Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nining Sarimanah

Fenomena Bunuh Diri Mahasiswa, Ada Apa?

Agama | 2023-10-27 05:50:14

Fenomena Bunuh Diri Mahasiswa, Ada Apa?

Oleh Nining Sarimanah

Belum lama ini, terjadi dua kasus bunuh diri mahasiswa secara berturut-turut. Kasus pertama dilakukan oleh mahasiswi di sebuah perguruan tinggi negeri. Ia tewas di Mal Paragon Semarang pada 10 Oktober 2023. Kedua, seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta tewas di kamar kosnya pada 11-10-2023. Adapun alasan kenapa mereka mengakhiri hidupnya adalah kasus pertama karena terjerat kasus pinjol. Sementara, kasus kedua karena persoalan keluarga. Dari surat wasiat yang ditemukan, keduanya sudah tidak kuat menghadapi kehidupan dunia dan bunuh diri menjadi jalan terbaik untuk mengakhirinya. (Republika, 13/10/2023)

Dua kasus bunuh diri di atas, sebenarnya bukan pertama terjadi. Sebab, berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI bahwa sepanjang periode Januari-Oktober 2023 kasus bunuh diri di Indonesia menembus angka 971. Angka tersebut melampaui kasus bunuh diri pada 2022 sebanyak 900 kasus. Sungguh miris, kasus ini mengalami kenaikan yang signifikan yang menjadikan Indonesia dinyatakan darurat bunuh diri.

Adanya tren kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa tentu patut dipertanyakan, ada apa dan kenapa bisa terjadi? Padahal mereka itu, termasuk individu terdidik yang seharusnya memiliki banyak pengetahuan tentang berbagai hal, termasuk dalam mengatasi persoalan hidupnya.

Penyebab Maraknya Bunuh Diri

Banyak faktor yang memengaruhi makin maraknya bunuh diri yaitu, pertama, generasi saat ini memiliki ketahanan mental yang rapuh. Berdasarkan laporan Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (l-NAMHS) bahwa 1 dari 3 usia remaja Indonesia berusia 10-17, menunjukkan memiliki problem kesehatan mental.

Ya, usia tersebut adalah usia sekolah yang kebanyakan luput dari deteksi dini untuk mengetahui terkena masalah mental. Alhasil, masalah mental terbawa ketika ia kuliah atau bekerja. Dampaknya, saat mendapat tekanan sedikit saja dalam hidupnya maka mereka bisa depresi bahkan tragisnya bunuh diri.

Kedua, gaya hidup materialistis. Tak dimungkiri kehidupan remaja saat ini makin materialistik buktinya kasus mahasiswi yang terjerat pinjol mengonfirmasi bahwa mereka sudah terbius dengan gaya hidup hedonisme. Di sisi lain, biaya hidup dan kuliah yang tinggi menuntut mereka untuk kerja sambilan. Pun demikian, adanya tuntutan akademik, tuntutan di tempat kerja, persoalan pertemanan, keluarga hingga percintaan membuat mereka depresi.

Ketiga, kurikulum perguruan tinggi yang fokus pada akademik semata menuntut agar mahasiswa cakap dalam bekerja. Tak terkecuali, SKS yang padat ditambah tugas-tugas mahasiswa yang banyak membuat mahasiswa pun stres. Tak heran, kondisi ini mendorong sebagian mahasiswa untuk mengakhiri hidupnya.

Sekularisme

Dari seluruh penyebab kasus bunuh diri yang terjadi, sebenarnya berpangkal dari cara pandang hidup Barat yaitu, sekularisme. Asas ini telah terhujam kuat dalam diri remaja sehingga nilai agama tergerus dalam kehidupan mereka. Mereka tidak menjadikan standar halal dan haram dalam berbuat, akibatnya kepuasan materi menjadi tujuan yang ingin diraih.

Demikian pun dalam keluarga, orang tua sibuk bekerja sehingga anak-anak kehilangan sosok panutan. Padahal, keberadaan keduanya sangat penting dalam tumbuh kembang anak-anaknya. Alhasil, kondisinya ini menjadi penyebab anak memiliki mental yang lemah.

Keluarga yang dibangun dalam asas sekuler, agama tidak menjadi prioritas yang diberikan oleh orang tua. Akhirnya mereka tumbuh tanpa bekal agama. Mereka tidak paham tujuan penciptaan manusia dan apa yang harus dilakukan sebagai hamba-Nya. Padahal, agama adalah pondasi awal bagi anak dalam memandang kehidupan dengan benar.

Ketika memasuki jenjang pendidikan, anak dijejali dengan kurikulum pendidikan sekuler. Di mana materi agama dibatasi pada aspek ibadah ritual dan hafalan semata. Pelajaran agama sebatas sampingan yang tidak diprioritaskan. Alhasil anak didik jauh dari pemahaman agama, maka tak heran mereka tidak bisa membedakan mana yang boleh dilakukan atau tidak.

Kehidupan masyarakat pun tak terlepas dari materialistik. Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan materi tanpa memandang apakah halal atau haram. Materi dianggap sebagai sumber dari segala kebahagiaan. Kehidupan yang jauh dari agama akan mengantarkan seseorang untuk melakukan hal semaunya.

Mereka akan bersaing demi mendapatkan materi, meskipun merugikan banyak orang. Inilah, yang menyebabkan depresi karena jika tidak mendapatkan apa yang diinginkannya (materi) seolah dia kehilangan kesempatan untuk bahagia. Di samping itu, media memiliki peranan besar dalam membentuk karakter generasi. Tak jarang pelaku bunuh diri tak terlepas dari tontonan di media sosial.

Perlindungan Nyawa

Kehidupan sekuler jelas berbeda dengan kehidupan Islam. Hal ini, tampak dalam kehidupan masyarakat Islam yang ditandai dengan ketundukan pada aturan Sang Pencipta Manusia, Allah Taala. Sejak dini, mereka telah diajarkan dan dipahamkan baik di rumah maupun sekolah akan hakikat tujuan penciptaan manusia. Islam memandang bahwa tujuan manusia diciptakan tiada lain hanya untuk beribadah kepada Allah Swt dengan jalan menaati seluruh perintah-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya.

Dalam kehidupannya, seseorang akan berhati-hati dalam menjalankan kehidupan dunia. Ia pun akan meninggalkan apa yang dilarang-Nya, termasuk larangan menghilangkan nyawa tanpa hak. Bunuh diri jelas hukumnya haram. Ia tidak boleh jadi solusi, seberat apa pun persoalan yang dihadapi. Kaum muslim yakin bahwa setiap masalah, pasti ada solusinya dan Allah sebaik-baik pembuat kejadian. Allah telah menegaskan dalam Al-Qur'an surah An-Nisa ayat 29-30

وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا * وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللّهِ يَسِيرًا

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

Selain keimanan yang ditumbuhkan. Negara pun hadir untuk menjamin segala kebutuhan hidup rakyatnya. Penjaminan ini akan menghilangkan stres pada masyarakat juga mahasiswa yang tertekan karena biaya hidup tinggi. Negara akan menjaga fitrah manusia dengan melindunginya dari pemikiran asing yang merusak akal dengan cara mengontrol terhadap konten-konten yang berbau hedonistik dan materialistik. Konten ini akan dilarang masuk dalam ranah negara.

Islam akan mewujudkan lingkungan yang kondusif untuk menjaga kesehatan mental remaja. Akidah Islam akan ditanamkan sejak dini mulai dari ranah keluarga hingga sekolah agar mereka hidup sesuai fitrahnya sebagai manusia. Pun dengan kurikulum, kurikulum akan dibuat sedemikian rupa sehingga anak didik dapat menikmati ilmu bukan mengejar materi. Ilmu yang mereka dapatkan semata-mata untuk kepentingan umat.

Khatimah

Fenomena bunuh diri mahasiswa nyatanya karena sistem yang salah. Sekularisme liberalisme menjadi akar persoalan kasus bunuh diri terus berulang. Berbeda dengan Islam, Islam sebagai agama sekaligus ideologi akan melahirkan sosok individu yang bertakwa. Setiap masalah yang menimpa akan dihadapi dengan sabar karena ia yakin bahwa Allah sedang mengujinya. Selain itu, negara akan menjamin segala kebutuhan rakyat tanpa kecuali. Sehingga, mahasiswa tidak akan terbebani dengan biaya hidup.

Wallahu a'alam bishawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image