Demokrasi Digital di Bawah Bayang-Bayang Sensor
Politik | 2024-12-24 09:43:36Di era digital, memberikan peluang untuk membentuk ruang baru bagi demokrasi untuk berkembang. Dengan adanya kemajuan teknologi, menawarkan kebebasan setiap individu dalam bersuara, menyampaikan aspirasi, ikut serta secara langsung dalam diskusi publik, dan memperoleh informasi secara luas tanpa adanya batas. Namun, di balik kemudahan ini, ancaman sensor dan pengawasan oleh negara mulai menjadi kenyataan yang tidak dapat terhindarkan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan yang dilematis: apakah teknologi benar-benar menjamin dan memperkuat kebebasan, atau justru mengancamnya?
Demokrasi di era digital bertumpu pada prinsip kebebasan berekspresi dan akses informasi. Namun, hal tersebut justru menjadi kekhawatiran akan adanya sensor yang mengawasi. Kenyataannya, di berbagai negara, termasuk Indonesia, kebebasan ini sering berbenturan dengan kebijakan sensor dengan alasan untuk menjaga stabilitas nasional atau melindungi moralitas publik.
Di Indonesia, misalnya, Undang-Undang Informasi dan Teknologi (UU ITE) kerap menjadi alat yang digunakan untuk menjerat mereka yang dianggap menyebarkan “konten negatif” atau “hoaks.” Sayangnya, definisi alat ini sering kali tidak jelas, sehingga berpotensi menjadi alat untuk membungkam kritik terhadap pemerintah atau institusi tertentu.
Selain itu, pengawasan terhadap media sosial semakin meningkat. Banyak laporan mengenai pemblokiran web, penghapusan konten, hingga pelacakan aktivitas online tanpa adanya transparansi. Akibatnya, ruang digital yang berdiri atas prinsip kebebasan justru malah mengalami penyimpangan menjadi arena yang diawasi ketat, menciptakan rasa takut di kalangan pengguna media sosial.
Pemerintah sering berdalih bahwa adanya sensor diperlukan untuk melindungi warga negara dari berbagai macam informasi hoaks, ujaran kebencian, atau konten yang berpotensi mengakibatkan disintegrasi bangsa. Faktanya, sensor jarang menyentuh akar masalah. Sebaliknya, informasi yang disensor justru berpindah ke platform lain yang lebih sulit diawasi, seperti grup percakapan pribadi. Selain itu, kebijakan sensor yang tidak transparan menimbulkan kecurigaan di kalangan masyarakat mengenai dugaan bahwa langkah ini bukan untuk melindungi kepentingan publik, melainkan untuk menjaga kepentingan tertentu.
Dalam dunia politik, sensor bahkan bisa menjadi alat yang sangat strategis. Di masa pemilu, misalnya, ruang digital sering digunakan untuk perang narasi antar kubu politik. Jika pemerintah memegang kendali penuh atas sensor, ada risiko besar bahwa alat ini digunakan untuk menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Ini jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi yang mengutamakan keadilan.
Dampak Sensor terhadap Demokrasi
Ketika sensor menjadi terlalu mendominasi, akan mengakibatkan esensi demokrasi digital yang semakin menghilang. Di mana seharusnya, ruang demokrasi digital memberikan kebebasan bagi masyarakat dalam menyuarakan pendapatnya, justru mereka enggan dan takut karena adanya pengawasan yang ketat, terutama menyuarakan pendapat yang sedikit sensitif atau kontroversial.
Ketakutan ini menciptakan efek “chilling,” di mana orang-orang lebih memilih diam daripada mengambil risiko. Dalam jangka panjang, hal ini dapat merusak partisipasi masyarakat dalam ruang demokrasi. Demokrasi yang dimaksud bukan hanya memilih siapa yang menjadi pemimpin, tetapi juga merupakan ruang diskusi, debat, dan mengkritik tanpa adanya rasa takut.
Lebih parah lagi, sensor yang berlebihan dapat memperburuk polarisasi. Ketika akses terhadap informasi tertentu dibatasi, masyarakat cenderung mencari informasi dari sumber yang mendukung pandangan mereka. Akibatnya, dialog antara kelompok dengan pandangan berbeda menjadi semakin sulit, dan masyarakat terjebak dalam lingkaran bias yang memperkuat perpecahan.
Untuk menghadapi tantangan ini, kita perlu menemukan keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab di ruang digital.
Membangun Ruang Digital yang Sehat
Pertama, pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan sensor dilakukan secara transparan. Setiap keputusan untuk memblokir atau menghapus konten harus disertai alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa transparansi, sensor hanya akan menimbulkan kecurigaan dan resistensi dari masyarakat.
Kedua, literasi digital harus ditingkatkan. Masyarakat perlu diberdayakan untuk memahami dan memilah informasi dengan kritis. Dengan literasi yang baik, kita bisa menangkal hoaks dan ujaran kebencian tanpa harus mengorbankan kebebasan berekspresi.
Ketiga, platform digital juga memiliki tanggung jawab besar. Sebagai penyedia ruang publik virtual, platform seperti Facebook, Twitter, dan YouTube harus memastikan bahwa algoritma mereka tidak memperburuk polarisasi. Mereka juga harus transparan dalam menangani laporan pelanggaran dan melibatkan pihak independen untuk mengawasi kebijakan mereka.
Demokrasi digital menawarkan peluang besar untuk memperkuat partisipasi masyarakat dan kebebasan berekspresi. Namun, jika tidak dikelola dengan bijak, demokrasi ini bisa terancam oleh sensor yang berlebihan.
Semua pihak, pemerintah, masyarakat, dan platform digital, harus bekerja sama untuk menciptakan ruang digital yang inklusif, adil, dan bebas dari rasa takut. Dengan menjaga keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab, kita bisa memastikan bahwa demokrasi digital bukan sekadar slogan, tetapi menjadi realitas yang memperkuat kehidupan demokratis kita.
Penulis adalah mahasiswa Administrasi Publik Universitas Airlangga.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.