Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gili Argenti

Mengenal Ideologi dan Gerakan Fasisme

Sejarah | Tuesday, 28 Nov 2023, 05:09 WIB
Ilustrasi gambar Adolf Hitler, Sumber : www.kompas.com

Bagi sebagian publik dunia fasisme sebagai sebuah ideologi politik dianggap telah mati, keyakinan dibangun dari fakta sejarah atas kekalahan Jerman, Jepang, dan Italia pada perang dunia kedua. Ketiga negara tersebut menjadikan fasisme sebagai ideologi politik, kekalahan mereka oleh sekutu dinilai pertanda keruntuhan sekaligus kematian fasisme dipanggung politik global.

Padahal dalam kamus politik, ideologi sesungguhnya tidak mengenal kematian permanen, sebagai pemikiran ia mampu bertahan lama, bahkan tidak jarang melampaui umur sang pengagas ideologi itu sendiri, karena pemikiran tertulis hakikatnya bersifat abadi tidak akan terhapus rentang sejarah, terlebih sifat dari teks ideologi saat ini setiap saat bisa diakses dengan mudah oleh generasi penerusnya.

Ideologi dapat diartikan sebagai seperangkat ide, gagasan, dan pemikiran tentang bentuk negara dianggap paling baik, sedangkan secara struktural ideologi merupakan sebuah pembenaran, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa (Surbakti, 2010).

Fasisme berasal dari bahasa latin dari kata fasces atau fascio, artinya seberkas kayu yang diikatkan pada gagang kampak bermata dua, sebagai penanda otoritas kekaisaran Romawi kuno. Istilah fasces atau fascio juga merupakan simbol pengabdian, loyalitas, dan ketaatan mutlak kepada penguasa.

Pada tahun 1890-an kata fascia digunakan di Italia untuk menyebutkan kelompok politik atau kaum pergerakan revolusioner, baru kemudian ketika Mussolini berkuasa menggunakan istilah fascismo untuk menyebut pasukan paramiliter yang dibentuknya, dari sinilah kemudian istilah fasisme menjadi pemaknaan jamak sebagai ideologi politik (Heywood, 2016).

Kemunculan Fasisme

Fasisme muncul di negara Jerman dan Italia, dua negara sudah mencapai demokrasi dan menerapkan kapitalisme, bagi Fasisme terdapat kesalahan dari kedua sistem ini, dengan menerapkan kebebasan serta menyerahkan ekonomi pada mekanisme pasar terbuka akhirnya memunculkan ketakutan dan ketidakpastian.

Ketidakpastian siapa memenangkan persaingan dalam kompetisi ekonomi, kemudian ketakutan tidak mendapatkan jaminan privilege sebagai warga negara ketika bersaing dengan para imigran, serta ketidakjelasan adanya proteksi dari kesenjangan dan kemiskinan akibat dari sistem kapitalisme.

Fasisme juga mengkritik praksis demokrasi, sistem politik yang mengklaim kedaulatan ditangan rakyat, justru kenyataanya melahirkan sentralisme kekuasaan terpusat pada segelintir elit atau oligarki. Jalannya demokrasi bagi Fasisme diklaim telah gagal memberikan harapan tegaknya keadilan, persamaan, dan keterbukaan bagi masyarakat luas.

Retorika politik kaum Fasisme memang menebarkan kebencian terhadap kebebasan yang menjadi fondasi utama dari demokrasi dan kapitalisme, bahwa kebebasan tidak memberikan jaminan serta perlindungan dari negara. Demokrasi dan kapitalisme tidak menjadikan negara berwatak proteksionis, tetapi semata-mata bertugas menjadi penjaga malam (nachtwächterstaat) yang mengutamakan kebebasan individu, serta rakyat dibiarkan bebas bersaing dalam pasar terbuka, dan negara tidak boleh ikut campur tangan atau melakukan intervensi.

Propaganda Fasisme memiliki satu tujuan menjadikan rakyat takut dengan kebebasan dimiliki, mereka mengajak rakyat melarikan diri dari kekebasan, sebab kebebasan menurut Fasisme justru menjadikan rakyat terasing (teralienasi) dari negara. Kelompok Fasis sangat memahami kehendak rakyat yang membutuhkan negara kuat yang mampu memberikan kepastian, dan Fasisme memberikan jaminan terbentuknya sebuah negara kuat tersebut.

Kemenangan Kotak Suara

Kemenangan Partai Nazi di tahun 1932 membuktikan partai berhaluan Fasisme pernah mendapat dukungan kuat di negara Jerman, meskipun sejarah mencatat kemenangan partai Adolf Hitler ini tidak mendapatkan suara mayoritas mutlak. Tetapi perolehan suara yang signifikan membuktikan kuatnya dukungan rakyat Jerman atas narasi ideologi Nazi. Artinya fasisme menjadi antitesis dari demokrasi dan kapitalisme. Fasis meraih kekuasaan dengan cara legal konstitusional mengikuti pemilu.

Kemenangan Partai Nazi disalah satu negara demokrasi di barat menjadi sebuah ironi, kekuatan anti demokrasi yang mempropagandakan ketidaksetaraan dengan menebar kebencian dan teror kepada kelompok tertentu, justru dimenangkan melalui mekanisme yang demokrastis lewat pemilu. Melalui pesta demokrasi akhirnya mengantarkan seorang Adolf Hitler menjadi orang berkuasa di Jerman sejak 1933 sampai 1945 dengan gelar Führer und Reichskanzler.

Karakteristik Fasisme

Terdapat beberapa karakteristik dari ideologi Fasisme pernah berkembang di dunia barat, diantaranya (1) fanatik dan anti nalar, (2) mengingkari kesetaraaan manusia, (3) menekankan kekerasan, dan (4) totaliter.

Pertama, fanatik dan anti nalar, ideologi Fasisme bersifat tertutup dengan mendoktrinasi pengikutnya, bahwa kepemimpinan politik tidak boleh dikritisi, setiap kebijakan dari penguasa harus dipatuhi secara totalitas tinggi dan loyalitas mutlak. Informasi dibuat secara top down dari pemerintah dengan menciptakan hegemoni pemikiran tentang keunggulan ras, negara, dan pemimpin politik.

Mitos superioritas ras diwujudkan aksi librisida aksi sistematis melakukan pelarangan, pengrusakan, dan penghacuran atas buku-buku dianggap berbahaya. Buku-buku mengalami librisida ketika Nazi berkuasa di Jerman umumnya dinilai memiliki pandangan berbeda dengan narasi Fasisme seperti Komunisme, Liberalisme, dan Demokrasi. Aksi librisida dilakukan dengan mengeluarkan buku-buku dari perpustakaan membentuk rantai manusia, mengoper satu persatu buku secara estafet untuk kemudian dikumpulkan ditengah lapangan untuk dibakar secara massal.

Kedua, pengingkaran atas kesetaraan manusia, melakukan klasifikasi dan segregasi sosial berdasarkan jenis kelamin, keanggotaan partai, dan ras. Laki-laki memiliki kedudukan tinggi dibandingkan perempuan di ranah publik. Keanggotaan di dalam partai menjadikan posisi warga negara tidak sederajat, setiap kebijakan negara senantiasa memperioritaskan warga negara yang menjadi anggota partai.

Struktur ras bagi Fasis bersifat hirarkis, terdapat ras superior dan ras inferior, bahwa ras superior ditakdirkan menguasai ras inferiror, sentimen atas prinsip primordial ini membawa korban manusia, terutama bangsa Yahudi ketika itu, mereka mengalami pembumihangusan oleh Nazi di kamp konsentrasi.

Ketiga, menekankan kekerasan, Fasisme membagi manusia ke dalam dua kelompok besar antara kawan dan lawan. Kelompok tidak sependapat Fasisme harus ditundukan dengan cara kekerasan bahkan pembunuhan.

Keempat, totaliter, pemerintahan Fasisme tidak mengakui sistem multi partai, artinya tidak memberikan ruang bagi ideologi-ideologi lain untuk lahir, berkembang, dan tumbuh diluar ideologi dari negara. Hanya terdapat satu partai diakui pemerintah, yaitu partai berideologikan Fasisme.

Ancaman Fasisme

Kemunculan Fasisme memiliki kekhasan berkembang di negara sudah menerapakan demokrasi dan kapitalisme, Fasisme tidak bisa hidup di negara masih otoritarian apalagi feodal, mereka memanfaatkan kekecewaan serta kemarahan rakyat atas praksis politik kaum elit dinilai gagal mewujudkan impian akan kebebasan manusia.

Solusi membendung Fasisme bahwa kesetaraan, memutus kesenjangan, tegaknya keadilan, dan kesejahteraan menjadi kunci untuk mempersempit ruang berkembangnya ideologi Fasis, juga aktifis kemanusiaan harus terus mengkampanyekan pentingnya persatuan dan persaudaraan warga dunia. Sesungguhnya ditengah-tengah perbedaan etnis dan ras sejatinya tersimpan kesamaan untuk merindukan hadirnya perdamaian dan keharmonisan hidup sesama umat manusia.

Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA).

Referensi Artikel

1. Heywood, Andrew. 2016. Ideologi Politik Sebuah Pengantar. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

2. Sarget, Lyman Tower. 1986. Ideologi Politik Kontemporer. (Jakarta : PT. Bina Aksara).

3. Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. (Jakarta : Grasindo).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image