Waspada Pecah Belah Rakyat dalam Masa Kampanye
Politik | 2023-12-12 10:47:30Gelaran perhelatan politik akbar negeri ini sudah di depan mata. Tahun 2024 bahkan digadang-gadang sebagai tahun politik yang panas. Dimana pada tahun 2024 akan dilaksanakan pemilu terbesar sepanjang masa pemerintahan Indonesia.
Selain pemilihan presiden dan wakil presiden, juga akan dilkakukan pemilihan terhadap anggota DPD, DPR, DPRD provinsi/ kabupaten/ kota, gubernur dan beberapa wali kota. Akan menjadi ajang pertarungan oligarki yang sengit.
Setiap pihak akan berusaha memenangkan hati rakyat dengan berbagai cara. Pencitraan diri yang positif tentu menjadi menu utama. Apakah dengan menaikkan kelebihan diri, atau dengan membongkar aib kelemahan pihak lain. Tak ada yang sungguh-sungguh menjadi teman perjuangan. Sebab setiap pihak ingin lahir menjadi pemenang.
Janji juga harapan digadang-gadang dihadapan rakyat sebagai pemilih. Masa kampanye sudah dimulai sejak 28 November sampai 10 Januari 2024 mendatang. Adapun kampanye di media elektroni, media cetak, dan media siber berlangsung pada 21 januari 10 Februari 2024 (Bawaslu Jambi, 27/11/2023).
Rentan Menimbulkan Perpecahan
Seolah menjadi ajang perlombaan. Setiap pihak akan melakukan persiapan menuju menang. Benar maupun salah dalam usaha pencapaiannya menjadi bias. Sepajang menghantarkan pada kemenangan akan ditempuh. Cara-cara konvensional maupun kekinian dilakukan. Kalimat indah dicetak di baliho juga spanduk. Berharap orang yang meilhat akan terpikat.
Saat berusaha mempromosikan diri wajar jika para kontestan melebihkan nilai dirinya. Kiranya menjadi daya Tarik bagi pemilih. Namun usaha ini tentu tak cukup. Ketatnya persaingan, acap kali mengeluarkan jurus lain. Yakni “menyerang” terhadap calon lain yang menjadi pesaing. Baik mengungkap aib yang merusak citra pihak lain, atau bahkan melakukan black campaign. Yakni menimbulkan cerita bohong di tengah-tengah masyarakat.
Jika tak cerdas menyikapi masa-masa ini tentu riskan menimbulkan beda pendapat di masyarakat. Berawal adu argument atau pandangan tehadap para calon di masing-masing pemilihan, berakhir perpecahan yang merugikan tentunya. Perhelatan politik yang diharapkan membawa pada kebaikan justru menjadi ajang pecah belah. Potensi konflik yang berawal dari para kontestan yang ingin lebih unggul, akan merembet pada para pendukung.
Politik Praktis Penuh Intrik
Meraih kekuasaan secara instan menjadi impian banyak orang saat ini. Tak peduli benar salah dalam meraihnya. Karena politik ini sendiri didasari paham sekulerisme. Dimana agama tak mempunya peran dalam praktiknya. Politik parkatis penuh intrik. Sosok yang benar-benar “bersih” tanpa rekam jejak yang buruk suatu yang langka saat ini. Maka tak cukup kiranya menjual citra positif diri sendiri saja.
Dorongan memenangkan persaingan politik mencari cara menjatuhkan pihak lawan. Apakah dengan cara yang dianggap baik? Tentu saja tidak. Cara halus pun terang-terangan dilakukan. Pertarungan mereka yang haus kuasa pun mejadi buas. Pertarungan oligarki yang mewakili para pebisnis melawan mereka yang bergelas para politisi.
Tebaran janji-janji manis memikat rakyat, namun janji tinggal janji. Jualan program-program jitu yang hanya indah dalam kata, namun nihil dalam realisasi. Bantuan-bantuan yang bersifat sementara untuk memenangkan hati rakyat yang dalam kondisi sulit. Semua dilakukan para kontestan demi lahir mejadi pemenang.
Selain itu, para calon tidak segan-segan menyampaikan kebohongan (hoaks), fitnah, dan menyerang aspek SARA.Hal ini menunjukkan bahwa mereka menghalalkan segala cara untuk memperoleh kemenangan. Berbohong dan memfitnah seolah dinormalisasi dalam rangka kampanye (muslimahnews.net 08/12/2023).
Inilah wajah buruk demokrasi yang menghalalkan segala cara. Dimana agama hanya mengatur perkara ibadah, dan politik diserahkan pada keserahan manusia. Bagaimana mungkin hasil yang baik bisa diharapkan dari perkara yang dimulai dengan kerusakan. Dan celakanya sebagian besar rakyat sebagai pemilih masih ikut dalam pusaran ini.
Sejatinya panggung demokrasi yang digelar hanyalah jalan melanggengkan kekuasaan pribadi. Tak akan berpihak kepada rakyat. Dimana janji akan diingkari, setiap ucap tak merasa akan dipertanggungjawabkan. Kekuasan kelak menjadi alat mendominasi pihak lain, termasuk atas rakyat. Rakyat yang seharusnya diriayah (diurusi) kepentingannya, hanya dibutuhkan untuk melengkapi suara pemilih.
Pandangan Islam Terhadap Kekuasaan
Sebagai agama yang tak hanya mengatur perkara ibadah. Tentu islam punya pandangan yang komprehensif terhadap seluruh sistem kehidupan. Al-quran dan As-sunnah sebagai sumber hukum dalam islam tentu tak melewatkan perkara kekuasaan. Sebab dalam islam agama dan kekuasaaan ibarat saudara kembar.
“Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar. Agama merupakan dasar, sedangkan kekuasaan merupakan penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh, dan dasar tanpa penjaganya akan hilang.” Demikian disampaikan Imam Al Ghazali dalam kitabnya Al iqthisad Fi Al I’tiqad.
Sebagai dienul yang sempurna, dalam bernegara pun ada aturan dalam Islam. Kekuasaan tidak dipandang semata-mata kepemimpinan atas rakyat banyak. Tetapi melalui kuasa di tangan seorang pemimpin menjadi jalan mewujudkan hukum Allah di muka bumi.
Demikian Rasulullah SAW pernah mencontohkan setelah hijrah ke Madinah. Beliau bukan sekadar imam dalam shalat, tetapi dalam seluruh pengurusan umat. Diangkatlah qadhi untuk mengurusi umat dalam perkara hokum dan sanksi, beliau juga turun langsung menjadi panglima perang, mengirim delegasi politik ke luar negeri sebagai bagian aktifitas politik negara islam.
Dalam pengelolaan harta untuk kepentigan umat juga demikian rapi dan terstuktur. Disebut nidzhom al I’qtishod sebagai sistem dalam islam yang mengatur sistem ekonomi. Sumber pendapatan negara, sampai pengelolaan distribusi untuk memenuhi kebutuhan rakyat secara menyeluruh. Telah ada dan pernah dilaksankan dalam sistem pemerintahan Islam.
Lantas bagaimana mungkin dikatakan bahwa islam menafikkan kekuasaan? Justru islam mengharuskan adanya kekusaan agar telaksana seluruh syariat Allah. Namun jalan meraih kekusasaan ini yang berbeda dengan politik demokrasi. Sebab secara asas juga sangat berbeda.
Demokrasi berlandaskan sekulerisme, yang menafikkan aturan sang pencipta. Dan menjadikan akal manusia semata sebagai sumber hukum. Yang tentu saja lemah dan sangat terbatas. Bahkan sangat rentan menimbulkan perbedaan pendapat dan perpecahan, sebab setiap orang akan mengemban kepentingan pribadi maupun golongan.
Politik islam berlandaskan aqidah Islam. Dimana sumber hukum adalah wahyu yang datangnya sari sang pencipta manusia, Allah SWT. Tak ada peluang celah pun kekurangan. Maha Suci Allah, Al Khalik Al Mudabbir (Maha Pencipta Maha Pengatur). Allah sangat tau apa yang terbaik untuk kebutuhan manusia ciptaannya. Maka aturan-aturan dalam islam tentu sangat manusiawi. Termasuk dalam berpolitik dan bernegara.
Pemilihan Dalam Islam
Aqidah Islam sebagai landasan dalam setiap aktifitas politik, akan melahirkan proses yang dilingkupi kebaikan. Tidak ada konflik antar para kontestan maupun para pendukung. Semua pihak berlomba-lomba dalam fastabikhul khairot. Siapapun yang terpilih akan memimpin dengan amanah. Sehingga tidak ada kekhawatiran bahwa pihak yang tidak terpilih akan tertindas.
Usaha promo atau menaikkan citra diri juga tidak akan ditempuh dengan cara-cara yang nista. Sebab sangat yakin setiap perkataan dan perbuatan kelak akan dipertanggungjawabkan. Maka akan lahir para kontestan yang jujur dan amanah. Tidak berusaha menjegal pihak lain, sebab yakin semua yang berlaku kelak adalah qadha (ketetapan Allah SWT).
Melihat sejarah pemilihan antara Ali bin Abi Thalib dan Usman bin Affan, tentu kita bisa melihat bagaimana landasan keimanan melahirkan kebaikan dan keberkahan di dalamnya. Ketika khalifah Umar bin Khattab wafat, para sahabat mengusulkan nama Ali bin Abi Thalib dan usman bin Affan sebagai calon khalifah berikutnya. Hasil yang terpilih adalah Usman bin Affan, maka Ali bin Abi Thalib membaiat dengan penuh keridhaan. Bahkan Ali ikut membantu dalam pemerintahan Usman bin Affan.
Masyaallah, sungguh sangat mudah mewujudkan sistem yang damai dan tenang. Tanpa memicu perpecahan bahkan jalan menuju keberkahan Allah SWT.
Wallahua`lam bishawab
*Artikel ditulis dan diizinkan publish oleh Ika Juita Sembiring (Kontributor Opini Islam).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.