Refund Susah? Begini Hak Konsumen Menurut Fiqh
Agama | 2025-12-11 10:15:36
Dalam era belanja online yang semakin berkembang, masalah refund atau pengembalian dana menjadi salah satu keluhan terbesar para konsumen. Banyak orang merasa dipersulit ketika ingin mengembalikan barang yang tidak sesuai, baik karena prosesnya terlalu panjang, syarat yang rumit, ataupun penolakan sepihak dari penjual atau pihak marketplace. Dalam Fiqh Muamalah, isu seperti ini sudah lama dibahas, karena prinsip transaksi dalam Islam selalu menekankan keadilan, kejujuran, dan perlindungan terhadap pihak yang dirugikan.
Dalam konsep Fiqh Muamalah, konsumen memiliki hak yang disebut khiyār, yaitu hak untuk memilih melanjutkan atau membatalkan transaksi jika ditemukan masalah pada barang atau akadnya. Hak ini meliputi beberapa kondisi, seperti khiyār al-‘aib yang memberi hak pembeli untuk membatalkan transaksi apabila barang memiliki cacat yang tidak diinformasikan sebelumnya. Selain itu ada khiyār al-ru’yah, ketika barang yang diterima tidak sesuai dengan apa yang dilihat atau diharapkan, serta khiyār al-waṣf, ketika barang tidak sesuai dengan deskripsi yang dijanjikan. Dari prinsip ini, jelas bahwa jika barang yang diterima rusak, berbeda warna, tidak sesuai ukuran, atau kualitasnya tidak seperti yang dijelaskan, konsumen secara syar’i berhak meminta refund.
Dalam Fiqh, barang yang tidak sesuai deskripsi dianggap sebagai kecacatan akad. Ini membuat transaksi tidak lagi sah untuk dilanjutkan karena objek jual beli tidak sesuai dengan penjelasan penjual. Oleh sebab itu, konsumen boleh mengembalikan barang, dan penjual wajib mengembalikan dana tanpa mengurangi hak pembeli. Kaidah fikih menyebutkan bahwa “al-ghabn wa al-gharar yuzâl”, yang berarti segala bentuk penipuan dan ketidakjelasan dalam transaksi harus dihilangkan. Refund dalam konteks ini menjadi upaya menegakkan keadilan serta menghilangkan unsur merugikan dalam transaksi.
Dalam sistem belanja online modern, marketplace berfungsi sebagai perantara atau wasīṭ antara penjual dan pembeli. Posisi ini membuat mereka berkewajiban untuk bersikap adil, menyediakan mekanisme refund yang jelas, menjaga keamanan dana, serta tidak memihak kepada satu pihak saja. Ketika platform mempersulit pengajuan refund tanpa dasar yang jelas, itu termasuk bentuk ketidakadilan yang bertentangan dengan prinsip syariah, khususnya kaidah la darar wa la dirar yang menegaskan bahwa tidak boleh ada pihak yang dirugikan maupun saling merugikan.
Meski begitu, refund tidak selalu menjadi kewajiban mutlak. Ada kondisi tertentu ketika refund tidak wajib diberikan, seperti ketika konsumen salah memilih produk padahal deskripsi sudah sangat jelas, barang rusak karena kelalaian pembeli, atau barang telah sesuai dengan penjelasan penjual. Dalam kasus semacam ini, refund biasanya menjadi kebijakan layanan, bukan kewajiban yang ditentukan oleh syariat.
Pada akhirnya, prinsip Islam dalam transaksi sangat sederhana: tidak ada satu pun pihak yang boleh dirugikan. Refund merupakan bagian dari penerapan nilai keadilan dan amanah. Apabila barang tidak sesuai atau menimbulkan kerugian bagi konsumen, maka pembeli memiliki hak penuh untuk meminta pembatalan transaksi dan pengembalian dana. Penjual berkewajiban memfasilitasinya dengan jujur, sementara marketplace harus memastikan proses berjalan adil dan transparan. Dengan menjalankan prinsip-prinsip ini, transaksi dalam dunia digital tetap dapat berlangsung sesuai dengan nilai-nilai Muamalah yang menekankan kejujuran, keadilan, dan perlindungan bagi semua pihak.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
