Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fahri Hardiansyah

Jangan Sampai Salah Pilih Kepanitiaan Kampus

Eduaksi | 2022-01-04 08:41:52
Source: Pixabay

Ketika memasuki dunia perkuliahan, kurang afdol rasanya jika kita hanya terlarut dalam hal-hal yang bersifat akademis saja. Menghabiskan waktu empat tahun hanya untuk sekadar ngampus, perpus, dan kemudian lulus. Lebih dari itu, banyak hal-hal yang dapat kita lakukan agar masa perkuliahan kita jauh dari kesan monoton.

Selain sebagai sarana untuk mengenyam pendidikan, kampus dirasa tempat yang tepat bagi mahasiswanya untuk mengembangkan hal-hal yang sifatnya non-akademis. Salah satunya dengan bergabung ke dalam suatu kepanitiaan kampus. Ada banyak kepanitiaan yang bisa kita pilih, mulai dari acara yang skalanya kecil di himpunan, hingga acara penerimaan mahasiswa baru yang cakupannya adalah universitas.

Dari sekian banyak kepanitiaan yang ada di kampus, tenyata tidak semua kepanitiaan memiliki suasana internal yang sehat dan menyenangkan. Ada beberapa kepanitiaan yang justru ketika kita bergabung di dalamnya, bukannya mendapatkan manfaat untuk bisa belajar mengenai hal-hal baru, malah yang ada kita hanya mendapatkan pengalaman traumatis yang membuat kita kapok untuk ikut kepanitiaan kembali di masa mendatang. Sudah, mah, dibebani dengan tugas-tugas perkuliahan yang menggunung, ditambah lagi dengan masuk kepanitiaan yang bikin capek hati. Hidup rasanya berat banget.

Sebenarnya, banyak tanda-tanda yang dapat menunjukkan kalau kepanitiaan yang kita ikuti itu tidak sehat dan membawa dampak buruk bagi kita. Namun apa boleh buat, kita sudah terlanjur “nyemplung” di dalamnya dan harus tetap komitmen untuk menyelesaikan kepanitiaan tersebut sampai akhir.

Berdasarkan pengalaman yang penulis rasakan, ada beberapa tanda yang dapat menjadi indikasi kalau ternyata kita masuk ke dalam kepanitiaan yang tidak “sehat”. Di sini penulis akan menjelaskan tanda-tanda tersebut agar di kemudian hari tidak ada lagi yang salah masuk kepanitiaan yang ujungnya hanya mendapatkan penyesalan. Sekali lagi, poin-poin yang penulis jelaskan tidak berdasar pada rujukan apa pun dan murni merupakan pengalaman pribadi penulis selama mengikuti kepanitiaan di kampus.

Pertama, kepanitiaan yang kerjanya tidak mengenal waktu. Memang, ketika kita memutuskan untuk bergabung ke dalam suatu kepanitiaan, ada tenaga dan waktu yang perlu dikorbankan. Namun, bukan berarti kita dituntut untuk selalu siap sedia 24/7 dengan kepanitiaan tersebut. Hal itu yang terkadang kurang dimengerti oleh sebagian kepala divisi di kepanitiaan. Seringkali pekerjaan yang mereka berikan itu datangnya banyak dan mendadak dengan tenggat waktu yang bisa dibilang sangat singkat.

Belum lagi perkara rapat. Entah kenapa banyak kepanitiaan yang memulai rapatnya ketika hari sudah larut malam. Itu pun tidak langsung masuk ke pokok bahasan. Justru rapat dibuka dengan percakapan ngalor-ngidul yang kadang bikin lupa waktu. Sesekali pernah saya ingatkan. Namun, alasan yang saya terima adalah hal tersebut dilakukan semata-mata untuk membangun kedekatan anggota satu sama lain. Saya paham, maksudnya baik. Akan tetapi, alangkah lebih baiknya sesi obrolan --yang sebenarnya tidak penting-penting amat-- itu dilakukan setelah selesai rapat. Setidaknya untuk orang-orang yang mudah ngantuk seperti saya dapat meninggalkan forum itu terlebih dahulu.

Kedua, kepanitiaan yang minim apresiasi. Coba bayangin, deh, ketika kita udah bekerja semaksimal mungkin untuk memberikan hasil yang terbaik, balasan yang kita terima justru berupa omelan yang kadang bikin sakit hati. Seolah-olah apa yang sudah kita kerjakan itu tidak ada benarnya sama sekali di mata kepala divisi.

Perlu diingat, saya bukan merupakan orang yang antikritik. Akan tetapi, setidaknya apresiasi juga perlu diberikan sebagai bentuk penghargaan kepada kita yang sudah bekerja. Nggak perlu sampai mengeluarkan uang untuk membelikan kopi susu kekinian itu, kok, sebagai bentuk apresiasi. Cukup beri ucapan “terima kasih” buat saya itu sudah lebih dari cukup. Bukannya akan lebih enak kalau memberikan apresiasi terlebih dahulu baru mengevaluasi?

Ketiga, kepanitiaan yang di dalamnya berkubu-kubu. Kepanitiaan seperti ini biasa saya jumpai ketika sang kepala divisi memilki circle pertemanan. Ia akan melakukan nepotisme dengan mengajak teman satu circle-nya untuk bergabung ke dalam kepanitiaan yang dipimpinnya. Sebenarnya saya tidak masalah mau berapa banyak teman yang ia ajak. Namun, perlu dibedakan mana urusan pekerjaan mana urusan pertemanan. Terkadang ada saja obrolan di luar pembahasan yang hadir di sela-sela rapat, yang sebenarnya hanya ia dan circle-nya yang mengerti. Hal itu jelas sangat mengganggu dan membuat waktu rapat menjadi semakin lama.

Mungkin beberapa orang yang membaca tulisan ini akan berkata dalam hati, “Lagian siapa suruh ikut kepanitiaan? Kalau ngga mau ngerasain gitu, ya, jadi kepala divisinya, lah”. Iya saya paham di dunia ini ngga ada yang sempurna, termasuk kepanitiaan. Akan tetapi, bukannya alasan orang bergabung ke dalam kepanitiaan adalah ingin berkembang?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image