Gaya Hidup Mengoleksi Sampah
Gaya Hidup | 2023-08-22 20:12:20GAYA HIDUP MENGOLEKSI SAMPAH
Memang ada orang yang memiliki gaya hidup mengoleksi sampah? Lho, sampah kok dikoleksi, yang bener saja?
Pada umumnya, orang itu kan kegiatannya membuang sampah, bukan mengoleksi sampah. Iya to. Dalam konvensi masyarakat kita, sampah adalah segala sesuatu yang tidak berguna lagi atau tidak kita butuhkan lagi. Makanya mesti dibuang. Kalau sampah itu berupa bahan organik, bisa kita buang di kebun atau kita jadikan pupuk kompos. Jika anorganik, biasanya kita bakar karena tidak bisa terurai. Beberapa sampah anorganik bisa didaur ulang menjadi produk-produk yang bernilai ekonomis.
Lantas, sampah seperti apa yang dikoleksi orang itu?
Pertama, silakan cek lemari pakaian Anda. Adakah baju atau celana yang jarang sekali dipakai, atau bahkan belum pernah dipakai sama sekali. Cek pula di rak sandal dan sepatu Anda. Adakah deretan sandal-sepatu yang berjejer rapi hingga berdebu layaknya koleksi museum. Cek pula berapa tas yang Anda miliki. Jam tangan, jaket, topi, casing HP, peralatan dapur, atau barang-barang lain di rumah Anda.
Periksa! Periksa lagi!
Ada berapa banyak barang-barang yang jarang sekali dipakai. Ada berapa banyak yang belum pernah dipakai sama sekali. Atau bahkan, kita malah lupa kalau kita punya barang A atau barang B. Semua itu menempati lemari kita, kamar tidur kita, ruang tamu kita, dapur kita, dan bagian lain rumah kita.
Greedy, Penyebab Utama
Ya. Keserakahan. Rakus, tamak, loba. Sifat ini bermula dari keinginan-keinginan yang tak pernah terpuaskan. Sudah menjadi sifat alamiah manusia yang senantiasa muncul keinginan-keinginan. Sudah punya yang ini, ingin yang itu. Sudah punya merk X, pingin merk Z. sudah ada yang berwarna biru, mau lagi yang warnanya merah. Demikian seterusnya takkan pernah ada habisnya.
Keserakahan manusia diperkuat oleh paham kapitalisme yang mendorong umat manusia untuk berperilaku konsumtif. Hingga muncullah gaya hidup hedonisme. Para kapitalis menciptakan produk berupa barang dan jasa. Lalu mereka membutuhkan para buruh untuk bekerja di perusahaan mereka. Kemudian mereka mendorong para buruh itu untuk membelanjakan gajinya, membeli produk-produk mereka. Sebuah siklus yang senantiasa menguntungkan para kapitalis.
Di era digital ini, gaya hidup konsumtif diperkuat lagi oleh adanya Marketplace. Berbagai promosi besar-besaran senantiasa digaungkan untuk membangkitkan greedy itu tadi. Diskon, cashback, harga Rp 1,-, buy 1 get 1, kupon, gratis ongkir, flash-sale, dan sebagainya. Begitu menggiurkan. Begitu menggoda.
“Lho, kemarin kan baru saja beli sepatu?” seru seorang suami kepada istrinya. “Aduh Mas, sayang kalau tidak beli, mumpung ada promo, hanya hari ini saja lagi!” bantah sang istri terkesan argumentatif. Orang yang sudah dikuasai (baca=diperbudak) oleh nafsu serakah selalu saja punya alasan atas sebuah tindakan yang dilakukannya. Tapi ngomong-ngomong, yang hobi belanja online tidak hanya para perempuan lho. Pun demikian, para lelaki.
Gaya hidup konsumtif tak lagi memandang gender.
Agama Sebagai Control of Greedy
Orang yang menjalankan agama secara baik dan benar, tentu tidak akan memiliki sifat serakah. Ia akan bisa membedakan mana yang termasuk kebutuhan, mana yang sekedar keinginan. Ia akan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya secara wajar dan tidak berlebihan.
Salah satu ciri orang yang beriman adalah kemampuannya dalam mengendalikan diri. Ia tak mudah tergoda oleh gemerlapnya dunia. Ia tak gampang goyah oleh perhiasan dunia. Ia bukan orang yang tak memiliki keinginan-keinginan. Ia bukan pula orang yang anti-dunia. Namun ia mampu memanajemen hatinya dari keserakahan.
Apabila ia diberi kelebihan rezeki atau memiliki banyak uang, tidak lantas ia gunakan untuk berfoya-foya, hura-hura, atau mubadzir. Ia tidak akan membeli barang-barang yang memang tidak sedang dibutuhkan dan tidak mendesak untuk dipenuhi. Apalagi membeli sesuatu hanya sekedar ingin saja, gengsi, mengikuti tren, sedang viral, dan sebagainya.
Dalam Islam ada mekanisme zakat, infaq, dan shadaqah. Kaum Muslim dapat diberi ruang untuk menyalurkan hartanya. Termasuk menyantuni fakir-miskin, yatim-piatu, maupun dhuafa. Orang beriman menyadari sepenuhnya bahwa hartanya bukanlah milik pribadi sepenuhnya. Ada hak orang lain di sana. Termasuk bagaimana agar harta yang dimiliki bisa dimanfaatkan untuk bekal di akhirat kelak.
Oleh karena itu, jika ada orang Islam yang masih suka belanja yang tidak perlu, masih menuruti nafsu serakahnya, sebaiknya segera memperbaiki diri.
*****
Sekiranya rumah kita terlanjur banyak terisi “sampah-sampah”, penuh sesak dengan barang-barang yang jarang sekali kita gunakan atau bahkan belum pernah kita pakai sama sekali. Saatnya untuk disedekahkan kepada orang lain yang membutuhkan.
Bukankah kita akan merasa lebih nyaman tinggal di rumah yang lega, bersih, dan hanya memiliki barang yang sedikit (sesuai kebutuhan).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.