Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Moh Adib Amrullah

ChatGPT dan Era Cyberdakwah: Kemunduran Intelektual?

Agama | Thursday, 07 Dec 2023, 11:43 WIB

ChatGPT dianggap lebih canggih dari mesin pencarian Google sebab AI ini mampu menjawab pertanyaan akademik layaknya manusia. Penggunaan ChatGPT bahkan sudah merambah ke ranah keagamaan.

Dilansir dari New York Post pada Februari lalu, pendeta bernama Hershael York dari The Southern Baptist Theological Seminary mengakui bahwa pendeta-pendeta di sana sudah banyak yang memanfaatkan ChatGPT untuk membuat teks khotbah.

Salah satu yang secara terbukA mengakui hal ini adalah pendeta bernama Joshua Franklin. Teks khotbah sebanyak seribu kata itu disusun oleh ChatGPT dan jamaah yang menyimak khotbahnya bertepuk tangan menyukai isi khotbah tersebut.

Jika AI sudah sedemikian canggih bahkan sampai ke ranah keagamaan, apakah ChatGPT mampu tampil sebagai ujung tombak revolusi dakwah era kekinian?

Keilmuan dan Jalan Pintas

Ilmu agama membutuhkan berbagai perangkat keilmuan agar tetap berada pada jalur yang sesuai dengan kitab suci. Agama Islam misalnya, untuk dapat melakukan aktivitas keagamaan seperti sholat dengan baik dan benar membutuhkan aturan hukum legal-formal yang disebut ilmu fikih.

Fikih inilah yang mengatur semua bentuk ritual keagamaan dalam agama Islam. Ada syarat-rukun yang harus dipenuhi dan dipahami supaya ibadah yang dikerjakan bisa sah dan bernilai pahala. Untuk sesuai dengan aturan tersebut, pelajar atau santri harus mempelajari ilmu fikih dari tingkat dasar hingga seterusnya. Biasanya ilmu ini dipelajari di masjid atau madrasah, diajari oleh guru agama yang sudah kompeten di ilmu ini.

Dulu, guru agama merupakan identitas yang sangat sakral. Mereka yang disebut ustadz atau kyai merupakan sosok intelektual yang telah belasan bahkan puluhan tahun belajar di pesantren. Banyak tokoh ulama di Indonesia yang bahkan mengenyam pendidikan hingga ke Makkah atau Kairo. Untuk sekadar dapat membaca ayat-ayat Al-Qur’an saja, diharuskan menguasai berbagai perangkat keilmuan seperti imla’ (ilmu tulis-menulis huruf Arab), tajwid (ilmu membaca Al-Qur’an) dan seterusnya.

Proses belajar untuk sampai ke taraf mahir membaca Al-Qur’an bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun dengan bimbingan intensif guru ngaji. Dari fakta ini dapat dilihat bahwa untuk menguasai satu cabang ilmu agama saja bisa membutuhkan waktu yang tidak sedikit.

Sejak dimulainya era keterbukaan informasi dengan kehadiran internet, akses untuk mempelajari apapun menjadi terbuka lebar tak terkecuali ilmu agama. Platform YouTube misalnya, menyediakan semua konten dakwah secara bebas akses. Untuk mencari tata cara sholat misalnya, cukup buka YouTube atau mencari artikel di Google, sudah tersedia lengkap.

Bahkan bagi yang tertinggal atau memang malas mengikuti bimbingan manasik haji, dapat mempelajari sendiri di internet. Fenomena seperti membuat sebuah pertanyaan mendasar: apakah umat saat ini memang mulai cerdas memanfaatkan teknologi, atau karena menyukai jalan pintas untuk mempelajari ilmu agama?

Kemunduran Intelektual

Pendeta yang memanfaatkan ChatGPT di atas menghasilkan sebuah pemahaman bahwa untuk membuat teks khotbah yang baik, tidak perlu belajar bertahun-tahun dahulu untuk kemudian mencapai level keilmuan setingkat pendeta. Kini, semua orang bisa membuat teks khotbah tanpa perlu jadi pendeta. Lebih jauh, apakah ini juga berarti semua orang dapat menjadi setara pendeta?

Kehadiran AI tentu menjadi masalah jika sampai membuat generasi penerus bangsa dan agama menjadi malas untuk menguasai ilmu agama. Sangat berisiko jika hanya mengandalkan video YouTube untuk belajar membaca apalagi menghafal Al-Qur’an. Untuk memastikan sebuah hukum fikih, peran ulama yang menguasai ilmu agama secara mendalam tentu tidak bisa digantikan oleh ChatGPT. Permasalahan keagamaan di tengah masyarakat semakin kompleks dan terikat dengan konteks yang ada, dan ini membutuhkan tidak hanya penguasaan ilmu agama tetapi juga kesadaran sosial dan kebijaksanaan dalam mencari solusinya.

Kehadiran ulama tetap menjadi posisi yang sentral dan tidak dapat digantikan oleh AI. Jika pelajar muslim menolak bersusah payah belajar ilmu fikih, nahwu hingga tasawuf dan beralih menggunakan AI dan internet saja, maka tidak hanya menyesatkan diri sendiri tetapi juga membuat Islam mengalami kemunduran yang serius. AI harus digunakan secara bijak dan sesuai porsinya sebab AI bukanlah pewaris para Nabi.

Moh. Adib Amrullah

Anggota Asosiasi Penulis-Peneliti Islam Nusantara (ASPIRASI)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image