
Ketika FOMO Menguasai Indonesia
Info Terkini | 2024-12-21 22:42:10Ketika FOMO Menguasai Indonesia
Oleh Olivia Surya Ningsih
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) telah menjadi tren besar di Indonesia, tidak hanya di kalangan milenial dan Gen Z, tetapi juga semakin meluas ke berbagai kalangan usia. Ketakutan akan ketinggalan tren yang sedang populer ini terlihat jelas dalam berbagai produk yang tiba-tiba naik daun. Setelah kesuksesan Cromboloni dan Boneka Labubu, sekarang giliran coklat dari Dubai yang mendominasi media sosial Indonesia. Namun, jejak awal tren FOMO ini juga dapat kita lihat sejak masa pandemi COVID-19, ketika fenomena seperti dalgona coffee dan berbagai tren lainnya mulai mencuri perhatian.
Awal Mula FOMO di Tengah Pandemi: Dari Dalgona Coffee ke Kuliner Kekinian
FOMO mendapatkan dorongan kuat di masa pandemi COVID-19, saat orang-orang harus menghabiskan waktu di rumah dan beralih ke media sosial untuk hiburan. Salah satu tren yang paling berpengaruh saat itu adalah dalgona coffee. Resep kopi kocok asal Korea ini pertama kali viral di TikTok dan Instagram dan segera diikuti oleh banyak orang di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Terinspirasi oleh unggahan-unggahan di media sosial, banyak orang di Indonesia mencoba membuat dalgona coffee dan membagikan hasilnya. Tidak ingin merasa “ketinggalan,” masyarakat ikut serta dalam tren ini, yang akhirnya memicu fenomena FOMO di tengah masa pandemi.
Tak hanya dalgona coffee, muncul pula tren kuliner lain seperti garlic bread dan milk bun asal Thailand, yang mendapat perhatian besar dari pengguna media sosial di Indonesia. Banyak yang mencoba membuat garlic bread ala Korea dan milk bun yang empuk serta manis, lalu membagikan hasil kreasi mereka di media sosial. Kedua tren makanan ini menunjukkan bagaimana pandemi memperkuat dorongan untuk berpartisipasi dalam tren kuliner global demi menjaga interaksi sosial, meski hanya melalui unggahan di media sosial. Menurut We Are Social & Hootsuite (2024), pandemi menciptakan budaya berbagi di media sosial yang semakin memperkuat FOMO karena banyak orang ingin menjadi bagian dari pengalaman-pengalaman yang viral.
Cromboloni: Awal dari Fenomena FOMO di Produk Viral
Setelah pandemi, tren FOMO ini berlanjut dengan produk-produk baru seperti Cromboloni pada tahun 2022. Cromboloni, sebuah jajanan kekinian, sukses menarik perhatian masyarakat Indonesia berkat pemasaran eksklusif yang hanya tersedia di beberapa kota besar dengan waktu terbatas. Banyak influencer seperti Jovi Adhiguna dan Sisca Kohl membagikan pengalaman mereka mencicipi Cromboloni, membuat masyarakat merasa "harus" mencobanya agar tak ketinggalan zaman.
Menurut laporan We Are Social & Hootsuite (2024), Cromboloni adalah contoh sukses dari pemanfaatan social influence di media sosial. Efek domino ini membuat Cromboloni menjadi makanan yang diburu oleh masyarakat luas, terutama kalangan muda yang aktif di media sosial.
Boneka Labubu: Kekuatan Social Influence dalam Koleksi
Setelah tren makanan seperti Cromboloni, FOMO beralih ke dunia mainan koleksi. Pada tahun 2021, Pop Mart memperkenalkan Boneka Labubu ke pasar Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Boneka ini awalnya populer di kalangan kolektor di China, namun berkat influencer internasional seperti Lisa BLACKPINK, Labubu mendapat eksposur besar. Lisa memperlihatkan koleksi Boneka Labubu di media sosialnya, membuat pengikutnya di seluruh dunia, termasuk Indonesia, merasa tertarik.
Di Indonesia, influencer populer seperti Tasya Farasya dan Jerome Polin juga ikut memamerkan koleksi mereka, memperkuat fenomena FOMO ini. Berdasarkan data dari Akademi Konsumen Indonesia (2023), Boneka Labubu telah membentuk perilaku kolektif di kalangan kolektor muda yang merasa bangga dan ‘keren’ memiliki boneka ini. Social influence di kalangan komunitas kolektor memainkan peran penting dalam mendorong orang-orang untuk membeli produk ini dengan cepat, takut ketinggalan tren.
FOMO dalam Dunia Kosmetik: Dari Kemasan Unik hingga Influencer Marketing
Fenomena FOMO juga sangat kuat dalam dunia kosmetik. Ketika sebuah brand kosmetik merilis produk baru dengan kemasan unik dan lucu, masyarakat sering kali terpicu untuk segera membelinya, terutama setelah produk tersebut diulas secara menarik oleh beauty influencer.
Salah satu contohnya adalah produk tinted lip balm dari brand lokal Somethinc dengan edisi kemasan unik yang digunakan dengan cara menekan bagian ujung produk. Beauty influencer seperti Tasya Farasya pun memaparkan ulasan kreatif tentang produk ini, menunjukkan estetika kemasan yang membuatnya layak untuk dikoleksi. Fenomena serupa terjadi pada cushion dari Skintific, yang memfokuskan promosi pada keunggulan coverage dan ketahanan cushion mereka, menggunakan testimoni influencer yang menunjukkan hasil "flawless" hanya dalam beberapa detik.
Menurut Dr. Rizky Darmawan, FOMO dalam dunia kosmetik diperkuat oleh estetika produk, ulasan influencer, dan pemasaran eksklusif, yang menciptakan kebutuhan mendesak di kalangan konsumen untuk menjadi bagian dari tren.
Coklat Dubai: Tren Terbaru yang Menggoda Konsumen Indonesia
Kini, coklat dari Dubai menjadi tren berikutnya. Produk ini berhasil menarik perhatian publik Indonesia melalui media sosial, terutama setelah sejumlah selebritas dan influencer mengunggah momen mereka menikmati coklat ini di Dubai atau membelinya di Indonesia dengan harga yang tidak murah. Dengan kemasan mewah dan cita rasa khas yang tidak dapat ditemukan di pasaran lokal, coklat Dubai dianggap sebagai produk yang eksklusif dan layak dikoleksi, bukan hanya dinikmati.
Jessica Halim, pengamat budaya pop, menyebutkan bahwa fenomena FOMO pada produk makanan impor ini didorong oleh ketidakmampuan konsumen untuk mendapatkan produk tersebut di sembarang tempat. “Konsumen Indonesia semakin penasaran ketika produk yang dipamerkan hanya tersedia di luar negeri atau di beberapa gerai eksklusif. Hal ini semakin memperkuat FOMO karena konsumen merasa perlu menjadi bagian dari tren sebelum terlambat,” ujarnya dalam Euromonitor International (2023).
Mengapa FOMO Terus Menjadi Bagian Budaya Konsumen Indonesia?
Mengamati tren dari dalgona coffee, Cromboloni, Boneka Labubu, hingga coklat Dubai, jelas bahwa FOMO bukanlah fenomena sementara. Faktor-faktor seperti social influence, influencer marketing, dan eksklusivitas produk menjadi pendorong utama yang membuat masyarakat Indonesia rela merogoh kocek lebih dalam untuk mendapatkan produk viral ini.
Dr. Rizky Darmawan, pakar perilaku konsumen, menjelaskan dalam jurnal Psikologi Konsumen Indonesia (2023) bahwa fenomena FOMO seringkali muncul karena keinginan untuk diakui dalam lingkungan sosial. “Konsumen merasa adanya tekanan untuk mengikuti tren demi tetap relevan, terutama di kalangan milenial dan Gen Z yang lebih aktif di media sosial,” katanya.
Akankah Tren FOMO Ini Terus Berlanjut?
Melihat pola yang berulang pada produk-produk viral, tampaknya FOMO akan terus menjadi bagian dari budaya konsumen di Indonesia. Produk baru dengan elemen eksklusif dan didukung oleh influencer marketing yang kuat kemungkinan besar akan terus menciptakan siklus FOMO di masa depan.
Pada akhirnya, dari dalgona coffee hingga coklat Dubai, fenomena FOMO di Indonesia menunjukkan bagaimana social influence dapat memengaruhi perilaku konsumen dalam jangka panjang. Ketika FOMO telah melekat dalam budaya konsumen, tren ini mungkin akan terus bergulir dengan produk-produk baru yang siap mengisi ruang di hati dan media sosial masyarakat.
Referensi
1. We Are Social & Hootsuite. (2024). Digital 2024: Global Overview Report.
2. Akademi Konsumen Indonesia. (2023). Laporan Tren Konsumen Indonesia.
3. Dr. Rizky Darmawan. (2023). Psikologi Konsumen Indonesia.
4. Euromonitor International. (2023). Tren Konsumen Asia Tenggara.
5. Statista. (2023). "Valuasi Produk Edisi Terbatas di Pasar Sekunder."
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.