Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image nurul rizky amelia

Ojek Pangkalan Kampus VS Para Pembuat Kebijakan Kampus, Solusi Apa yang Tepat Untuk Mereka Berdua?

Gaya Hidup | Wednesday, 27 Dec 2023, 15:34 WIB

Ojek pangkalan masih sering kita temukan, baik di tempat umum maupun dalam lingkungan sekolah. Salah satunya masih sering ditemukan dalam lingkungan kampus di daerah Jatinangor. Masih adanya minat mahasiswa yang menggunakan ojek pangkalan untuk transportasi, membuat mereka para ojek pangkalan merasa jasa mereka masih diperlukan. Tak hanya itu, mereka pun juga memiliki tanggung jawab sebagai kepala keluarga untuk menafkahi keluarganya.

Tempat mangkalnya ojek kampus / Dokumen pribadi

Sayangnya, kehadiran mereka di lingkungan kampus banyak menimbulkan pro dan kontra. Pronya adalah mereka membantu mobilisasi mahasiswa yang malas berjalan dan tidak kebagian naik angkutan kampus. Sedangkan kontranya adalah mereka itu pihak luar kampus yang seharusnya tidak berada di lingkungan sekitar. Terkadang mereka juga menyebabkan kecelakan yang mengakibatkan mahasiswa kampus harus menanggung resikonya karena tidak memiliki asuransi yang menjamin mereka.

Tak ada salahnya jika mereka sampai saat ini berharap banyak kepada mahasiswa. Hubungan sosial yang terbentuk dari hasil interaksi sosial antara ojek pangkalan dengan mahasiswa sudah terjalin cukup lama dan membentuk pola yang berulang sehingga akan bertahan dalam waktu yang cukup lama.

Menurut saya pribadi ojek pangkalan ini masih diperlukan, tetapi terkadang juga tidak diperlukan. Sebab sudah ada aplikasi ojek online yang lebih memudahkan dan kampus pun sudah menyediakan angkutan gratis untuk mahasiswanya. Saya sebagai mahasiswa tidak munafik pasti ingin memilih yang murah dan gratis. Namun, yang saya pikirkan bagaimana ojek pangkalan ini masih ikut andil dalam kebijakan di kampus.

Saya terkadang memakai jasa mereka jika sudah kepepet untuk masuk kelas. Tarif yang diberikan sebenarnya tidak terlalu mahal dan mereka juga sudah berinovasi bisa dibayar dengan QRIS, ovo, gopay, dan lainnya. Jadi, ini memudahkan mahasiswa untuk urusan pembayaran dan tidak perlu memikirkan perlu punya uang cash atau tidak.

Sebenarnya mereka ini bisa masuk ke dalam bagian dari kampus. Akan tetapi, pihak kampus lah yang tidak mau lagi mentoleransi keberadaan mereka dan lebih baik didiamkan saja tanpa ada solusi apapun. Bagaimanapun para ojek pangkalan sudah ada sejak kampus ini berdiri di Jatinangor. Mereka pastinya merasa masih menjadi bagian dari universitas tersebut.

“Ya sehari aja cuman dapet 100 ribu doang sekarang, kesian juga sama orang di rumah udah nungguin,” kata Taufiq, salah satu tukang ojek kampus.

“Gimana ya neng, rata-rata tukang ojek di sini cuman bisa jadi ojek aja buat nyari uang sehari-hari, apalagi udah banyak yang tua jadi susah juga kan nyari pekerjaannya,” lanjut dia.

Setiap harinya mereka hanya menunggu, istirahat, dan beribadah begitu terus dari pagi hingga petang. Penumpang kini sudah tidak banyak lagi kata salah satu ojek di kampus terkait. Setiap harinya untuk mendapat 10 penumpang atau 100 ribu saja mereka kesulitan. Terlebih lagi kebanyakan dari mereka hanya dapat menjadi tukang ojek sampai saat ini karena faktor umur dan tenaga.

Setelah saya wawancara beberapa ojek kampus tersebut, mereka banyak mengeluhkan ojek online yang masuk ke dalam lingkungan kampus dan juga angkutan gratis kampus. Para ojek pangkalan kampus merasa ini menjadi saingan mereka dan harus dicari solusinya. Terlebih lagi jam operasional dan jumlah angkutan kampus semakin ditambah sehingga menyebabkan mereka tak ada waktu sedikitpun untuk mendapatkan penumpang.

Sempat mereka protes, tetapi tidak ada balasan apapun dari pihak yang membuat kebijakan kampus. Kalau kata mereka, pihak kampus seperti sudah benci. Padahal mereka sama-sama mencari rezeki untuk kebutuhan hidup. Ada beberapa hal yang menjadi pertanyakan mereka, satu apakah memang sudah tidak ada harapan sama sekali untuk menjalani profesi sebagai ojek di lingkungan kampus? Dan yang kedua, sebenarnya siapa yang salah, apakah ojek pangkalan kampus atau pihak kampus atau memang tidak ada yang harus disalahkan?

Jawabannya pun pasti berbeda-beda pendapat setiap orang, tak bisa menemukan satu jawaban pasti sehingga menjadi permasalahan yang serius. Saya bertanya kepada pihak sarana prasarana kampus terkait keberadaan ojek pangkalan di lingkungan kampus ini. Mereka menjawab dengan berbagai alasan yang masuk akal dan tidak salah juga. Ojek pangkalan ini sudah membentuk sebuah komunitas yang dimana jika dihilangkan akan sangat sulit dan dipaksakan pun tidak ada untungnya, yang terjadi pasti keributan dan bentrokan fisik.

Kemudian, pihak sarana prasarana kampus juga mengaitkan pada peradaban yang sudah berubah. Teknologi kini menjadi peran penting dalam kehidupan dan termasuk bagian dari peradaban. Kita tidak bisa melawan peradaban dan melawan pun tidak akan menang.

Ojek pangkalan salah satu yang melawan peradaban dan akan tergusur oleh peradaban itu sendiri perlahan dengan berbagai cara. Sudah bertahun-tahun diberikan pengertian, tetapi mereka tidak mengerti dan juga sadar akan keadaan yang sudah berubah. Kalau sudah begitu benarkah yang salah tukang ojek kampusnya?

Beda halnya dengan pernyataan dari para ojek kampus, mereka merasa pihak kampus seperti ingin mematikan mereka perlahan-lahan. Tidak diberinya waktu untuk menarik penumpang dan hanya dapat menunggu, mereka harus menerima dengan berat hati. pihak kampus sendiri lah yang tidak memberikan waktu tersebut untuk mereka. Terkadang satpam atau pengurus yang ada di gerbang suka menelpon supir angkutan kampus untuk terus beroperasi karena banyaknya mahasiswa yang menunggu.

“Kendaraan dari kampus waktunya full banget, kita sampai ga kebagian,” kata Ade Saipudin, tukang ojek kampus lainnya.

Para ojek pangkalan hanya ingin sekedar berunding bersama dengan pihak rektor universitas tersebut. Membicarakan apakah ada solusi yang bisa saling menguntungkan dari kedua belah pihak, seperti memberikan lowongan pekerjaan di kampus. Mereka pasti akan mengiyakan jikalau memang ada kesempatan karena sebagian dari mereka hanya dapat bekerja sebagai ojek untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Pendapat saya pribadi kedua pihak sama-sama salah dan tidak ada yang ingin mengalah untuk mencari solusi. Pihak universitas sudah angkat tangan dan membiarkan saja, sedangkan pihak ojek kampus tidak ingin lebih meng-upgrade ke teknologi yang semakin canggih dan memilih tetap diam di sana. Solusinya coba dicari kembali akar permasalahannya apa, harus dipertemukan kedua belah pihaknya dan dirundingkan bagaimana kedepannya. Dengan begitu, ditemukan jawabannya dan saling menguntungkan.

Setelah membaca permasalahan pro dan kontra kedua belah pihak di atas, menurut kalian siapa yang salah dan solusi apa yang sebenarnya harus disepakati?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image