Budaya Self-Service : Efisiensi atau Eksploitasi?
Edukasi | 2024-10-08 10:43:36Bulan Mei lalu, media sempat ramai dengan cuplikan viral, dimana sekumpulan pemuda menumpuk piringnya sendiri setelah makan. Hal yang lazim dilakukan, namun tidak pada restoran cepat saji yang biasa dilayani oleh seorang pelayan. Cuplikan tersebut menuai respon positif dari masyarakat di sosial media X, hingga Customer Relation Lead oleh PT. Waroeng Steak Indonesia, turut berkomentar atas aksi yang dilakukan oleh pelanggan. Hal tersebut memberikan motivasi kepada masyarakat hingga tercipta gerakan #TumpukDiTengah.
Apabila ditinjau dari perkembangan kehidupan masyarakat, kemajuan teknologi seringkali muncul sebagai respon untuk menyikapi budaya baru. Budaya tersebut muncul akibat akulturasi dari globalisasi yang mempengaruhi individu untuk berinovasi, sehingga dapat mengubah sistem dalam tatanan masyarakat. Budaya “tumpuk di tengah” akhirnya menjadi kebiasaan baru, yang termasuk dalam budaya self service. Budaya self service merupakan konsep melayani diri sendiri, yang diyakini telah ada sejak akhir abad ke-20. Sistem ini terinspirasi dari negara Barat terutama dalam industri makanan cepat saji, perbankan, dan ritel. Hingga saat ini, Indonesia telah menerapkan budaya tersebut di berbagai industri, karena dianggap efisien dalam pelaksanaannya.
Negara barat yang menganut ideologi kapitalisme dan telah dahulu menerapkan budaya self service, lebih menekankan pada efisiensi dan kemandirian pelanggan, terutama dalam menekan biaya operasional perusahaan. Dalam lingkup industri, pelanggan dengan bebas memanfaatkan dan mengakses layanan teknologi tanpa adanya intervensi dari pihak lain. Di negara Indonesia, budaya self service ini baru berkembang di masyarakat. Meskipun banyak diterapkan di beberapa restoran cepat saji, masyarakat Indonesia masih menyukai layanan dan interaksi langsung dengan staf. Budaya tersebut membutuhkan waktu untuk beradaptasi dalam memandang budaya self service dengan cara yang berbeda.
Self Service sebagai Bentuk Efisiensi
Prinsip kapitalisme memberikan kemudahan untuk meraih cara yang optimal dan maksimal, dengan keuntungan yang besar. Hal tersebut menjadi pengaruh yang ditimbulkan dalam menerapkan budaya self service. Saat ini teknologi telah berkembang untuk membantu pekerjaan manusia, yaitu dengan kasir otomatis atau aplikasi layanan mandiri. Secara implisit, perusahaan atau industriawan dapat menekan biaya operasional dengan pengurangan tenaga kerja. Selain itu, pelanggan atau konsumen dapat secara bebas mengakses layanan yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Perusahaan juga diuntungkan dengan meningkatnya produktivitas dengan waktu yang singkat.
Dalam kasus lain, efisiensi dari budaya self service harus menjual nilai sosial yang penting dan melekat pada masyarakat. Tidak dapat dipungkiri, bahwa kebudayaan tersebut, terindikasi memberikan dampak negatif. Dampak seperti homogenisasi budaya atau pergeseran budaya, pada akhirnya menjadi ancaman dari penerapan budaya self service. Ada sekitar 70% penduduk Indonesia yang terpapar budaya luar, sehingga nilai gotong royong yang seharusnya menjadi jati diri bangsa, seakan luntur dan terlupakan.
Self Service sebagai Bentuk Eksploitasi
Perkembangan teknologi yang membantu pekerjaan manusia, pada akhirnya dianggap menjadi batu sandungan yang enggan terselesaikan. Berkaca dari kasus budaya self service yang berprinsip kapitalisme, peluang seorang tenaga kerja untuk meningkatkan keterampilan dan mengimplementasikan pengetahuannya akan semakin berkurang. Lapangan pekerjaan tidak seluas dari kebutuhan yang diinginkan perusahaan. Tingkat pengangguran dapat melonjak seiring dengan ketidakstabilan ekonomi yang bergantung pada pekerjaan tersebut. Di sisi lain, pelanggan yang seharusnya mendapatkan pelayanan dari perusahaan, harus secara mandiri melayani diri sendiri. Meskipun terlihat sepele, pekerjaan yang awalnya menjadi tanggung jawab dari tenaga kerja perusahaan, pada nyatanya dialokasikan kepada pelanggan. Tak jarang bahwa kualitas sumber daya manusia belum sepenuhnya terfasilitasi dengan baik.
Pelanggan tidak memiliki akses teknologi yang sama. Kesempatan untuk mendapatkan hak sebagai konsumen, terbatas pada tingkat ekonomi dan sosial seseorang. Sebenarnya kesenjangan ini selalu menjadi masalah utama. Hingga teknologi semakin berkembang dalam berbagai aspek, namun belum seluruh lapisan masyarakat merasakan hal yang sama.
Apakah Budaya Self Service Relevan dengan Budaya Indonesia?
Setiap negara memiliki cara pandang yang berbeda mengenai ideologi atau kebudayaan yang baru. Sedari dulu, Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang kolektif dan ramah, sehingga sangat mudah untuk beradaptasi dengan perbedaan. Dalam sudut pandang ekonomi, budaya self service menjadi alternatif untuk menghemat tenaga dan waktu seorang tenaga kerja. Namun, dalam sudut pandang sosial, budaya tersebut akhirnya membatasi interaksi antar manusia. Tidak menutup kemungkinan bahwa Indonesia dapat membuat perbedaan dengan tetap menunjukkan identitas negara Indonesia terhadap budaya self service.
Sebagai rakyat Indonesia yang memiliki karakteristik gotong royong, budaya self service menjadi salah satu cara untuk menyadari tanggung jawab pribadi serta memberikan kesempatan untuk menghargai lingkungan, tenaga, dan waktu orang lain. Oleh karena itu, budaya self service merupakan hal tepat yang dapat menyebarkan hal-hal positif, dan memotivasi diri dengan cara pandang yang mengarah pada pembangunan hubungan sosial budaya antar masyarakat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.