Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ibn Taufiq

Money Politic dalam Perspektif Hukum Pidana dan Agama

Politik | 2023-09-28 16:21:06
Sumber: Infolingga.net

Kontestasi politik 2024 di Indonesia terasa semakin dekat. Dilansir dari website resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pemilu 2024 akan diikuti oleh 17 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal Aceh. Nantinya semua parpol yang telah terdaftar akan menampilkan kader terbaiknya dalam mengikuti kontestasi politik serta bertarung strategi guna mendapatkan dukungan dari masyarakat untuk mengisi kursi kepemimpinan ekskutif ataupun legislative. Secara sederhana, pelaksanaan pemilu bertujuan untuk menyeleksi pemimpin pemerintahan. Dijelaskan oleh F Isjwara, bahwa politik merupakan upaya untuk mendapatkan dan menjalankan kekuasaan. Tentunya dalam menjalankan kekuasaan, seorang pemimpin harus berasaskan kepentingan masyarakat.

Strategi Mendapatkan Kekuasaan

Berbagai siasat / strategi akan digunakan oleh peserta pemilu. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kemenangan suara sehingga ia akan berhak untuk menerima kekuasaan. Berkaitan dengan strategi mendapatkan dukungan, terdapat sebuah isu lama yang sering muncul berbarengan dengan kontestasi politik di Indonesia. Yaitu isu “Money Politic”. “Money Politic” atau politik uang digunakan untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat agar para politikus terpilih dan mempunyai jabatan politik yang diinginkan. Sehingga masyarakat yang mendapatkan "money politic" ia akan terpengaruh dalam mempertimbangkan pilihannya. Padahal pada tulisan sebelumnya, Dijelaskan secara tegas bahwa, seorang pemilih harus mempertimbangkan dengan cermat tentang calon yang akan ia pilih. Lantas bagaimana “Money Politic” dalam perspektif hukum positif dan agama?

Money Politic dalam Hukum Pidana

Praktik “Money Politic” telah disinggung dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yang terbagi ke dalam sejumlah pasal yakni Pasal 278, 280, 284, 515, dan 523. Dalam aturan tersebut, peserta pemilu, tim sukses, dan penyelanggara dilarang untuk melakukan praktik politik uang. Di sisi lain, politik uang dapat dikatakan sebagai bentuk praktik suap. Karena dalam praktiknya, memberikan imbalan atau materi kepada seseorang dengan harapan orang tersebut melakukan apa yang dikehendaki oleh si pemberi. Kasus “Money Politic” tidak lepas dari sifat ambisius manusia untuk mendapatkan posisi atau jabatan yang lebih tinggi di antara yang lain. Politik uang digolongkan sebagai tindak pidana. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 73 ayat (3) Undang-Undang tentang Pemilu tahun 1999.

“Barangsiapa pada waktu diselenggarakannya Pemilihan Umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan hukuman penjara paling lama 3 (tiga) tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu.”

Dalam konteks hukum pidana, kasus “Money Politic” mempunyai permasalahan, terutama dalam pembuktian. Hal ini menyebabkan banyaknya laporan kasus politik uang, akan tetapi tidak sampai pada ranah pengadilan

Money Politic dalam Agama

Adapun Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa, seseorang dapat dikatakan melakukan risywah atau suap apabila ia memberikan materi atau barang kepada orang lain dengan tujuan si penerima melakukan perbuatan tertentu. Dalam praktik “Money Politic” biasanya sebelum pelaksanaan pencoblosan, terdapat tim sukses calon tertentu atau para fungsionaris partai yang memberikan uang atau bentuk materi lain kepada pemilih (voters).

Diriwayatkan oleh Anas Bin Malik. Bahwa Nabi pernah berkata:

لُعِنَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي وَالرَّائِشُ

Artinya: “Terkutuk orang yang melakukan, menerima, dan memfasilitasi suap.”

Dari hadits di atas, dapat kita pahami bahwa, praktik politik uang atau suap adalah perbuatan yang dilarang dalam agama. Dengan demikian, kegiatan politik uang adalah kegiatan yang tidak dibenarkan oleh hukum pidana dan agama. Karena dengan adanya politik uang martabat demokrasi di Indonesia akan terkikis. Di sisi lain politik menjadi embrio adanya praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Sehingga pada akhirnya, pembangunan dan kepentingan public akan terabaikan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image