Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Sejatinya Sekolah Jadi Tempat Nyaman dan Menyenangkan

Eduaksi | 2022-01-01 20:32:28

ORANG-ORANG Yunani Kuno memiliki kebiasaan mengisi waktu luang. Mereka mengisinya dengan melakukan diskusi dan bincang-bincang yang bermanfaat, terutama yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.

Dalam melakukan diskusi yang terkadang dihiasi perdebatan, kebanyakan dari mereka selalu mendapatkan kesenangan dan pengetahuan baru. Kegiatan ini mereka sebut dengan istilah scolae Mereka mendatangi para sepuh yang dianggap memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan luas, dan belajar berbagai pengetahun darinya yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan.

Kebiasaan tersebut mereka wariskan kepada anak cucunya, terlebih-lebih ketika mereka mendapatkan kesenangan dalam menggali ilmu pengetahuan. Karenanya anak-anak mereka diharuskan mengikuti kegiatan scolae.

Dalam kegiatan scolae, anak-anak bisa riang gembira, bermain sambil belajar bermasyarakat, tanpa ada beban harus memperoleh nilai yang baik. Bagi mereka memperoleh pengetahuan merupakan target yang harus dikejar, namun yang lebih penting dari kegiatan yang mereka lakukan adalah menggali prinsi-prinsip pengetahuan yang bisa diaktualisasikan dalam kehidupan nyata.

Orang Yunani Kuno memiliki filosofi mendasar kegiatan scolae, yakni non scolae sed vitae discismus. Belajar bukan hanya demi ilmu pengetahuan semata, melainkan demi kehidupan nyata.

Setelah peserta scolae semakin banyak, para sepuh Yunani Kuno menggunakan prinsip paideia dalam memberikan pengajarannya. Prinsip dasar dari paideia adalah pendidikan sebagai upaya menyelaraskan jiwa dan raga, bukan sekadar mengasah kecerdasan otak.

Dalam perkembangannya, scolae berkembang menjadi scola matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu) dan scola in loco parentis (lembaga pengasuh anak, di luar rumah sebagai pengganti ayah dan ibu), kemudian scolae mendapat sebutan almamater (ibu asuh yang memberikan ilmu dan kasih sayang).

Pada zaman modern seperti sekarang ini scolae berkembang menjadi lembaga pendidikan terpenting dengan sebutan sekolah. Fungsinya sama yakni tempat menggali ilmu pengetahuan. Sementara paideia berubah menjadi pedagogik, teknik memberikan pelajaran dan pendidikan.

Karena berawal dari akar sejarah yang bertujuan sama, idealnya pendidikan melalui jalur sekolah benar-benar menjadi scola matterna, scola in loco parentis, dan almamater bagi para pelajar. Sekolah menjadi tempat yang menyenangkan bagi para pelajar dalam menggali ilmu pengetahuan dan menempa jiwa mereka. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Sekolah pada saat ini menjadi tempat yang sering dianggap “menyeramkan”.

Para pelajar banyak dibuat stres oleh pihak sekolah. Meskipun sessie ujian nasional yang selalu menegangkan sudah diubah, kurikulum yang selalu berganti-ganti, terjadinya berbagai tindakan kekerasan baik fisik maupun psikis di sekolah, tawuran antar pelajar, dan berbagai krisis moral di kalangan pelajar dan guru membuat miris dengan kondisi sekolah kita pada saat ini. Kondisi ini merupakan sebagian bukti hilangnya prinsip-prinsip dasar scolae, almamater, dan paideia dalam pelaksanaan pendidikan atau sekolah.

Diakui ataupun tidak, pendidikan di negara kita lebih banyak diarahkan untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang dibuktikan dengan sederet angka-angka yang bagus baik dalam buku raport maupun ijazah. Standard kualitas sekolah diukur dengan pencapaian nilai melalui pelaksanaan ujian yang secara teoretis hanya mengukur aspek kognitif, mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik para peserta didik.

Jika para pelajar merasa tertekan, stress, merasa dikhianati, dan berkarakter jelek, apakah prinsip almamater, scola matterna, dan scola in loco parentis masih ada dalam dunia pendidikan kita?

Apakah dengan ujian yang hanya menilai aspek kognitif, prinsip dasar paideia, menyelaraskan olah otak, olah jiwa, olah rasa, dan menjadi manusia berakhlak mulia akan tercapai dalam dunia pendidikan kita?

Jika hanya deretan angka-angka dalam buku raport atau ijazah yang menjadi ukuran keberhasilan pendidikan, apakah pendidikan di negara kita masih memegang prinsip non scolae sed vitae discismus? Belajar bukan hanya demi ilmu pengetahuan semata, melainkan demi kehidupan nyata?

Ilustrasi :non scolae sed vitae discismus (sumber gambar : internist.ru)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image