat sejumlah pernyataan kritikan. Salah satunya adalah Endi dianggap mengabaikan hak kelompok warga di Desa Macang Tanggar untuk mendapat sertifikat atas tanah mereka. Rio termasuk warga desa itu.

Rio mengatakan dia bukan pihak yang pertama kali mengunggah gambar yang dipermasalahkan Endi. Gambar-gambar tersebut “pertama kali diunggah akun Instagram Serikat Pemuda NTT” yang disiapkan menjelang aksi demonstrasi menolak KTT ASEAN di Labuan Bajo pada Mei.

Menurut Rio, warga desa itu yang adalah transmigran lokal dari daerah lain di Flores barat sudah berjuang untuk mendapat sertifikat sejak 1996. Ia mengatakan, dari informasi yang ia peroleh, 200 sertifikat hak milik warga desa sudah ada di Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, tetapi tidak kunjung diserahkan kepada mereka. Karena memperjuangkan sertifikat itu, kata dia, unggahannya bukanlah pencemaran nama baik, melainkan suara warga yang sedang menuntut hak kepada pemerintah.

Strategi media dalam hukum islam

Bongkar pasang UU sebagaimana revisi sejatinya tidaklah mengherankan. Hal yang demikian itu sudah biasa terjadi dalam demokrasi kapitalisme yang senantiasa berasas pada kemanfaatan dan berjalan demi memuluskan berbagai kepentingan.

Akibatnya, standar benar dan salah menjadi abu-abu, tidak jelas. Begitu pula dengan fungsi teknologi informasi yang semestinya memudahkan urusan manusia, nyatanya di tangan sistem sekarang ini malah disetir menjadi alat legalisasi represifisme oleh penguasa. Inilah yang tidak boleh terjadi.

Dalam bidang teknologi informasi, di dalam peraturan islam tidak akan menggunakannya untuk tindakan spionase kepada rakyat demi kepentingan yang tidak syar’i. Ini karena aktivitas memata-matai sesama muslim adalah sebuah keharaman.

Allah Taala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” (QS Al-Hujurat [49]: 12).

Di sisi lain, teknologi informasi beserta sarana media lainnya akan difungsikan secara strategis untuk mencerdaskan masyarakat, penyalur aspirasi rakyat, serta alat muhasabah dari rakyat kepada para pejabat perangkat negara. Dalam Islam, penyampaian pendapat oleh rakyat adalah untuk menegakkan keadilan dan menjaga agar jalannya pemerintahan terhindar dari kezaliman. Sungguh, sistem Islam akan memosisikan teknologi informasi dan media sebagai sarana untuk berperan aktif menjaga semua elemen masyarakat agar senantiasa dalam keridhaan Allah.

Pasal karet membuka peluang terjadinya kriminalisasi lawan politik, juga umat islam yang selalu dijadikan sebagai tertuduh. UU dalam Islam adalah untuk menegakkan keadilan dan mengatur kehidupan masyarakat, dan jauh dari konflik kepentingan. Dan dengan penguasa yang takwa, aturan Allah benar-benat ditegakkan. Di sisi lain, media dalam Islam memiliki peran strategis, baik dalam mencerdaskan umat maupun sebagai penyalur aspirasi rakyat dan alat muhasabah perangkat negara.

Namun demikian, kita tidak bisa liat bahwa perubahan tersebut untuk mengkriminalitas masyarakat. Sejak disahkan pada 2008 dan revisi pertama 2016, kata koalisi, “UU ITE telah mengkriminalisasi pembela hak asasi manusia , jurnalis, perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, hingga warga yang melontarkan kritik sah.”

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image