Pretty dan Grand Corruption, Langgeng Tak Sekadar Nama
Gaya Hidup | 2023-11-22 22:16:41
Berdasarkan rilis terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), nilai Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) Indonesia 2023, mengalami penurunan dibandingkan dengan IPAK tahun 2022, menjadi sebesar 3,92. Tahun lalu, nilai IPAK yang dirilis BPS mencatat angka 3,93.
IPAK merupakan indeks yang mengukur tingkat perilaku antikorupsi masyarakat dengan skala 0-5 pada level nasional. Semakin tinggi nilai IPAK atau mendekati 5, maka semakin tinggi budaya antikorupsi. Sebaliknya, semakin rendah nilai IPAK, maka semakin menunjukkan budaya permisif korupsi di masyarakat. Skor IPAK disusun berdasarkan dua dimensi, yaitu indeks persepsi dan indeks pengalaman.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, “IPAK mengukur perilaku petty corruption atau korupsi skala kecil yang dialami langsung oleh masyarakat, tidak mencakup grand corruption,” kata Amalia di Kantor BPS. Angka IPAK 2023 sebesar 3,92 juga berarti tidak tercapainya angka IPAK yang ingin dicapai tahun ini berdasarkan target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Amalia menyatakan perlu adanya pendidikan antikorupsi yang lebih masif di masyarakat, terutama dalam mengakses pelayanan publik.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman menilai, hasil IPAK 2023 menunjukkan secara keseluruhan perilaku antikorupsi di Indonesia mengalami penurunan. Artinya, kata dia, upaya untuk mewujudkan Indonesia yang semakin bersih dari korupsi belum menunjukkan hasil. Zaenur menilai masih ada masalah besar soal perilaku koruptif di birokrasi pelayanan publik. Zaenur menyoroti hal ini, karena negara Indonesia tidak akan bisa maju jika masih ada pelayanan publik yang korup kepada masyarakat.
Di sisi lain, menurut Zaenur, tergerusnya independensi dan merosotnya performa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini juga berpengaruh terhadap spirit antikorupsi pada penyelenggara negara yang kedodoran. Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola menilai, hasil IPAK 2023 membongkar dua hal. Pertama, klaim pemerintah saat ini bahwa agenda pencegahan korupsi berbasis digitalisasi, debirokratisasi, dan regulasi terbukti tidak efektif. “Karena hasil IPAK menunjukkan petty corruption (korupsi kecil) soal akses pelayanan publik, tidak seperti itu faktanya,” kata Alvin
Karena hasil IPAK menunjukkan petty corruption (korupsi kecil) soal akses pelayanan publik, tidak seperti itu faktanya,” kata Alvin. Kedua, kata Alvin, hasil IPAK 2023 sejalan dengan hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang juga merosot tajam. Ini menunjukkan bahwa budaya korupsi di Indonesia baik dalam skala kecil maupun skala besar, masih sering ditemui. “Bagi kami sebenarnya dan dikonfirmasi hasil IPK selama ini, kenapa hasil ini selalu stagnan atau menurun drastis, karena memang pemerintah tutup mata ya soal korupsi politik. Ini masih menjadi akar masalah di negara kita, tapi itu semua masih diabaikan,” jelas Alvin (tirto.id, 8/11/2023).
Membabat Habis Korupsi Hanya Mimpi Di Negara Demokrasi
Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) menunjukkan tak ada perubahan signifikan perilaku korupsi dari tahun ke tahun, seperti biasa, pemerintah menyajikan angka namun nol tindak nyata. Praktik korupsi kian menjadi. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI Firli Bahuri menyatakan bahwa lembaga antirasuah itu sudah menangkap sebanyak 1.600 koruptor dalam kurun waktu 20 tahun terakhir yakni sejak 2003-2023. Firli menegaskan, memberantas korupsi di negeri ini tidak cukup hanya dengan kegiatan penindakan saja, tetapi juga perlu pendidikan dari masyarakat untuk membangun kesadaran, keprihatinan, pemahaman terhadap generasi agar tidak melakukan korupsi.
Firli menuturkan, bahwa korupsi itu merupakan bentuk pengkhianatan pada tujuan negara, doktrin lagu Indonesia Raya, juga terhadap ajaran agama apapun. Termasuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai Pancasila (antaranews.com, 9/11/2023).
Banyaknya koruptor yang ditangkap menggambarkan bobroknya sistem negara. Bahkan pembentukan lembaga anti korupsi pun tak mampu mencegah. Masih hangat Ketua KPK Firli Bahuri yang tersandung kasus pemerasan. Semua pihak menyerukan harus ada perubahan, dari mulai pendidikan anti korupsi, perbaikan pelayanan publik, hingga kembalikan kepada nilai-nilai Pancasila. Jika lebih teliti lagi dalam mempelajarinya, akar persoalannya tidak tersentuh samasekali.
Mudahnya korupsi satu keniscayaan dalam sistem sekuler kapitalis demokrasi. Apalagi sistem ini berbiaya tinggi dan sarat kepentingan oligarki. Tambah lagi adanya keserakahan, rusaknya integritas abdi negara dan penguasa, toleransi atas keburukan dan lemahnya iman makin memudahkan korupsi. Segala perbuatan dilakukan bukan dengan standar halal haram, tapi kemanfaatan. Tahun politik seperti sekarang ini sebetulnya amat rentan tindak korupsi terjadi lagi, hendaknya rakyat mulai waspada dan belajar dari pengalaman. Belum pernah terjadi demokrasi melahirkan pemimpin bertakwa.
Berganti personil, dari berbagai kalangan tetap saja yang dihasilkan adalah pemimpin yang ramah terhadap kepentingan oligarki, sebab merekalah urat nadi kelangsungan pencalonan mereka hingga bisa duduk di tampuk pemerintahan. Imbal baliknya adalah segala kepentingan oligarki menjadi prioritas.
Islam Mengharamkan Korupsi dan Memberikan Sanksi yang
Islam memiliki berbagai mekanisme untuk mencegah korupsi termasuk dalam membangun individu berkepribadian Islam. Selain itu sistem hukum yang adil dan tegas diterapkan. Sebab korupsi tak hanya perkara mental yang bobrok tapi juga lemahnya sistem hukum dan sanksi di negara ini yang terus menerus memberi celah. Terlebih di tingkat elit, hukum tahu sama tahu yang berlaku.
Padahal Rasulullah saw. Memberikan teladan. Saat seorang wanita bangsawan yang disegani dan dihormati dari Bani Makhzum mencuri, semua enggan untuk melakukan potong tangan sebagaimana hukum yang berlaku, maka mereka meminta Usamah bin Zain, salah satu sahabat Rasulullah untuk kiranya Sudi memberi keringanan, namun sebagaimana di kisahkan Aisyah Ra, Rasul marah dan berkata, “Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!”.
Tidak ada yang berubah pada ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Wanita dari keluarga yang terhormat itu tetap harus menjalani hukuman potong tangan. Aisyah Ra menuturkan, “Wanita itu kemudian bertobat , memperbagus tobatnya, dan menikah. Ia pernah datang dan menyampaikan hajatnya kepada Rasulullah.” Wallahualambissawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
