Batas Tipis Antara Candaan dan Bullying
Edukasi | 2025-12-19 23:40:22
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemui candaan, baik di sekolah, tempat kerja, maupun di media sosial. Candaan biasanya dianggap sebagai cara untuk mencairkan suasana, membangun kedekatan, atau sekadar membuat orang tertawa. Tapi kadang, candaan itu bisa kelewatan dan berubah menjadi sesuatu yang menyakitkan, bahkan bisa disebut bullying. Sayangnya, banyak orang tidak sadar bahwa garis antara keduanya itu tipis banget.
Saya sendiri pernah mengalami hal ini di sekolah. Teman-teman sering bercanda tentang badan saya yang terlalu kurus. Awalnya, saya cuma tersenyum dan menganggap itu sekadar lelucon. Tapi lama-kelamaan, komentar-komentar itu mulai membuat saya merasa minder. Setiap kali ada candaan soal fisik saya, rasanya pengen menghilang sejenak, malu dan kurang percaya diri. Dari pengalaman itu, saya baru menyadari bahwa candaan tentang tubuh seseorang bisa dengan cepat berubah jadi bullying, meski pelakunya cuma menganggapnya lucu.
Candaan tentang fisik mungkin terdengar ringan bagi sebagian orang, tapi bagi yang menjadi sasaran, bisa meninggalkan rasa malu, cemas, atau rendah diri. Fenomena ini sering disebut “candaan berkedok bullying” karena menyamarkan niat menyakiti dengan humor.
Yang terpenting, humor itu harus sehat dan tidak merugikan orang lain. Candaan yang baik membuat orang tertawa tanpa menyakiti, dan semua pihak bisa menikmatinya. Kita perlu peka dengan perasaan orang lain, mengerti konteks, dan berani menahan diri jika suatu candaan berpotensi membuat orang lain sakit hati. Menghormati batas orang lain bukan berarti kehilangan keseruan, tapi justru menunjukkan kedewasaan kita dalam bersosialisasi.
Kesadaran ini tidak hanya tanggung jawab individu, tapi juga lingkungan. Sekolah, keluarga, dan teman sebaya bisa membangun budaya komunikasi yang sehat, di mana humor tetap ada, tapi bullying tidak punya tempat. Dengan begitu, tawa yang tercipta benar-benar menyenangkan, bukan menyakitkan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
