Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rifka Silmia Salsabila

Siswa Termotivasi Belajar karena Rasa Kesal, Wajarkah?

Guru Menulis | Wednesday, 08 Nov 2023, 13:04 WIB

Suatu hari, Saya sedang melakukan wawancara kepada siswa SMA untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Perkembangan. Dia mengaku, motivasinya dalam belajar ialah rasa kesal. Pemikirannya itu dipicu oleh salah satu teman sekelas. Menurutnya, temannya itu cukup sombong karena merasa paling jago dalam salah satu mata pelajaran.

Siswa yang Saya wawancarai ini merasa kesal dan tidak suka dengan sikap temannya itu, alhasil dia pun bertekad untuk mengungguli temannya dalam nilai mata pelajaran yang sama. Hal tersebut pun cukup efektif, dia berhasil mendapat nilai yang lebih tinggi dari temannya.

Cerita seperti itu nyatanya pernah Saya temukan di tempat Saya mengajar. Seorang siswa pernah berkata pada Saya, “Aku mah Bu, mau buktiin ke mereka kalau aku itu bisa lebih dari mereka.” Saat itu, dia sedang merasa terpojokkan oleh teman-teman seangkatannnya. Alhasil, timbul niat untuk ‘balas dendam’ kepada teman-teman sekelasnya dengan membuktikan bahwa dia bisa lebih unggul dari segi akademik dan akhlak. Pada akhirnya rencananya pun terwujud, dia bisa tetap mempertahankan prestasinya walaupun sempat dikucilkan oleh teman-temannya.

Dari kedua kasus di atas, terdapat kesamaan yang bisa Kita tarik. Motivasi belajar keduanya datang dari rasa kesal kepada teman-temannya. Lantas, apakah wajar seorang siswa memiliki motivasi belajar seperti itu?

Sebelumnya, mari kita pahami dulu apa yang dimaksud dengan motivasi belajar. Menurut Fillmore H. Stanford (2017) mengatakan motivasi sebagai suatu kondisi yang menggerakkan manusia ke arah suatu tujuan tertentu. Dalam hal ini, tujuan yang dimaksud adalah pencapaian dalam pembelajaran siswa.

Dalam kasus di atas, dua siswa tersebut sebenarnya tergerak karena merasa ingin lebih unggul dibanding temannya. Di usia mereka yang masih remaja, sangat wajar pemikiran seperti itu muncul. Seperti yang dijelaskan John W. Santrock tentang kesadaran diri remaja atau biasa disebut dengan egosentrisme remaja. Para remaja kerap memiliki personal fabel dalam hidup (Santrock, 2019). Maksudnya, mereka merasa paling unik dan tidak terkalahkan. Itulah yang terjadi pada kedua

siswa yang telah ceritakan di atas, mereka sama-sama tidak mau kalah dengan teman sebayanya.

Jadi, ketika Kita sebagai guru, lalu mendengar ada murid yang curhat bahwa dirinya kesal kepada teman dan ingin balas dendam, jangan langsung dibantah dan dinasihati. Tanyakan dulu pada siswa tersebut, balas dendam seperti apa yang ingin dia lakukan. Jika ternyata mengarah kepada hal positif yang tidak merugikan siapapun, biarkan siswa tersebut menjalankan niatnya. Namun, bukan berarti guru melepas pengawasan begitu saja. Jika mengarah ke perilaku negatif yang dapat merugikan dirinya dan orang lain, barulah Kita beri arahan kepada siswa tersebut. Tentunya Kita berbicara dengan penuh empati dan tanpa menghakimi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image