Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Siswantoro Siswantoro

The Millineum Story of Kretek: Menelusuri Jejak-jejak Kontribusi Sigaret Kretek dalam Satu Abad

Sejarah | Sunday, 03 Dec 2023, 15:26 WIB
Industri Kretek: Prestasi Pribumi dan Keuntungan Pemerintah Kolonial - National Geographic (grid.id))" />
Potret 1954, para perempuan menyortir daun tembakau di perkebunan tembakau Tandjong Morawa di Serdang, Sumatera Timur (Sumber: Industri Kretek: Prestasi Pribumi dan Keuntungan Pemerintah Kolonial - National Geographic (grid.id))

“Kemunculan industri kretek memiliki makna sosial yang luas karena industri ini menjadi dinamisator ekonomi terutama karena kemampuannya melibatkan banyak tenaga dan sistem produksi yang lebih demokratis”

~Sri Margana (2014)

“Bak dua mata koin yang tak terpisahkan”.

Kira-kira seperti itulah gambaran keterkaitan industri kretek dan Indonesia. Bukan dalam jangka waktu satu atau dua tahun, namun hubungan industri kretek dan Indonesia sudah terjalin dalam hitungan abad, bahkan sebelum negara ini bebas dari belenggu penjajahan. Di dalam perjalanannya, perkembangan industri kretek di Indonesia tidak selalu mulus, melainkan penuh dengan dinamika pasang-surut. Meskipun demikian, industri ini masih bertahan hingga saat ini dan tetap berkontribusi untuk perekonomian dalam negeri.

Secara garis besar, kontribusi industri kretek di Indonesia mengalir pada tiga aspek utama yaitu penyerapan tenaga kerja lokal, penerimaan negara melalui cukai, dan menyumbang pendapatan negara melalui ekspor. Untuk mengingat kembali peran besar industri kretek terhadap perekonomian Indonesia dalam satu abad terakhir, tulisan ini berusaha menyajikannya dalam rangkaian cerita berjudul: “The millenium story of Kretek”.

1. Awal abad ke-20: Sebuah awal kejayaan

Industri kretek sudah ada di Indonesia sejak awal abad ke-20 yang ditandai dengan munculnya berbagai perusahaan kretek di beberapa kota di Indonesia, khususnya di Kudus. Salah satu pengusaha kretek sukses di awal tahun 1900-an adalah Nitisemito dengan produk kretek andalannya yaitu “Bal Tiga” yang sangat laris di pasaran pada masa itu. Kontribusi perusahaan ini terhadap perekonomian di Kudus pun tidak main-main. Pada dekade pertama perusahaan ini berdiri, produksinya hanya sekitar satu juta batang perhari, namun pada pertengahan periode berikutnya, jumlah produksinya meningkat enam kali lipat dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 8.000 orang. Bahkan sekitar tahun 1930an, Nitisemito mengekspansi perusahaannya dengan membangun pabrik yang dapat menampung tenaga kerja mencapai 10.000 orang.

2. 1930an - Pra kemerdekaan: Masa-masa sulit itu terlewati

Perkembangan industri kretek tidak selalu berjalan lancar. Depresi ekonomi sempat melanda Indonesia sebelum kemerdekaan, khususnya pada periode 1930an, yang disebabkan karena ketergantungan pada standar nilai emas. Krisis ekonomi ini juga berdampak pada industri kretek, meskipun tidak separah yang dialami industri gula tebu. Tembakau masih menjadi salah satu komoditas ekspor penting. Selain itu, industri rokok khususnya di Kudus juga pulih lebih cepat dari hantaman krisis.di mana pada 1933 industri ini relatif sudah lebih stabil. Selain krisis ekonomi, pada periode ini, Indonesia juga dilanda krisis sosial-politik karena pendudukan Jepang di Indonesia pada periode 1942-1945.

Di balik keterpurukan ekonomi dan masa-masa sulit yang dialami industri kretek besar, sejumlah orang mampu menyiasati depresi ekonomi pada 1930an dengan membangun industri kretek berskala kecil. Industri kretek berskala kecil meningkat secara signifikan dari semula hanya 28 unit sebelum krisis (1929) menjadi 166 setelah krisis ekonomi (1933) dan menyerap lebih banyak tenaga kerja.

3. Pasca kemerdekaan – 1980’an: Lahirnya perusahaan-perusahaan besar

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, industri kretek berkembang sangat signifikan, utamanya pada pertengahan abad ke-20 di mana pada periode ini, sejumlah perusahaan besar yang diakui saat ini berdiri khususnya di Kudus, Kediri, dan Surabaya. Sekitar tahun 1950an, perusahaan kretek dengan pangsa pasar terbesar ketiga di Indonesia saat ini, Djarum, berdiri di Kudus. Perusahaan ini berkembang dengan sangat cepat hingga pada 1962, jumlah kapasitas produksinya mencapai 329 juta batang per tahun dan menyerap ribuan tenaga kerja.

Selain Djarum, Gudang Garam juga berdiri pada periode 1950’an di Kediri, Jawa Timur. Gudang Garam adalah industri kretek dengan pangsa pasar terbesar di Indonesia saat ini. Perkembangan perusahaan ini juga sangat cepat dan signifikan. Pada periode awal berdirinya perusahaan ini (1958), jumlah tenaga kerjanya hanya 50 orang, namun kemudian meningkat menjadi 512 orang satu tahun kemudian. Pada 1971, jumlah produksi Gudang Garam mencapai 1,768 miliar batang per tahun dengan serapan tenaga kerja mencapai 10.603 orang. Pada 10 tahun berikutnya, jumlah tenaga kerja di Gudang Garam telah mencapai 37.012 orang atau meningkat hampir 300%. Di Kediri sendiri, jumlah perusahaan kretek berkembang pesat di mana pada 1950’an hanya ada 40 pabrik kretek yang beroperasi, namun jumlahnya meningkat menjadi 131 unit satu dekade setelahnya.

Perusahaan kretek berikutnya yang berdiri di era ini adalah HM Sampoerna yang diluncurkan di Kota Surabaya. Saat ini, HM Sampoerna memegang pangsa pasar kretek terbesar kedua setelah Gudang Garam. Jumlah produksinya mencapai 25 miliar batang kretek dan sebanyak 62,4%-nya merupakan produk Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang menyerap banyak tenaga kerja. Selain Sampoerna, perusahaan kretek lainnya yang berdiri di Surabaya adalah PT Gelora Djaja pada 1962. Pada awal perusahaan ini berdiri hanya ada 10 orang pegawai, kemudian meningkat menjadi 45 orang pada 1966, dan mencapai 3.000 pegawai pada tahun 1976.

4. 1980’an – Awal abad ke-21: Tetap bertahan dan berperan di tengah berbagai ancaman

Pada periode ini, industri kretek kembali diuji dengan krisis yang melanda Indonesia pada periode 1997/1998. Khusus untuk segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT), perkembangan Sigaret Kretek Mesin (SKM) juga berkembang pesat yang tentunya mengancam keberadaan SKT. Meskipun diterpa dengan berbagai ancaman, industri kretek masih stabil beroperasi dibanding industri lainnya dan tetap berkontribusi untuk perekonomian dalam negeri terutama pada aspek penerimaan cukai, penyerapan tenaga kerja, dan ekspor.

Pada periode 1990/1991, penerimaan cukai tercatat hanya sebesar Rp 1,8 triliun atau menyumbang sekitar 4% dari penerimaan dalam negeri. Pada periode satu dekade setelahnya, penerimaan cukai justru meningkat menjadi Rp 10,4 triliun dengan kontribusi terhadap penerimaan dalam negeri mencapai 7,3%, meskipun saat itu Indonesia dilanda krisis ekonomi. Dari penerimaan cukai tersebut, sebesar 95% berasal dari cukai hasil tembakau yang dihasilkan oleh industri kretek.

Dalam hal penyerapan tenaga kerja, industri kretek masih konsisten berkontribusi pada aspek ini meskipun Indonesia dilanda krisis pada akhir abad ke-20. Data menunjukkan bahwa pada tahun 1980, penyerapan tenaga kerja di industri kretek mencapai 121.291 orang, kemudian meningkat menjadi 133.391 orang pada tahun 1990, dan meningkat kembali menjadi 200.821 orang pada tahun 2000. Dilihat dari pertumbuhan penyerapan tenaga kerjanya, rata-rata pertumbuhan industri rokok kretek mencapai 2,77% per tahun selama periode 1980 hingga 2000’an.

Produksi kretek di Indonesia tidak hanya menjadi konsumsi masyarakat Indonesia, namun juga diekspor ke mancanegara. Pada periode 1996-2000, perkembangan ekspor kretek mengalami pasang-surut sebagai akibat dari krisis ekonomi yang terjadi pada periode ini. Pada periode 1996, nilai ekspor rokok kretek mencapai US$127,2 juta, kemudian menurun menjadi US$ 99,98 juta pada 1998, dan kembali meningkat pada 2000 menjadi US$ 139,2 juta.

5. Awal abad ke-20 – Saat ini: Konsisten berkontribusi untuk negeri

Meskipun keberadaan industri kretek menjadi kontroversi bagi beberapa pihak, namun kenyataan yang terjadi sekarang, industri ini masih menjadi penopang perekonomian dalam negeri khususnya di tingkat daerah. Keberadaan perusahaan-perusahaan kretek di berbagai daerah menjadi ladang berkah bagi masyarakat yang ada di dalamnya, khususnya dalam hal penyerapan tenaga kerja.

Perusahaan Sukun yang beroperasi di Kudus saat ini memiliki jumlah karyawan mencapai 5.000 orang di mana 90% diantaranya adalah tenaga kerja wanita. Selain itu, industri Nojorono yang juga beroperasi di Kudus, saat ini telah mempekerjakan 397 karyawan bulanan, 1554 karyawan harian, dan sekitar 7000 karyawan borongan. Di perusahaan Djarum, tenaga kerja yang dipekerjakan hingga tahun 2007 mencapai 74.490 orang.

Selain perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di Kudus, perusahaan-perusahaan kretek berskala kecil hingga menengah juga masih bertahan hingga saat ini, meskipun jumlahnya kian berkurang. Pada tahun 2008, jumlah perusahaan kretek berskala kecil-menengah di Kudus mencapai 144 dengan kapasitas produksi mencapai 500 juta batang kretek per tahun. Namun dikarenakan anyaknya perusahaan yang gulung tikar, jumlah ini akhirnya berkurang menjadi sekitar 50 perusahaan saja pada 2012.

Selain menyerap banyak tenaga kerja, industri kretek juga berkontribusi besar terhadap perekonomian di Kudus. Ratusan produsen kretek yang beroperasi di Kudus mampu menyumbang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kudus sebesar Rp 23,57 triliun atau 66,25% dari PDRB total Kudus di tahun 2009. Kudus juga menyumbang cukai kretek terbesar di Indonesia di mana pada 2013 sumbangan cukai kretek Kudus untuk nasional mencapai Rp 24,7 triliun dan meneguhkan Kudus sebagai “Kota Kretek” terbesar di Indonesia.

Selain di Kudus, industri kretek juga membawa berkah tersendiri bagi perekonomian masyarakat di Jawa Timur, khususnya di Kediri, Malang Raya, dan Surabaya yang menjadi sentra industri kretek di Jawa Timur. Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) mencatat kontribusi cukai rokok Jawa Timur mencapai Rp 40 triliun pada pertengahan 2010 dari jumlah nasional yang mencapai Rp 66 triliun.

Di tingkat nasional, meskipun jumlah perusahaan kretek mengalami penurunan pada periode 2007-2012, namun kontribusi terhadap cukai justru meningkat. Pada 2007, jumlah industri kretek tercatat sebanyak 4793 perusahaan dengan kontribusi cukai sebesar Rp 43,5 triliun, sementara pada 2012, dengan jumlah perusahaan yang lebih sedikit (1530 perusahaan), cukai industri rokok justru meningkat menjadi Rp 85 triliun. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat hingga tahun 2019, jumlah tenaga kerja yang terserap di industri rokok mencapai 5,98 juta orang dengan nilai ekspor rokok dan cerutu mencapai US$931,6 juta pada 2018 dan penerimaan cukai menembus Rp 156 triliun sepanjang 2018.

Rangkaian fakta sejarah ini menegaskan kembali peran penting industri kretek, khususnya segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT) terhadap perekonomian Indonesia. Dapat dikatakan bahwa kontribusi industri kretek terhadap perekonomian mengalir pada dua bagian besar yaitu bagian tingkat nasional dan tingkat daerah. Di tingkat nasional, negara memeroleh pendapatan cukai dari beroperasinya industri kretek di Indonesia sekaligus berkontribusi terhadap komoditas ekspor. Sementara, di tingkat daerah, industri kretek berperan besar dalam menyerap tenaga kerja, khususnya tenaga kerja wanita, dan menumbuhkan sektor-sektor perekonomian baru di tingkat daerah.

Mengingat besarnya peran industri kretek terhadap perekonomian Indonesia yang sudah dilakukan selama berabad-abad, sudah seharusnya pemerintah menjaga industri ini dengan menerapkan kebijakan yang berkeadilan dan memberikan manfaat untuk semua pihak yang terlibat di industri ini.

Referensi

1) Margana, S. (2014). Kretek Indonesia: Dari Nasionalisme hingga Warisan Budaya

2) Budiman, A. (1987). Rokok Kretek: Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi Pembangunan Bangsa dan Negara.

3) Castles, L. (1982). Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus.

4) Sumarno, S. B., & Kuncoro, M. (2002). Struktur, Kinerja, dan Kluster Industri Rokok Kretek: Indonesia, 1996-1999. Fakultas Ekonomi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

5) Majalah Kretek, Edisi Tahun 2010, Halaman 15

6) Yuniar, M. (2001). Perusahaan kretek Gudang Garam, profil buruh dan persaingan 1980-1988. Skripsi Jurusan Sejarah Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.

7) Indocommercial, No. 235, 11 Oktober 1999

8) Indocommercial, No. 289, 11 Januari 2002

9) Majalah Eksekutif No 109, Juli 1988, Hal 124

10) Surabaya Pos, Rabu 10 Agustus 2011

11) Majalah Industri No. 3, Tahun 2011

12) Dirjen Bea dan Cukai

13) Haryono, I. (2007). Road Map 2007-2020 Industri Hasil Tembakau dan Kebijakan Cukai. Departemen perindustrian.

14) Statistik Industri Besar dan Sedang. Badan Pusat Statistik

15) https://kemenperin.go.id/artikel/20475/Industri-Hasil-Tembakau-Tercatat-Serap-5,98-Juta-Tenaga-Kerja

16) Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GPPRI)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image