Konsep Pemikiran dan Biografi Muhammad Abduh
Agama | 2023-12-29 19:07:37KONSEP PEMIKIRAN DAN BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH
Sulthan Nashier Syah
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Pendahuluan
Realita sejarah menunjukan bahwa dunia Islam, pada abad ke 18 jatuh di bawah nominasi Barat yang dikenal sebagai penjajah. Kedatangan mereka ke dunia Islam bukan hanya sekedar menjajah dalam arti fisik, akan tetapi mereka juga mewarkan berbagai kebudayaan. Memang tidak dapat di pungkiri bahwa kebudayaan mereka jauh lebih maju bila di bandingkan dengan kebudayaan umat Islam, sehingga dengan mudah dapat menguasai dunia Islam. Hal ini secara tidak langsung membuka mata dunia bahwa Barat sudah maju dan umat Islam masih tertinggal, dan sekaligus dapat membawa pengaruh terhadap perkembangan Pendidikan, politik, ekonomi, keagamaan, dan sosial budaya.
Dengan ketinggalan umat Islam dengan dunia Barat tersebut, maka bangkitlah kesadaran dari beberapa tokoh ulama Islam yang sadar dengan ketinggalan ini dengan mengemukakan pandangan dan ide-idenya. Mereka menuangkan pemikirannya, baik dalam bentuk tulisan maupun karya nyata sebagai jawaban terhadap tantangan yang mereka hadapi. Dalam tulisan singkat ini, kami menfokuskan pada kajian tentang ide pembaharuan dalam perspektif pemikiran Muhammad Abduh, yang notabene telah membangkitkan semangat umat Islam dari ketinggalan Barat dan juga mengajak umat Islam mengintrospeksi diri, menghayati kembali sumber dasar Islam yaitu Al-Quran dan asSunnah serta memberikan semangat untuk berijtihad.
Permasalahan ini terasa sangat penting untuk dibahas, agar kita dapat mengetahui bagaimana yang sebenarnya pemikiran dan ide-ide pembaharuan yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh, karena yang ide pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh mempunyai dampak yang sangat luas terhadap perjalanan mutakhir sejarah Islam, termasuk dalam pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia.
Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh adalah seorang pemikir, teolog, dan pembaru dakan Islam di Mesir yang hidup pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kapan dan di mana Muhammad Abduh lahir tidak diketahui secara pasti, karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Ia lahir di suatu desa di Mesir Hilir, diperkirakan di Mahallat Nasr. Bapak Muhammad Abduh bernama Abduh Hasan Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya meningkat sampai ke suku bangsa Umar ibn al-Khattab.
Abduh kecil belajar menulis dan membaca al-Quran di bawah bimbingan kedua orang tuanya. Setelah cukup mahir dalam menulis dan membaca di pun dikirim ke salah seorang hafidz untuk belajar menghapal al-Quran. Kecerdasan Abduh sudah terlihat sejar dini, dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun Abduh mampu menyelesaikan hapalannya 30 juz. Pada tahun 1862 Abduh dikirim ke Tantha di Masjid Syekh Ahmad untuk belajar ilmu agama lainnya, setelah dua tahun belajar disana Abduh merasa tidak dapat apa-apa, hal ini disebabkan oleh metode mengajarnya yang salah.
Menurut Abduh metode-metode yang diguanakan oleh para guru di Masjid Syekh Ahmad terlalu memaksa para murid untuk menghapal istilah-istilah, sehingga sulit untuk dipahami. Namun para guru acuh tak acuh dengan kesulitan para murid dalam menyerap pelajaran, Abduh merasa sia-sia maka dia memutuskan Kembali ke Mahallah Nasr untuk bekerja sebagai petani dan bertekad tidak akan Kembali belajar dan membaca buku-buku lagi.
Pada umur 16 tahun Abduh memilih untuk menikah, namun tidak lama dari lahir pernikahannya ayah Muhammad Abduh menyuruhnya untuk Kembali ke Masjid Syekh Ahmad. Bukannya Kembali ke Masjid tersebut Abduh lebih memilih untuk lari ke rumah pamannya Syejh Darwis. Syekh Darwis banyak memberikan motivasi dan nasehat kepada keponakannya tesebut untuk Kembali belajar dan mencintai buku-buku lagi. Berkat usaha serta kesabaran yang dilakukan oleh pamannya ini akhirnya Abduh gemar membaca buku-buku agama maupun ilmu pengetahuan lainnya. Jika ada hal yang tidak dipahami maka dengan langsung bertanya ke Syekh Darwis.
Usaha dan kesabaran yang dilakukan oleh pamannya tidak sia-sia akhirnya Abduh kembali mencintai ilmu dan berniat untuk meneruskan pembelajarannya. Setelah beberapa bulan belajar dengan pamannya Abduh pergi ke Masjid Syekh Ahmadi, Abduh sudah banyak mendapatkan pencerahan dari pamannya maka dia menyerap ilmu dengan baik kemudian dari ilmu-ilmu yang dia dapatkan langsung Abduh jelaskan kembali kepada teman-temannya yang kurang paham. Pada tahun 1866 M, Abduh pergi ke Cairo untuk melanjutkan pendidikannya di Al-Azhar. Pada waktu itu di Al-Azhar metode yang digunakan oleh dosen-dosen disana tidak jauh berbeda dengan metode yang digunakan di Masjid Syekh Ahmadi, pada masa Abduh masuk ke al-Azhar kehidupannya masih sangat kolot, sesuatu hal yang bertentangan dengan kebiasaan maka akan dianggap kekafiran dan bid’ah. Jadi tidak banyak hal baru yang didapatkan oleh Abduh do Al-Azhar. Matematika, Filsafa, maupun Logika tidak diajarkan di Al-Azhar. Pamanya Kembali memberikan saran kepada Abduh untuk belajar di luar Cairo.
Semasa belajar di Al-Azhar, Abduh bertemu dengan seorang alim yaitu Jamaluddin Al-Afghani sewaktu perjalanannya ke Istambul, banyak hal yang Abduh dapatkan dari Jamaluddin Al-Afghani ini, dia belajar falsafa, dan ilmu-ilmu lainnya. Pertemuan pertamanya sangat berkesan bagi Abduh sehingga menambahkan kecintaannya terhadap ilmu. Pada tahun 1871 Al-Afghani menetap di Mesir, Abduh merupakan muridnya yang paling setia dan di bawah bimbingan Al-Afgani.
Banyak hal yang dilakukan Abduh di Al-Azhar akhirnya pada tahun 1877. dia berhasil menyelesaikan studynya dengan mendapat gelar ‘alim. Tahun ini juga merupakan awal Abduh memulai karirnya dalam dunia pendidikan, dia mengajar di rumahnya sendiri, Al-Azhar dan Dar AlUlum, pada tahun 1879 Al-Afghani diusir dari Mesir karena dianggap sebagai pemberontak Khedewi Tawfik, Abduh sebagai murid setia Al-Afghani juga di usir ke luar Cairo karena dianggap membantu pergerakan gurunya tersebut. Pada tahun 1880 Abduh diperkenankan kembali masuk ke Cairo dan diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi Mesir. Media ini dijadikan Abduh bersama murid-murid Al-Afghani lainnya sebagai sarana untuk mengkritik terhadap kebijakan pemerintah yang sewang-wenang.
Pemikiran Muhammad Abduh
Sebagaimana terlihat dalam biografinya, Muhammad Abduh dikenal dalam dunia Islam sebagai mujadid. Ia berusaha untuk mengadakan pembaharuan dengan mengajak Kembali kepada ajaran Islam, mengkaji dengan jernih dan menafsirkan Kembali pemahaman agama itu secara kritis, sehingga ajaran Islam benar-benar mampu diaktualisasikan dalam perkembangan zaman yang selalu berubah, sehingga ia dianggap sebagai bapak peletak aliran modern dalam Islam.
Muhammad Abduh, sebagaimana gurunya Jamaluddin al-Afghani melihat bahwa salah satu sebab mendasar bagi keterbelakangan umat Islam adalah mundurnya tradisi intelektual. Karenanya, ia menginginkan agar kebebasan berpikir umat harus membangkitkan kembali. Namun, Muhammad Abduh berbeda dengan gurunya Jamaluddin al-Afghani yang lebih mengutamakan bidang politik dari pada yang lain, maka Muhammad Abduh kelihatannya melihat bahwa bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan lebih menentukan daripada bidang politik. Oleh karena itu, ia mencurahkan perhatian yang besar dalam usaha mereformasi pendidikan Islam dan mengintensifkan kembali tradisi intelektual yang telah memudar. Hal ini bukan berarti bidang-bidang lain diabaikannya. Untuk lebih jelasnya akan diketengahkan di bawah ini beberapa ide-ide pemikirannya, antara lain:
Bidang Pendidikan
Muhammad Abduh menganggap, pembaharuan dalam bidang pendidikan, merupakan suatu hal yang sangat esensial bagi kemajuan umat Islam. Hal ini didasarkan pada fakta sejarah, bahwa kondisi lembaga pendidikan waktu itu, belum mampu mengantarkan umat Islam kepada kemajuan yang diinginkan. Nampaknya, apabila diamati terdapat dualisme dalam pendidikan. Sekolah-sekolah umum yang berkiblat ke Barat, lebih memfokuskan pendidikannya ke arah pengembangan intelektual, sedangkan madrasah-madrasah yang berkiblat ke Timur memfokuskan pendidikannya ke arah pendidikan spiritual dan kurang memperhatikan aspek intelektual. Menurutnya, pendirian sekolah itu harus mengarah kepada dua tujuan. Pertama, Mendidik akal dan jiwa anak didik. Kedua, mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dari statemen yang dikemukakan di atas, terlihat bahwa Muhammad Abduh menginginkan adanya konsep pendidikan terpadu, yaitu pendidikan bukan hanya mementingkan intelektual semata dan bukan pula yang hanya menjurus ke arah spiritual, namun kedua-duanya berjalan seiring, sehingga pendidikan dapat menjawab tantangan zaman, dan menghantarkan manusia ke arah kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam hal kurikulum Muhammad Abduh menghendaki agar dimasukkan mata kuliah filsafat untuk mahasiswa al-Azhar. Menurut Abduh, filsafat dapat menghidupkan kembali intelektualisme Islam yang sudah padam.
Dilihat dari pembaharuan pendidikan yang dicanangkan Muhammad Abduh, kelihatannya ide-idenya sangat relevan dengan perkembangan pendidikan modern sekarang ini, terutama yang berhubungan dengan pemikiran beliau tentang keterpaduan antara pendidikan agama dan umum dalam sistem pendidikan. Ide beliau ini terlihat jelas ketika ia memasukan kurikulum pendidikan umum ke Universitas al-Azhar yang notabene saat sangat anti pada falsafah.
Bidang Ijtihad
Pembaharuan Muhammad Abduh dilatarbelakangi oleh kondisi sosial umat Islam. Umat Islam saat itu berada dalam kemunduran di segala bidang sebab kemunduran tersebut, menurut Muhammad Abduh, karena adanya paham jumud yang ada di kalangan mereka. Karena dipengaruhi paham jumud, umat Islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan.
Barangkali, kondisi inilah yang tidak disenangi Muhammad Abduh dan mengakibatkan umat Islam lupa terhadap ajaran yang sebenarnya. Oleh karena itu, dia berusaha mengajak kembali kepada ajaran Al-Quran dan al-Sunnah, sebagaimana Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Ibn Abdullah al-Wahab. Namun, Muhammad Abduh tidak sebatas kembali kepada AlQuran dan al-Sunnah, akan tetapi harus mengadakan reinterpretasi secara kritis nilai ajaran Al-Quran dan Sunnah terhadap masalah-masalah agama dalam kehidupan umat Islam.
Dalam permasalahan ini, nampaknya beliau meninggalkan pendapat mazhab. Dengan kata lain, ia tidak terikat pada ulama mazhab dalam mengembangkan pemikirannya, tetapi ia lebih cenderung menginteprestasi kembali pendapat para ulama kembali dan menyesuaikan dengan konteks sekarang ini dengan menggunakan ijtihadnya.
Bidang Teologi
Muhammad Abduh melihat umat Islam pada umumnya menganut paham fatalis (Jabariah). paham ini tentunya turut mempengaruhi kemunduran umat, karena orang yang berpaham fatalis tidak mengakui adanya eksistensi perbuatan manusia. Manusia hanya menerima apa yang telah ditentukan Tuhan, tanpa mau berusaha. Dengan demikian paham fatalis, kelihatannya telah menyelewengkan paham qada dan qadar, yang dianut oleh umat Islam zaman Klasik. Pada zaman klasik qada dan qadar mengandung unsur dinamis, dan erat kaitannya dengan sunnatullah.
Paham fatalis menurut Muhammad Abduh perlu diubah dengan paham kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan. Dengan demikian kata Muhammad Abduh, akan menimbulkan dinamika umat Islam Kembali. Adapun anggapan bahwa pengakuan terhadap adanya usaha seorang hamba dapat membawa kepada paham syirik, menurut Muhammad Abduh pengertian syirik yang dimaksudkan dalam Al-Quran dan Sunnah adalah meyakini bahwa selain Allah mempunyai pengaruh yang mengungguli sebab-sebab dzahir yang telah ditetapkan serta meyakini bahwa sesuatu selain Allah mempunyai kekuasaan terhadap kemampuan semua makhluk dengan meminta pertolongan kepadanya pada masalah-masalah yang tidak sanggup diatasi oleh manusia, seperti meminta agar menang dalam peperangan tanpa adanya kekuatan bala tentara atau meminta agar sembuh dari penyakit tanpa berobat dan lain sebagainya.
Bidang Sosial
Dalam bidang sosial Muhammad Abduh menekankan arti pentingnya persatuan. Persatuan adalah merupakan faktor penting bagi keteguhan masyarakat. Ide persatuan ini erat kaitannya dengan tujuan yang akan dicapai yaitu menentang atau mendobrak imprialisme barat. Umat Islam kata Muhammad Abduh akan selalu terhina bila mana tidak ada rasa persatuan. Muhammad Abduh mengibaratkan persatuan bagaikan buah dari sebuah pohon yang bercabang, berdaun, berdahan dan berakar. Pohon itu adalah akhlak yang mulia dengan segala tingkatannya, umat Islam harus mendidik dirinya dengan pendidikan Islam yang sebenarnya untuk mendapatkan buah tersebut. Sebab tanpa pendidikan, cita-cita akan sia-sia dan menjadi mimpi belaka, setiap kebutuhan tidak akan terpenuhi.
Namun demikian, bukan berarti Muhammad Abduh berpaham sosialis alakomunis, dia masih tetap mengakui hak milik perorangan, dan dia selalu menghimbau para hartawan agar mau bekerja sama dan mengorbankan hartanya untuk memajukan pendidikan masyarakat. Usaha yang nampak dalam bidang sosial ini juga Muhammad Abduh mendirikan organisasi sosial yang bernama al-Jami’iyyat al-Khairiyyat alIslamiyat. Tujuan organisasi ini adalah menyantuni fakir miskin anak yang tidak mampu orang tuanya membiayai. Wakaf juga tidak luput dari perhatiannya karena wakaf merupakan sumber dana yang sangat efektif. Untuk itu, ia membentuk majelis administrasi wakaf. Salah satu sasarannya ia ingin memperbaiki masjid, manajemen dan administrasinya
Bidang Ketatanegaraan
Dalam bidang ketatanegaraan, kelihatannya Muhammad Abduh berpendapat bahwa kekuasaan negara harus dibatasi. Mesir, pada zamannya, telah mempunyai konstitusi dan usahanya di waktu itu tertuju kepada kebangkitan kesadaran rakyat akan hak-hak mereka menurut pendapatnya, di mana pemerintah wajib bersikap adil terhadap rakyat. Konsekuensinya, rakyat harus patuh dan mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap pemerintah. Kepala negara adalah manusia biasa, dia bisa berbuat salah dan dipengaruhi oleh hawa nafsunya dan kesadaran rakyatlah yang bisa membawa kepala negara yang demikian sifatnya kembali kepada jalan yang benar. Kesadaran rakyat dapat dibangun melalui pembangunan sarana-sarana pendidikan, surat kabar dan sebagainya Islam sudah memasukan materi ilmu pengetahuan modern di dalam kurikulumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Fikri, M. (2018). Rasionalisme Descartes dan Implikasinya Terhadap Pemikiran Pembaharuan Islam Muhammad Abduh. TARBAWI , 132.
Majid, P. A. (2021). PENDIDIKAN EMANSIPATORIS DALAM PERSPEKTIF PAULO FREIRE DAN MUHAMMAD ABDUH. Jurnal Inovasi dan Penelitian, 1888-1889.
Oktariadi, S. B. (2016). KONSEP PEMBAHARUAN DALAM PERSPEKTIF PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH. AL-MURSHALAH, 33.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.