Satu-Tiga Menit Jerat Konsumerisme
Gaya Hidup | 2022-01-03 17:24:03Saat ini, aplikasi TikTok melesat sebagai sumber hiburan bagi berbagai kalangan. Kehadiran aplikasi ini tak hanya menyuguhkan konten hiburan semata sebab di dalamnya menampung konten lain, seperti iklan, konten edukasi, atau bahkan konten memasak. Hal ini didukung oleh riset We Are Social: Hootsuite berjudul Global Report-Digital 2020 di mana aplikasi ini membuktikan kesuksesannya melalui jumlah pengguna yang fantastis.
Bagi generasi muda, TikTok menjadi medium penyaluran ekspresi diri melalui berbagai konten video pendek. Tak tanggung-tanggung, pengguna aktif TikTok di luar China berkisar 800 juta pengguna. Menurut survei We Are Social: Hootsuite berjudul Global Report-Digital 2020 pengguna TikTok di Indonesia berkisar 50 juta ngguna aktif. Tentunya, bukan hal aneh lagi jika Indonesia menempati urutan keempat di dunia dengan pengguna TikTok paling besar. Tak jarang pengguna TikTok menjadikan aplikasi ini sebagai sarana hiburan alternatif yang cocok menemani waktu senggang mereka.
Kesuksesan aplikasi ini dalam menggaet generasi muda menghadirkan peluang bagi berbagai bidang kehidupan. Audiens TikTok sendiri memiliki karakteristik yang lebih kreatif dan inovatif dalam mengemas konten. Penyebaran konten kreatif dan inovatif tersebut juga didukung oleh algoritma yang memungkinkan kita menonton video pembuat konten yang tidak kita ikuti.
Pengemasan konten yang inovatif memunculkan tren baru dengan menyertakan tagar beauty dan fashion haul. Jumlah penyuka di konten milik kreator pun cenderung banyak karena dapat memberikan preferensi mengenai saran atau rekomendasi produk di platform belanja daring tersebut. Lalu, memangnya apa yang salah dengan meluasnya penyebaran konten ini?
Kebanyakan konten dengan konsep beauty dan fashion haul merupakan konten membelanjakan barang secara besar-besaran. Lebih spesifiknya, konten dengan tagar ini menyuguhkan proses membuka kemasan belanjaan, mengulas produk yang dibeli, hingga memberikan penilaian atas kelayakan produk tersebut. Tren ini nyatanya bukan terbentuk secara alamiah di masyarakat. Banyak pusat perbelanjaan khususnya di platform elektronik membuka peluang kepada para konten kreator untuk memberikan penilaian terhadap produknya.
Tantangan ini memberikan gambaran menarik di mana berawal dari tagar di media sosial, masyarakat dapat dengan mudah melihat ulasan produk incaran mereka. Saat ingin membeli barang tertentu, masyarakat dapat mempertimbangkan pembelian tanpa harus merasa kecewa di kemudian hari karena produknya yang tidak sesuai ekspektasi. Namun, meskipun dampak positif nyata terlihat, hal ini tidak berlaku bagi semua kalangan.
Tren ini bisa berdampak positif bagi mereka yang membutuhkan rekomendasi produk dan melihat ulasan produk untuk meminimalisasi “salah beli”. Nyatanya, tren ini memberikan pengaruh terhadap rasa penasaran khalayak sebagai konsumen sehingga menimbulkan sikap konsumtif. Munculnya tindakan konsumtif ini cenderung terjadi di generasi muda dengan jangkauan digital yang lebih luas. IDN Research Institute di tahun 2019 sempat melakukan riset yang menunjukkan bahwa aktifnya promosi di media sosial mendukung perilaku konsumtif di sebagian besar generasi muda. Persentasenya pun termasuk tinggi, yakni 59,7% anak muda secara aktif melakukan pembelian secara konsumtif karena melihat promosi di media sosial.
Perlu kita renungi, bagaimana sebuah video yang berkisar antara satu hingga tiga menit mampu menjebak masyarakat di dalam konsumerisme. Tiktok, salah satu wadah berekspresi di dunia kontemporer ini menjadi sarana memunculkan sikap konsumtif dengan khalayak sebagai sasarannya. Secara tidak langsung, konten semacam ini ttermasuk ke dalam bentuk iklan karena seringkali pembuat konten turut mencantumkan nama tokonya.
Memang, tak bisa dikatakan semua konten haul menimbulkan sikap konsumtif tersebut. Perlu diketahui bahwa sikap konsumtif muncul karena masyarakat membeli barang yang sebenarnya bukan menjadi kebutuhan sehingga lama kelamaan barang tersebut tidak akan terpakai dan hanya menjadi sampah. Ketertarikan melalui konten inovatif inilah itulah yang menjadi pemicu timbulnya perilaku konsumtif atau istilahnya masyarakat menjadi “lapar mata”.
Selain itu, konten dengan tagar tersebut mampu menimbulkan sikap konsumtif karena mendorong popularitas suatu produk. Berbagai konten yang menampilkan rekomendasi produk secara langsung maupun tidak langsung menjadi sarana pemasaran dan publikasi bagi produk tertentu. Algoritma TikTok juga mendorong keviralan suatu konten sehingga produk tersebut akan semakin dikenal di masyarakat sehingga memunculkan keinginan untuk mengonsumsi produk serupa. Padahal, bisa saja produk tersebut sebenarnya bukan menjadi kebutuhan masyarakat.
Sikap Konsumtif Bisa Berbahaya Jika Terus Direproduksi
Kecenderungan masyarakat bertindak konsumtif mampu memberikan dampak yang besar bagi lingkungan. Gaya hidup konsumtif yang boros ini akan membuat sumber daya alam menjadi langka karena berkurang secara cepat. Pasalnya, beberapa produk yang dipromosikan menggunakan sumber daya alam. Jika permintaannya terus meningkat tanpa sadar terhadap upaya pemulihan, hal ini mampu memberikan dampak negatif yang jauh dari bayangan awal kita.
Tentunya, hal ini akan berdampak langsung kepada ekosistem dan kelestarian alam. Parahnya, jika menjadi budaya di masyarakat, konsumerisme dapat menelan peradaban manusia dengan laju krisis lingkungan yang nyata adanya. Dampak meyakini bahwa semua barang-barang yang dijual bahannya terbuat dari alam, maka bila beberapa sumber daya alam semakin berkurang hingga habis, hal ini akan memunculkan masalah baru dan membahayakan kepada kehidupan manusia.
Selain itu, tindakan konsumtif juga menimbulkan sikap tamak yang sama dengan perilaku koruptor di negeri ini. Gaya hidup semacam ini berimplikasi pada ketidakpuasan orang akan sesuatu yang ia miliki. Sikap tamak inilah yang menjadi cikal bakal perilaku para pelaku tindak pidana korupsi. Perjuangan pemberantasan atas tindak pidana korupsi tidak menemukan titik terang jika masih ada pejabat kita yang memiliki sikap ketamakan.
Konsumerisme bukan hanya berdampak pada lingkungan dan korupsi yang merajalela di negara kita. Namun, kemunculannya juga menimbulkan ketimpangan di kalangan masyarakat. Keinginan terhadap sesuatu secara berlebihan ini mampu mendorong angka kriminalitas karena jiwa konsumtif sudah merasuki dan menjadi momok menakutkan. Ketidakmampuan masyarakat untuk membeli produk yang dipromosikan, melahirkan orang-orang yang menghalalkan segala cara untuk dapat mendapatkan produk impiannya. Semakin “gila belanja”, hal ini akan semakin berbahaya karena mengancam stabilitas keamanan.
Untuk itu, solusi atas permasalahan ini adalah perlu adanya upaya pengendalian diri oleh individu supaya terhindar dari iming-iming belanja produk yang belum tentu menjadi kebutuhan. Artinya, masyarakat perlu lebih bijak dalam menyikapi konten promosi yang tersebar di media sosial. Bukan hanya membeli karena godaan konten kreatif di TikTok, masyarakat harus mementingkan aspek kebutuhan pribadi. Strategi promosi produk semacam ini seharusnya tidak menjadi ancaman jika bahaya konsumerisme dapat dicegah dengan kebijaksanaan penggunanya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.