Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Suko Waspodo

Masalah Kecil, Perasaan Besar

Parenting | Saturday, 09 Dec 2023, 19:06 WIB
Sumber gambar: Hai Bunda

Anak-anak membutuhkan empati terhadap emosi yang besar, bahkan ketika emosi tersebut "di luar proporsi".

Poin-Poin Penting

· Anak tidak nakal atau manipulatif ketika ia memiliki perasaan yang berlebihan terhadap hal-hal sepele.

· Otak emosional mereka dirancang untuk memberikan dampak maksimal, sementara otak kognitif mereka belum sepenuhnya berkembang.

· Respons terbaik terhadap emosi yang "berlebihan" adalah empati kepedulian.

Anak-anak sering kali menjadi sangat kesal karena hal-hal yang tampaknya tidak penting bagi orang dewasa, seperti tidak bisa menekan tombol lift, tidak memiliki baju favorit karena sedang dicuci, atau diberi tahu bahwa mereka tidak boleh makan kue lagi. Orang tua mungkin menyebut emosi yang berlebihan ini sebagai hal yang tidak pantas, tidak dapat diterima, atau nakal.

Pesannya kepada anak-anak adalah mereka hendaknya hanya memiliki sedikit perasaan terhadap hal-hal kecil, dan menyimpan perasaan besar untuk hal-hal besar.

Itu bukanlah cara kerja emosi. Orang dewasa selalu merasakan perasaan yang besar terhadap hal-hal kecil, seperti ketika atasan atau pasangannya melontarkan kritik, mobil di depan kita melaju terlalu lambat, atau suara keras yang membuat kita terlonjak.

Reaksi-reaksi ini sangat kuat karena bagian emosional otak terhubung dengan tindakan instan, bukan penilaian halus. Otak emosional mengaktifkan suatu perasaan—seringkali perasaan yang besar—tidak peduli seberapa besar peristiwa yang memicunya. Beberapa waktu kemudian korteks serebral bekerja untuk mengevaluasi situasi.

Jika prosesnya berjalan lancar, emosi yang besar akan berlalu dengan cepat jika korteks menyadari bahwa situasinya tidak memerlukan intensitas seperti itu. Kaki terlepas dari pedal gas emosional dan menginjak pedal rem.

Tahap evaluasi dan penghambatan kedua ini lebih lambat—atau tidak ada sama sekali—pada anak-anak. (Tentu saja, hal ini juga bisa terjadi pada orang dewasa.) Otak kognitif anak belum berkembang sebaik otak emosionalnya. Oleh karena itu emosi yang besar terhadap suatu hal kecil dapat terus berlanjut, bahkan semakin meningkat intensitasnya. Tidak ada tindakan pengereman korteks serebral yang matang dan bijaksana.

Di momen-momen seperti ini tentu saja orang tua ingin mengajarkan anak untuk memiliki perspektif, tidak bereaksi berlebihan. Namun mengabaikan suatu perasaan tidak akan menumbuhkan perspektif, hal itu biasanya memicu reaksi emosional yang lebih besar. Yang sangat dibutuhkan anak dalam merespons emosinya yang berlebihan adalah kehadiran kita yang tenang, hangat, dan penuh empati.

Dalih

Alasan lain mengapa anak-anak mempunyai perasaan yang besar terhadap hal-hal kecil adalah karena kejadian kecil dapat menjadi alasan untuk melepaskan emosi dalam jumlah besar terhadap hal lain, sesuatu yang lebih besar. Sumber emosi yang intens terlalu kompleks atau membebani untuk dihadapi secara langsung, sehingga anak menemukan sedikit rasa kesal untuk membuka pintu belakang, sehingga sebagian dari simpanan emosi yang besar dapat dilepaskan.

Bayangkan seorang anak yang melempar kaos favoritnya ke tempat cucian. Orang tua menolak validitas perasaan tersebut karena mereka tidak menyadari bahwa di balik amukan “konyol” ini, anak memiliki perasaan “sah” yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Mungkin anak tersebut merasakan ketegangan antara orang tuanya atau mengalami kesulitan dalam persahabatan atau kesulitan akademis di sekolah. Anak tersebut tidak dapat mengartikulasikan perasaan yang intens dan terdalam ini, namun mereka dapat melontarkan kata-kata yang cocok dengan kaos tersebut.

Ini normal, tapi membingungkan. Biasanya, baik anak maupun orang tua tidak menyadari bahwa emosi yang besar telah tergeser dari sesuatu yang benar-benar penting—namun tak terkatakan—menjadi sesuatu yang kecil—namun bisa diucapkan. Intinya adalah tidak ada emosi yang tidak dapat dibenarkan atau tidak pantas. Hal ini mungkin saja tergeser dari sumber lain, sehingga perlu diperlakukan dengan hati-hati, dengan rasa hormat dan validasi.

Seorang teman bercerita kepada saya tentang putranya, yang sepertinya tidak terpengaruh ketika kucing kesayangannya meninggal. Namun, beberapa bulan kemudian, ketika neneknya harus membatalkan rencana kunjungannya, anak laki-laki itu menangis berjam-jam, meskipun hal ini biasanya dia terima dengan tenang.

Apakah dia “memalsukan” teriakannya tentang Nenek? Tidak, dia mungkin menangis karena kehilangan kucingnya sebelumnya, rasa sakit yang terlalu membebani dirinya saat itu. Peristiwa kecil berupa pembatalan kunjungan Nenek membuka pintu bagi perasaan-perasaan yang tersimpan itu. Orangtuanya tidak perlu berkata, “Kamu benar-benar menangisi kucing itu.” Tidak, perasaan berdalih dapat diterima dengan empati begitu saja: “Kamu sungguh sedih, Nenek tidak datang minggu ini. Aku mengerti."

Saat orang tua anak laki-laki ini mendengarkan dan memeluknya, air matanya atas kunjungan Nenek mengalir deras hingga selesai. Dia kemudian berkata, “Nenek sangat menyayangi kucing itu,” dan dia siap berbagi kenangan indah tentang kucing itu, yang sebelumnya dia hindari ketika kesedihannya terkubur.

Anak-anak sering kali menggunakan luka fisik ringan sebagai dalih untuk mengungkapkan perasaan lebih dalam yang tidak dapat mereka ungkapkan. Itu karena orang dewasa sering kali menganggap cedera sebagai alasan yang “dapat diterima” untuk menangis. Sayangnya, anak tersebut mungkin masih akan mendapat cibiran atau penolakan, karena ukuran emosinya tidak sesuai dengan ukuran lukanya: “Kamu tidak terlalu terluka, berhentilah menjadi bayi.” Namun perasaan yang besar selalu merupakan perasaan yang nyata, meski kita tidak mengetahui alasan sebenarnya.

Hormati kesedihan dan kemarahan anak-anak

Anak-anak membutuhkan empati terhadap kedalaman emosi mereka, tidak peduli seberapa besar pemicunya. Anak-anak tidak membutuhkan penolakan atas ledakan yang lebih besar dari yang kita kira. Anak-anak secara alami merasa sakit hati ketika emosi besar mereka diabaikan, diabaikan, atau dihukum. Mereka mungkin akan semakin meningkatkan ekspresi emosinya sampai kita memahami apa yang mereka katakan kepada kita, atau mereka mungkin menutup diri dan menolak untuk berbagi hal-hal penting dengan kita karena kita tidak memberi tahu mereka bahwa kita peduli.

Janusz Korczak memahami hal ini lebih baik daripada siapa pun yang pernah saya kenal. Dia adalah seorang dokter anak Yahudi Polandia, penulis, pendidik, pembela hak-hak anak yang tak kenal takut, dan salah satu pahlawan besar saya atas keberaniannya menjalani hidup dan menghadapi kematiannya. Dia sangat ingat bagaimana rasanya menjadi seorang anak, seperti yang terlihat dalam buku anak-anaknya yang menyenangkan, King Matt the First, dan buku filosofi pendidikannya yang mendalam, When I Was Little Again. Beliau menulis sesuatu yang selalu saya coba ingat setiap kali seorang anak merasa sangat sedih, marah, atau takut karena suatu hal kecil: “Anak berhak untuk menghargai kesedihannya, meskipun itu karena kehilangan sebuah kerikil.”

***

Solo, Sabtu, 9 Desember 2023. 6:57 pm

Suko Waspodo

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image