Pendidikan Inklusif: Sudahkah Psikologi Pendidikan Benar-Benar Hadir?
Eduaksi | 2025-12-27 22:16:16Hai sobat retizen, apa kabar hari ini?
Belakangan ini, istilah pendidikan inklusif makin sering kita dengar. Intinya, sekolah reguler diharapkan bisa menerima anak berkebutuhan khusus (ABK) agar mereka belajar bersama teman-teman seusianya. Tujuannya jelas dan mulia: semua anak punya hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi. Di Indonesia sendiri, konsep ini sudah lama diatur dalam undang-undang dan kebijakan Kemdikbud. Bahkan sampai 2025, pemerintah masih terus mendorongnya lewat berbagai program, mulai dari digitalisasi sekolah inklusif, pelatihan guru, hingga penambahan jumlah sekolah ramah disabilitas.
Namun muncul satu pertanyaan penting: apakah psikologi pendidikan sudah benar-benar diterapkan dalam praktik pendidikan inklusif?
Bukan sekadar jargon, tapi ilmu yang memahami cara anak belajar, mengelola emosi, berkembang secara mental, serta bentuk dukungan yang tepat untuk setiap kebutuhan anak termasuk ABK.
Dari berbagai pengamatan dan bacaan, jawabannya masih belum sepenuhnya. Secara jumlah, sekolah inklusif memang meningkat. Tapi di lapangan, banyak guru yang masih kebingungan. Guru kelas reguler sering kali belum mendapat pelatihan mendalam tentang karakteristik anak dengan ADHD, autisme, atau gangguan belajar lainnya. Akibatnya, anak ABK hanya “hadir” secara fisik di kelas, tanpa dukungan emosional dan strategi belajar yang sesuai. Tak jarang mereka merasa tertekan, kesulitan beradaptasi, bahkan menjadi sasaran perundungan. Sementara itu, jumlah guru pembimbing khusus (GPK) masih sangat terbatas, apalagi yang memiliki pemahaman kuat tentang psikologi pendidikan.
Masalah lain datang dari stigma sosial yang masih melekat. Anak berkebutuhan khusus kerap dianggap sebagai penghambat proses belajar, padahal justru keberadaan mereka bisa menumbuhkan empati, toleransi, dan sikap saling menghargai di kelas. Dari sisi fasilitas pun masih banyak kekurangan, mulai dari akses fisik seperti ramp, alat bantu belajar, hingga asesmen psikologis untuk menyusun program pembelajaran individual (IEP) yang jarang dilakukan. Meski di tahun 2025 ini ada kemajuan seperti diskusi inklusi di berbagai forum, pemanfaatan teknologi bantu, dan kurikulum yang lebih fleksibel, realitas di sekolah masih penuh tantangan.
Padahal, psikologi pendidikan seharusnya menjadi “roh” dari pendidikan inklusif. Guru perlu memahami karakter setiap anak, menciptakan lingkungan belajar yang aman secara emosional, melibatkan orang tua, serta aktif mencegah perundungan. Sayangnya, praktik ini masih sering berhenti di tataran teori dan seminar, belum menjadi kebiasaan sehari-hari di ruang kelas.
Menurut saya, perlu langkah yang lebih serius seperti :
1. Pemerintah meningkatkan anggaran untuk kehadiran psikolog sekolah dan pelatihan guru.
2. Sekolah membangun kerja sama antara guru, psikolog, dan orang tua.
3. Masyarakat mulai mengubah cara pandang: ABK bukan beban, melainkan individu dengan potensi yang beragam.
Pada akhirnya, pendidikan inklusif bukan sekadar soal menerima anak ABK di sekolah reguler, tetapi tentang memastikan mereka benar-benar mendapat dukungan psikologis agar bisa tumbuh dan berkembang secara optimal. Selama psikologi pendidikan belum hadir secara nyata, pendidikan inklusif masih berjalan setengah hati.
Kalau menurut kalian gimana, sob? Apakah sudah melihat perubahan di sekolah sekitar? Yuk, berbagi cerita dan pandangan di kolom komentar. Diskusi kecil kita bisa jadi langkah awal menuju pendidikan yang lebih adil untuk semua anak.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
