Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mega Puspita

Politik Tak Dapat Dipisahkan Dari Agama

Politik | Sunday, 17 Sep 2023, 22:00 WIB

Dikutip dari kemenag.go.id, menjelang tahun politik 2024, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengimbau masyarakat agar tidak memilih pemimpin yang memecah belah umat.

"Harus dicek betul. Pernah nggak calon pemimpin kita, calon presiden kita ini, memecah-belah umat. Kalau pernah, jangan dipilih," ujar Menag Yaqut di Garut, Minggu (3/9/2023).

Beliau juga meminta masyarakat tidak memilih calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan.

"Agama seharusnya dapat melindungi kepentingan seluruh umat, masyarakat. Umat Islam diajarkan agar menebarkan Islam sebagai rahmat, rahmatan lil 'alamin, rahmat untuk semesta alam. Bukan rahmatan lil islami, tok," kata Gus Men panggilan akrabnya.

Karenanya, pemimpin yang ideal, menurut Gus Men, harus mampu menjadi rahmat bagi semua golongan. "Kita lihat calon pemimpin kita ini pernah menggunakan agama sebagai alat untuk memenangkan kepentingannya atau tidak. Kalau pernah, jangan dipilih," tegasnya

Menyesatkan dan Berbahaya

Pernyataan Menag ini, dapat menyesatkan umat, dan membahayakan kehidupan umat, karena agama dituduh sebagai alat politik. Dampaknya, umat menjadi takut dan alergi untuk mengusung Islam dalam aktivitas politik. Seakan-akan, membawa Islam dalam aktivitas politik adalah sebuah kesalahan.

Dampak lebih lanjut, terjadi stigmatisasi terhadap aktivitas politik yang mengusung ide-ide Islam (Islam politik), sehingga terbentuk citra negatif mengenai Islam politik, mulai dari radikal, fundamentalis hingga teroris.

Akibatnya, politik berjalan tanpa spirit agama, padahal tanpa agama (Islam), politik menjadi Machiavellis, yang menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan.

Akibat Penerapan Politik Sekularisme

Sementara itu, realitas saat ini menunjukkan hal yang paradoks. Di satu sisi para politisi enggan mengusung Islam politik, tetapi di sisi lain, pada saat mengais dukungan umat Islam, mereka tampil Islami.

Seperti tampak pada kondisi sekarang, menjelang Pemilu 2024, para calon peserta pemilu berlomba-lomba menunjukkan citra bahwa dirinya sosok yang religius nan islami dengan tujuan meraih suara dari umat Islam. Bukankah ini merupakan praktik memperalat agama dalam berpolitik demi meraih kekuasaan? Yang pada faktanya mereka telah melakukan politisasi Islam.

Jelaslah, pada hakikatnya yang ditolak oleh para politisi sekuler itu adalah Islam politik, yakni Islam kaffah, Islam yang menuntut penerapan Islam pada seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam berpolitik dan bernegara. Sedangkan Islam yang hanya aksesoris, mereka mau menggunakannya, bukan karena kesadaran akidah, tetapi sekadar untuk memperoleh suara umat Islam yang merupakan pemilih mayoritas.

Inilah nasib Islam di dalam sistem demokrasi sekuler. Islam hanya menjadi alat pencitraan bagi politisi sekuler untuk membohongi dan membodohi umat, seolah-olah sang calon pemimpin adalah sosok yang saleh. Nyatanya, setelah duduk di kursi kekuasaan, Islam akan mereka campakkan.

Islam dan Politik Tidak Terpisahkan

Sejatinya, Islam tidak terpisahkan dari politik. Dan sudah seharusnya pada penerapannya politik tidak boleh terpisah dengan Islam. Praktik politik tanpa Islam akan menimbul kerusakan dan ketidakadilan. Sementara, Islam tanpa aktivitas politik akan menyebabkan kondisi umat lemah dan terdzalimi.

Para ulama sudah membahas tentang pentingnya agama dan kekuasaan itu bersatu. Dalam kitab Majmû’ al-Fatâwâ, (28/394), Ibnu Taimiyah menyatakan, “Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya perkataan manusia akan rusak.”

Dalam Islam, menjadi penguasa itu memiliki tujuan mulia, yakni sebagai amal saleh untuk mengurus umat dengan penerapan Islam dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Allah Swt. telah memerintahkan para pemimpin untuk berhukum dengan syariat-Nya dan menunaikan amanah.

Imam Ath-Thabari, dalam Tafsîr Ath-Thabarî, menukil perkataan Ali bin Abi Thalib ra., “Kewajiban imam/penguasa adalah berhukum dengan hukum yang telah Allah turunkan dan menunaikan amanah. Jika ia telah melaksanakan hal itu maka orang-orang wajib mendengarkan dan mentaati dia, juga memenuhi seruannya jika mereka diseru.”

Sudah seharusnya umat meluruskan pandangan soal politik dan kepemimpinan, bahwa pemimpin yang amanah bukan sekadar pemimpin yang saleh secara personal, tetapi juga menciptakan kesalehan secara menyeluruh. Ia tidak akan membiarkan satu aspek kehidupan bernegara pun yang tidak diatur oleh hukum-hukum Allah. Sebabnya, ia yakin tidak ada aturan yang terbaik melainkan yang datang dari risalah Islam.

Oleh karena itu, memilih pemimpin bukan sekadar memilih yang beragama Islam, tetapi memilih pemimpin muslim yang akan menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan sehingga tercipta rahmat bagi semesta alam. Tanpa menerapkan syariat Islam, sesaleh apa pun seorang pemimpin, tidak akan bisa mengundang rahmat Allah SWT.. Wallâhu a’lam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image