Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kunci Sukses

Tren Lukai Diri Sendiri (Self Harm), Potret Rapuhnya Jiwa Generasi

Agama | Friday, 06 Oct 2023, 07:38 WIB
Oleh Indah Kartika Sari, SP (Forum Muslimah Untuk Studi Islam Bengkulu)

Fenomena generasi lukai diri sendiri semakin marak terjadi. Setekah viral 52 siswi SMP di Kabupaten Bengkulu Utara menyayat tangan mereka sendiri menggunakan silet dan pisau, sekarang kita dikagetkan dengan belasan Sekolah Dasar Negeri (SDN) Dawuhan 2 Kecamatan Situbondo, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur diketahui melukai tangannya sendiri. Mereka melakukannya seusai terpengaruh konten media sosial TikTok dan melukai lengannya menggunakan alat kesehatan (alkes) untuk cek GDA stick yang dijual pedagang di sekitaran sekolah. Aksi sejumlah siswa kelas IV hingga VI ini diketahui para guru sekolahnya yang melihat tangan siswanya penuh luka goresan di lengan. Guru sekolah kemudian melapor ke pihak kepala sekolah dan memeriksa seluruh siswa. Para guru syok menemukan belasan anak didiknya dengan tangan penuh luka goresan.

Mengapa Terjadi Self Harm

Self harm adalah sebuah tindakan menyakiti diri sendiri untuk menghilangkan rasa frustasi, stres, dan berbagai macam emosi. Setiap orang memiliki cara self harm yang berbeda-beda, seperti menarik rambut, mencubit, menggigit, menggaruk, memukul, menelan zat berbahaya, dan menyayat anggota tubuh (cutting). Tujuan awalnya bukan untuk bunuh diri, akan tetapi akan menimbulkan luka yang parah jika diteruskan.

Menurut Healthline, 80% orang melakukan cutting sebagai tindakan self harm. Berdasarkan studi di tahun 2021, self harm paling banyak dilakukan oleh para remaja hingga dewasa muda di Indonesia yang berusia 12-19 tahun.

Pelaku self harm paling sering Menimpa gen z karena faktor-faktor berikut:

 

  • Sulit mengekspresikan emosi dan perasaan.
  • Tidak tahu ingin meluapkan rasa trauma, sakit, dan tekanan secara psikologis.
  • Tidak memiliki solusi terhadap rasa kesepian, diabaikan, dan kebingungan yang mereka miliki.

Sekali melakukan self harm, akan membuat para pelakunya kecanduan. Mereka beranggapan jika tindakan menyakiti diri sendiri sebagai cara untuk meredakan perasaan negatif, serta menikmati rasa sakit seperti yang sedang mereka alami. Self harm juga menjadi perilaku yang sering dilakukan oleh orang dalam gangguan jiwa (ODGJ) seperti bipolar disorder, depresi, obsessive-compulsive disorder.

Generasi Z yang melakukan self harm sangat rawan untuk melakukan bunuh diri. Oleh karena itu fenomena ini harus mendapatkan perhatian serius dari negara karena berbahaya bagi kelangsungan kehidupan generasi. Maraknya self harm menjadi alarm keras bahwa banyak generasi yang memiliki masalah kesehatan mental.

Walaupun fenomena meningkatnya self harm sudah mendapatkan perhatian khusus dari kementrian PPA dan berbagai instansi terkait seperti pendampingan psikologis dan konseling secara intens namun kasusnya semakin meningkat dari hari ke hari. Ini menunjukkan ada persoalan sistemik yang butuh diselesaikan.

Efek Negatif Sosial Media

Media sosial (medsos) ternyata memicu perilaku menyimpang di kalangan generasi, salah satunya keinginan melukai diri sendiri atau self harm.

Penelitian terbaru menemukan algoritma TikTok kerap menyuguhkan konten yang berbahaya bagi kesehatan mental anak remaja. Video-video tersebut bahkan bisa muncul di laman “For You” hanya dalam hitungan menit setelah pengguna membuat akun TikTok.

Berdasarkan hasil eksperimen, para peneliti dari organisasi nirlaba Center for Countering Digital Hate (CCDH) di Inggris memperhitungkan hanya butuh kira-kira 2,6 menit bagi algoritma TikTok untuk memunculkan rekomendasi konten yang mengandung unsur melukai diri dan gangguan makan kepada remaja perempuan yang masih rentan melakukan hal-hal serupa.

Pengurus Into The Light Indonesia, Yosafat Kevin, menjelaskan, jika perilaku menyakiti diri dipamerkan di medsos maka dapat mengakibatkan efek domino. Hal itu karena ada kecenderungan mengajak orang lain juga mengikuti perilaku self harm. Saat ini, sambung dia, perilaku self harm atau self injury marak dilakukan oleh anak usia muda. Mereka merasa harus mengikuti tren tertentu karena takut dianggap ketinggalan zaman (fear of missing out). Apalagi usia muda rentan karena mereka memiliki emosi yang tidak stabil sehingga membahayakan bagi keselamatan jiwa generasi.

Serangan Liberalisme dan Sekularisme

Maraknya self harm membuktikan bahwa generasi telah diserang oleh racun sekulerisme dan liberalisme. Secara individu jiwa generasi ini sangat rapuh. Ketika ada masalah atau menemui kegagalan, mereka mudah stress berujung depresi. Tidak aneh, melukai diri sendiri bahkan bunuh diri menjadi jalan pintas untuk keluar dari masalah. Hal ini disebabkan pendidikan berbasis sekuler matrealistik yang kering dari nilai-nilai ruhiyah baik di rumah maupun di sekolah. Walhasil, ketika menghadapi persoalan hidupnya, mereka mengalami distorsi iman sehingga tidak mampu mengaitkan dengan aqidah Islam dan keterikatan terhadap syariatNya. Jiwanya labil lantas melarikan diri ke media sosial yang dianggap bisa memberikan solusi. Atas nama kebebasan berbuat (liberalisme), negara juga membiarkan sosial media bebas menayangkan konten yang mengajarkan keburukan, termasuk self harm. Akhirnya degradasi generasi adalah harga mahal yang diterima dari prinsip kebebasan tanpa batas.

Tentu tidak cukup menyembuhkan jiwa generasi tadi dengan program parenting untuk mendekatkan hubungan dan komunikasi antara anak dan orang tua. Juga tidak cukup hanya sekedar melakukan konseling, terapi psikologis atau self healing. Ini karena masalahnya sistemis, sedangkan solusi yang ditawarkan bersifat personal individual. Dengan demikian butuh solusi sistemik berlandaskan Islam.

Islam Menjaga Kesehatan Jiwa Generasi

Islam menetapkan bahwa pendidikan genarasi haruslah berbasis aqidah Islam. Dengan demikian, genarasi akan memiliki kesadaran penuh bahwa dirinya berasal dari Allah SWT dan akan kembali pada-Nya untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya selama di dunia. Islam sangat memperhatikan pembentukan kepribadian Islam pada generasi. Keimanan dan ketaqwaan yang tinggi akan menghasilkan sosok yang kuat dalam menghadapi masalah hidup. Mereka meyakini bahwa apapun yang berasal dari Allah merupakan ketetapan Allah yang pasti baik. Kegagalan merupakan kesuksesan yang tertunda sehingga mereka tidak akan putus asa dan tetap berusaha seiring dengan menyandarkan dirinya melalui tawakkal kepada Allah.

Semua ini ditopang dengan sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan Khilafah yang mensinergikan peran orang tua dan sekolah sehingga antara pendidikan di sekolah dan di rumah terjadi sinkronisasi dan saling mendukung. Tak hanya itu, Khilafah juga melindungi anak dari hal-hal yang merusak jiwa. Berbagai bacaan, tayangan, permainan, dan konten yang merusak jiwa akan dilarang beredar. Jika masih ada penyedia yang nekat menayangkan, negara akan memberinya sanksi yang tegas dan menjerakan.

Ini semua terwujud dalam sistem Khilafah memposisikan penguasanya sebagai junnah (perisai) yang melindungi rakyat termasuk generasinya dari hal-hal buruk.

Sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya seorang imam itu (laksana) perisai. Ia akan dijadikan perisai yang orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng.” (HR Bukhari dan Muslim). Wallahualam.

Bahan Bacaan :

https://video.tribunnews.com/view/660958/demi-tren-tiktok-11-siswi-sd-di-situbondo-lukai-tangan-sendiri-pakai-alkes-yang-dijual-di-sekolah

https://www.mitrakeluarga.com/artikel/apa-itu-self-harm

https://muslimahnews.net/2023/03/17/18525/

https://news.republika.co.id/berita/rujp78484/pakar-beri-tips-mencegah-munculnya-perilaku-self-harm-akibat-medsos

https://www.vice.com/id/article/4axmzq/studi-konten-self-harm-marak-di-tiktokhttps://www.vice.com/id/article/4axmzq/studi-konten-self-harm-marak-di-tiktok

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image