Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Kemampuan dan Keterbatasan: Pandangan Islam tentang Shalat bagi Orang Sakit

Agama | Thursday, 05 Oct 2023, 20:11 WIB
Dokumen Tempo.co

Shalat adalah salah satu kewajiban dalam agama Islam yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim. Namun, dalam situasi tertentu seperti ketika seseorang sedang sakit, pertanyaan muncul mengenai apakah mereka masih wajib menjalankan shalat dan bagaimana cara pelaksanaannya. Dalam konteks ini, hadis dari Nabi Muhammad memberikan pedoman yang jelas tentang bagaimana orang yang sakit dapat menjalankan kewajiban shalat mereka. Dalam pembahasan ini, kita akan menggali lebih dalam mengenai masalah ini dan mengeksplorasi argumen yang mendukung gagasan bahwa orang yang sakit dapat melakukan shalat sesuai dengan keadaan dirinya tanpa perlu mengqadha’ shalat tersebut.

Pertama-tama, kita merujuk kepada hadis dari Nabi Muhammad yang menyatakan, "Shalatlah dengan berdiri. Kalau engkau tidak mampu, shalatlah dengan duduk. Kalau tidak bisa, maka shalatlah dengan berbaring." (HR. Al-Bukhari). Hadis ini dengan jelas mengindikasikan bahwa Allah memahami keadaan individu yang berbeda-beda, termasuk kondisi sakit. Oleh karena itu, orang yang sakit diberikan fleksibilitas dalam menjalankan shalat mereka sesuai dengan kemampuan fisik mereka. Ini merupakan suatu bentuk rahmat dan pemahaman agama terhadap keterbatasan individu.

Ayat Al-Qur'an juga menguatkan prinsip ini. Dalam Surat At-Taghâbun (64:16), Allah berfirman, "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu." Ayat ini menegaskan bahwa Allah memahami kemampuan setiap individu dan tidak membebani seseorang melebihi batas kemampuannya. Ini berlaku juga dalam pelaksanaan shalat bagi orang yang sakit.
Selanjutnya, penting untuk memahami bahwa dalam Islam, shalat adalah kewajiban yang sangat serius. Namun, Allah juga memberikan kelonggaran kepada mereka yang tidak mampu menjalankannya dalam posisi berdiri. Hadis yang telah disebutkan di awal menyatakan bahwa seseorang yang sakit dapat melakukan shalat dengan berdiri, duduk, atau berbaring, sesuai dengan kondisinya. Ini adalah bentuk kebijakan agama yang memungkinkan individu untuk menjalankan kewajiban mereka tanpa menimbulkan beban yang berlebihan.

Namun, ada perbedaan penting yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan shalat bagi orang yang sakit. Hadis tersebut juga mencatat bahwa jika seseorang memberi isyarat untuk ruku’ dan sujud dengan isyarat kepalanya, maka shalat tersebut tidak sah. Ini berarti bahwa ada batasan yang harus diikuti, yaitu individu yang sakit harus dapat melakukan gerakan-gerakan ruku’ dan sujud, meskipun dengan isyarat kepalanya jika ia tidak mampu lebih dari itu.
Tentu saja, ada situasi di mana seseorang yang sakit benar-benar tidak dapat melakukan gerakan-gerakan tersebut, bahkan dengan isyarat kepalanya. Dalam kasus ini, shalat tersebut tidak sah, dan individu tersebut tidak memiliki kewajiban untuk mengqadha’ shalat tersebut. Ini adalah pemahaman yang adil dan realistis, mengingat keterbatasan fisik yang mungkin dialami oleh seseorang yang sedang sakit parah.

Ada satu hal yang perlu ditekankan di sini, yaitu pentingnya niat dan ketulusan hati dalam menjalankan shalat. Meskipun seseorang mungkin dalam kondisi fisik yang sangat lemah, niat yang kuat dan ikhlas dalam beribadah tetaplah penting. Bahkan jika seseorang hanya mampu memberi isyarat dengan kepalanya untuk ruku’ dan sujud, niat yang tulus dan kesungguhan dalam beribadah adalah aspek yang tidak bisa diabaikan.

Selain itu, kita juga harus memahami bahwa dalam Islam, sakit atau keterbatasan fisik bukanlah hambatan bagi individu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan dalam keadaan sakit, seseorang dapat berdoa, berzikir, dan memperkuat hubungannya dengan Tuhan tanpa harus menjalankan shalat. Agama Islam mengajarkan bahwa Allah sangat pemaham terhadap kondisi individu dan akan memahami upaya dan niat baik mereka dalam menjalankan ibadah.

Dalam kasus-kasus di mana seseorang yang sakit tidak dapat menjalankan shalat dengan benar, tidak ada kewajiban untuk mengqadha’ shalat tersebut. Ini sesuai dengan prinsip bahwa Allah tidak membebani seseorang melebihi batas kemampuannya. Namun, individu tersebut tetap dapat meminta ampunan dan berdoa kepada Allah untuk kesehatan dan kesembuhan mereka.

Dalam rangka mengejar pemahaman yang lebih mendalam tentang masalah ini, penting untuk berkonsultasi dengan seorang ulama atau ahli agama yang kompeten. Mereka dapat memberikan panduan dan nasihat yang lebih spesifik sesuai dengan situasi individu. Selain itu, dalam Islam, sikap saling menghormati dan tolong-menolong dalam situasi seperti ini sangat ditekankan. Keluarga, teman, dan masyarakat seharusnya memberikan dukungan moral dan fisik kepada individu yang sakit untuk membantu mereka dalam menjalankan ibadah dengan sebaik-baiknya.

Kesimpulannya, dalam Islam, orang yang sakit diberikan kelonggaran dalam menjalankan shalat sesuai dengan kemampuan fisik mereka. Shalat dapat dilakukan dengan berdiri, duduk, atau berbaring, dengan isyarat kepalanya jika diperlukan. Namun, penting untuk memahami bahwa niat dan ketulusan hati tetaplah penting dalam menjalankan shalat. Jika seseorang benar-benar tidak dapat melakukan gerakan-gerakan shalat, mereka tidak wajib mengqadha’ shalat tersebut. Dalam semua situasi, Allah memahami kondisi individu dan menerima upaya dan niat baik mereka dalam menjalankan ibadah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image