Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Topik Irawan

Walungan Cipager yang Sunghil

Sastra | 2023-09-01 06:48:48
Ilustrasi sungai cipager(dokumentasi pribadi)

Bagas sedang berbahagia,pamannya yang dari Bandung datang, istimewanya lagi adalah ketika paman datang sambil bawa alat pancing. Tak henti hentinya memamerkan alat pancing hadiah pamannya Terlihat sangat bagus sih pancingnya, bukan dari bambu. Radit, Tolib dan Gopar merubung alat pancing milik Bagas, kompakan mereka bergumam mengagumi apa yang Bagas miliki.

“Duh sae pisan ieu mah,” desis Gopar.

“Ini mah pemberatnya juga bukan timah yang dibakar,seperti punya kita!” Seru Tolib penuh kekaguman.

Hidung Bagas langsung kembang kempis mendengar pujian bertubi tubi karena pancingnya paling keren dibanding teman temannya, jika disandingkan dengan pancing punya ketiga temannya, tampilan pancing Bagas tampak mulus, maklumlah harganya juga mahal.

“Siang begini pada mau ke mana ini? Tanya Bi Odah sambil mengangsurkan kripik gadung.

“Mau nyoba pancing barunya Bagas, kita mau mancing ke Cipager, bi,” jawab Bagas.

“Mancing ke Cipager? Aduh jangan deh,bahaya kalau bermain ke sana,” cegah Bi Odah dengan nada khawatir.

“Emang kenapa Bi? Bukankah yang mancing ke Cipager juga banyak,” ujar Gopar keheranan.

“Sungai Cipager itu sunghil alias angker, apalagi bagi anak anak seperti kalian, bahaya. Ada Lilin Samak,” papar Bi Odah menerangkan.

“Kok aku baru dengar cerita ini sih,” Tolib menimpali.

“Tapi kami mau mancing di dekat jembatan yang berbatasan dengan Desa Mandirancan, lagi pula banyak orang yang lewat di situ kok Bi,” Radit menerangkan kenapa memancing di Cipager.

“Tetap saja bahaya kalau mancing ke sana, sieun Bibi mah, takut ada apa apa dengan kalian,” cegah Bi Odah memperingatkan.

“Jadi nggak nih kita Cipager,tanggung nih sudah bawa alat pancing keren dari kota,” sergah Bagas tak sabaran ingin segera berangkat.

“Kalau Lilin Samak itu apa sih Bi? Terus pernah kitu Bibi melihat langsung Lilin Samaknya?” Tanya Tolib penasaran.

Keempat sahabat kompakan menatap Bi Odah, meminta kejelasan apa dan bagaimana tentang Lilin Samak, dan mengapa Bi Odah keukeuh mencegah mereka untuk memancing di sungai Cipager.

“Lihat langsung mah belum, amit amit deuh kalau Lilin Samak, itukan jurig cai, setan air yang berada di sungai Cipager, bentuknya berupa samak atau tikar yang terbentang diatas sungai, yang ada di sungai bisa di gulung oleh Lilin Samak,” Bi Odah menjelaskan dengan antusias.

“Jangan nakut nakutin dong Bi, baru saja mau mancing nih,” rajuk Bagas.

“Bibi mah ngasih tahu aja sih,kalau bersikeras kesana ya silahkan tapi hati hati ya,”pesan Bi Odah cepat.

Radit,Gopar,Tolib dan Bagas terlihat berdiskusi sejenak, apakah jadi memancing atau bermain di rumah Radit sambil ngemil kripik gadung. Tak beberapa lama empat sekawan ini memutuskan untuk tetap memancing di Cipager, untuk soal nanti ketemu Lilin Samak si jurig cai, terserah nanti saja.

“Bi kalau Ayah dan Bunda pulang, Radit lagi mancing di Cipager ya,”pinta Radit.

Bi Odah mengangguk lemah, sebenarnya ia ingin mencegah Radit dan kawan kawannya pergi, namun melihat keempatnya bedegong untuk tetap memancing,Bi Odah hanya angkat bahu. Akhirnya mereka meninggalkan Bi Odah, Anita adiknya Radit yang baru berumur dua tahun ingin ikut kakaknya, akhirnya hanya bisa dadah dadah digendongan Bi Odah.

Sepanjang perjalanan menuju Cipager, keempat sahabat ngobrol tentang Lilin Samak, benarkah apa yang dikatakan Bi Odah, atau sekedar menakut- nakuti agar tak bermain di sungai, ah sudahlah, yang penting bisa mancing ke Cipager juga membuat mereka bergembira.

Setelah melewati turunan ke arah Cipager, tibalah mereka di bibir sungai Cipager, kemudian masing masing menyiapkan umpan. Bagas paling antusias karena hari ini pancingnya jauh lebih dan kinclong, terlihat Tolib dan Gopar bersiap dengan umpan cacing,setelah itu mereka meludahi cacing dan melemparkan ke arah tengah sungai.

Keempatnya menunggu umpan disambar ikan, menit demi menit berjalan namun waktu serasa lambat berputar, hanya diam menanti.Dengan sabar empat sekawan duduk seraya berharap ada ikan yang memakan umpan. Memancing memang butuh kesabaran, karena tak serta merta ikan begitu saja mendekat, terdengar sorakan tertahan, pelampung alat pancingnya bergerak.

“Kayaknya ikannya lumayan gede euy, pancingku terasa berat,” pekik Bagas bersemangat.

Dengan cepat Bagas menggulung rel pancing, terlihat pelampung pancingnya timbul tenggelam di antara arus sungai Cipager, dengan hati hati Bagas menarik senar. Radit, Tolib dan Gopar menahan nafas sejenak, gara gara pancing Bagas bagus, akhirnya ada ikan yang menyambar pancing Bagas.

“Sreeet.....sreeeet!”

Bagas mengangkat pancing ke udara, ia berharap mendapat ikan mujaer atau bogo, namun ketika diangkat malah terdengar tawa ketiga temannya meledak. Dihadapan Bagas bukan ikan yang didapat, malah sepatu boot butut yang terkait mata kail.

“Apes ini mah, kirain dapat bogo atuh, malah sepatu butut,” gerutu Bagas cemberut.

“ Bukan nasib baik itu Gas, sabar aja ya,”kikik Gopar seraya memandang Bagas.

Bagas mencak mencak dan melempar sepatu ke tepian sungai, lalu ia pun mengambil umpan dan memasangkannya ke mata kail. Suasana kembali sepi, hanya aliran sungai Cipager yang terdengar bergemericik. Terlihat Gopar menarik joran pancing bambunya, dengan pelan ia menarik senar dan dengan gerak perlahan mengangkat senar.

“Hap.....hap....hap.”

Gopar buru buru membanting hasil pancingan ke arah pasir di tepian sungai, kali ini Gopar tampaknya berhasil memancing ikan. Namun ternyata bukan ikan yang diharapkan. Gopar mendapat bekas popok bayi yang menyangkut.

Giliran Bagas tertawa geli, puas rasanya melihat wajah bingung Gopar, kali ini ia bisa meledek temannya.

“Sukurin dapat popok bayi,” goda Bagas sambil tertawa lebar.

Terlihat Gopar garuk garuk kepala, ternyata memancing di Cipager bukan dapat ikan namun sampah yang hanyut terbawa arus sungai. Empat sekawan itu masih berharap ada ikan yang menyangkut di pancing mereka, namun saat matahari rebah petang, tak ada satu pun ikan yang menghampiri umpan mereka.

“Huuh bukannya ikan didapat, malah sampah melulu yang menyangkut,”cetus Tolib kesal.

“Apa umpannya cuma cacing ya, jadi ikan males nyamperin,” timpal Gopar.

“Biarin deh nggak dapat ikan, yang penting aku bisa mancing dengan joran yang keren ini,” imbuh Bagas menimpali.

“Kita pulang yuk, sudah sore, untung saja sore ini nggak ketemu Lilin Samak si jurig cai,” kekeh Radit seraya mengemasi alat pancing miliknya.

Matahari mulai terlihat tenggelam di balik punggung Gunung Ciremai, cahayanya berwarna keemasan, indah sekali. Keempatnya menuju atas jembatan melalui tebing yang telah disusun seperti anak tangga. Melewati sore yang cerah, mancing bersama tapi sore ini tak ada satu pun ikan didapat, berjanji untuk kembali memancing di tempat lain yang mungkin ada ikannya. Meski tak membawa hasil,Radit senang bisa bermain dan juga memancing di Cipager, ternyata apa dikatakan Bi Odah tentang Lilin Smaktak seseram yang dibayangkan.Bukan bertemu setan air, namun Radit dan kawan kawan bertemu sampah yang hanyut.

Keterangan:

Sieun(Bhs Sunda)=Takut

Bedegong(Bhs Sunda)=Bersikeras

Sunghil=Angker

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image