Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ibn Taufiq

Memasuki Tahun Politik, Refleksi Nilai Moral Kepemimpinan Khulafair Rosyidin

Politik | Thursday, 29 Jun 2023, 23:17 WIB
Ilustrasi: halloriau.com

Presiden Joko Widodo telah menetapkan dan memastikan bahwa tanggal 14 Februari 2024 akan dilaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dilakukan secara serentak di seluruh Indonesia. Ini menunjukkan bahwa, saat ini (2023), Indonesia sedang memasuki tahun politik. Pelaksanaan pemilu dan pilkada dilaksanakan secara rutin dalam 5 tahun satu kali, dalam rangka memilih orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu, baik di tingkat pemerintah pusat atau pemerintah daerah, seperti presiden, wakil presiden, gubernur, wakil gubernur, kepala desa. Pelaksanaan pemilu 5 tahunan merupakan sebuah amanah konstitusi yang harus dilaksanakan oleh semua unsur dalam negara. Sehingga, mau tidak mau masyarakat harus sadar tentang profil pemimpin. Karena setiap pemimpin mempunyai gaya atau model kepemimpinan yang berbeda-beda, sehingga tidak dapat dipungkiri akan terjadi perubahan-perubahan dalam model pemerintahan.

System Negara Indonesia

Indonesia sebagai negara demokrasi tidak dapat memaksakan sebuah pemimpin untuk memimpin selamanya (tanpa batasan periode). Karena negara demokrasi mempunyai otoritas kepemerintahan tertinggi berada di tangan rakyat. Sehingga dalam menjalankan system bernegara harus diatur dalam sebuah regulasi yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, Indonesia disebut juga sebagai negara hukum. Karena semua kebijakan dan system kepemerintahan telah diatur oleh undang-undang. Dalam sebuah artikel dijelaskan bahwa, negara dengan model pemerintahan demokrasi mempunyai ciri-ciri di antaranya: 1) rakyat sebagai otoritas tertinggi atas kedaulatan. 2) sejalan dengan konstitusi yang berlaku. 3) Pemilu dilakukan secara bebas, terbuka, adil, dan jujur. 4) Sebuah keputusan diambil secara musyawarah dan mufakat. 5) Menghargai Hak Asasi Manusia (HAM). 6) Kepentingan rakyat di atas segala-galanya.

Di Indonesia, terdapat 3 (tiga) lembaga utama yang menjalankan pemerintahan, yaitu legislative, ekskutif, dan yudikatif. Ketiga lembaga ini mempunyai peran dan fungsi yang berbeda-beda. Lembaga legislative berperan sebagai pembuat dan perumus regulasi atau undang-undang yang dibutuhkan oleh negara, contoh lembaga ini adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Lembaga ekskutif mempunyai tugas dan kuasa untuk menjalankan undang-undang. Saat ini, lembaga ekskutif diisi oleh kepala pemerintahan, yaitu presiden, wakil presiden, dan para mentri. Lembaga yudikatif secara yuridis merupakan sebuah badan yang independent (tidak dapat diintervensi oleh lembaga pemerintah lainnya) dan berfungsi sebagai wadah untuk mengadili atas adanya penyelewengan konstitusi dan undang-undang oleh lembaga pemerintah. Lembaga ini terdiri dari Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan adanya system seperti ini, sebuah penyelenggara negara akan saling mengawasi. Akan tetapi dalam ranah pemelihan umum, masyarakat dapat memilih secara langsung di 2 lembaga pemerintah, yaitu legislative dan ekskutif. Sedangkan yudikatif ditetapkan oleh presiden atas usulan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Refleksi Tahun Politik di Indonesia

Kurang dari kurun 1 tahun, tepatnya tanggal 14 Februari 2024 rakyat Indonesia akan menentukan calon pemimpin yang akan dipilih secara terbuka saat pemilu. pemimpin terpilih merupakan calon dengan suara terbanyak dari calon yang lain. Maka tidak heran bahwa, saat ini ( Juni 2023) sudah banyak para peserta pemilu yang telah melakukan komunikasi politik kepada para masyarakat untuk memaparkan visi dan misinya, seperti memasang baliho di pinggir jalan, iklan, menyebar poster, dan sebagainya.

Hal ini dilakukan dalam rangka mencari dukungan agar terpilih untuk menduduki kursi politik di pemerintahan, baik legislatif atau ekskutif. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan sadar akan pentingnya untuk menentukan dan memepertimbangkan pilihannya agar kursi politik diisi oleh orang yang tepat. Karena dalam beberapa kasus terdapat pelanggaran yang memanfaatkan jabatan politik untuk kepentingan pribadi, bukan kepentingan masyarakat. Seperti kejahatan yang lumprah dalam jabatan politik adalah kasus tindak pidana korupsi (Tipikor). Kejahatan ini tidak dilakukan oleh orang yang “tidak berpendidikan” melainkan oleh oknum-oknum tertentu yang notabenenya adalah orang yang ber-title dan mempunyai jabatan politik.

Terdapat sebuah hadits yang berbunyi:

أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، أَلَا فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ، وَمَسْئُولٌ عَنْهُمْ

Artinya: "Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya.”

Berdasarkan hadits di atas, dalam konteks pemilu atau pilkada rakyat sebagai orang yang menentukan calon pemimpinnya mempunyai tanggung jawab secara moral untuk memilih calon pemimpin yang baik, begitu pula calon pemimpin terpilih mempunyai tanggung jawab penuh atas rakyat yang dipimpinnya. Setelah pemaparan di atas, muncul sebuah pertanyaan tentang pemimpin seperti apa yang baik dan layak untuk dipilih? untuk menjawab pertanyaan ini, penulis akan memberikan sudut pandang sejarah dari model kepemimpinan dan nilai moral yang dimiliki para sahabat nabi.

Model Kepemimpinan Khulafair Rosyidin

Secara historis, Agama Islam pernah dipimpin oleh para sahabat nabi dan populer dengan sebutan khulafair rosyidin. Tentunya para kholifah (Pemimpin Islam) mempunyai nilai moral yang terpatri dalam dirinya, sehingga dapat menunjang keberhasilannya dalam menghantarkan kesuksesan Islam. Singkatnya, para kholifah mempunyai gaya hidup dan ucapan yang penuh dengan sikap zuhud (asketisme), kehidupan sederhana, dan kepasrahan kepada Allah SWT. Seperti dijelaskan dalam buku Tasawuf Studies bahwa Abu Bakar terkenal sebagai pribadi yang rela berkorban dan dermawan. Hal ini tercermin dari sikap beliau saat mengalokasikan keseluruhan hartanya untuk Umat Islam, bahkan beliau asalnya kaya raya sampai jatuh miskin, yang terkadang harus meminya-minta. Selain Abu Bakar RA, terdapat Sayyidina Umar RA, beliau selain masyhur sebagai pemimpin yang tegas dan paling ditakuti musuh, beliau juga terkenal dengan sikap sederhana, hal ini terlihat dari sebuah riwayat yang mengatakan bahwa saat Umar menjabat sebagai kholifah, beliau berpidato dengan berpakaian yang bertambal dua belas sobekan. Dalam Riwayat lain dijelaskan suatu hari Umar terlambat datang masjid, sehingga jama’ah sholat fardlu terlambat, karena biasanya yang menjadi imam adalah Umar, kemudian setelah Umar memasuki masjid, seseorang bertanya kepadanya mengapa terlambat datang, Umar menjawab: “kain saya sedang dicuci dan tidak ada lagi kain lainnya”. Selain sifat ssederhana, Umar terkenal dengan Kepandaiannya, bahkan Syibli Nu’mani menyimpulkan bahwa Umar adalah sosok yang memadukan antara Alexander dan Aristoteles, Messiah dan Sulaiman, Imam Abu Hanifah dan Ibrahim bin Adham. Berdasarkan model dan nilai moral para kholifah (Pemimpin Islam), dapat disimpulkan bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mempunyai sifat rela berkorban untuk rakyat, dermawan, sederhana, dan pandai.

Penulis merupakan Santri Pondok Pesantren Mansajul Ulum sekaligus Mahasiswa Institut Pesantren Mathali’ul Falah Pati, Indonesia.
Email: u[email protected]

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image