Mahasiswa, Gerakan, dan Politik Moral
Politik | 2023-08-02 07:49:41Mahasiswa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah seseorang yang sedang belajar diperguruan tinggi baik jenjang diploma, sarjana, dan pasca sarjana. Di dalam khazanah ilmu politik modern, mahasiswa kerap disebut sebagai agen perubahan (agent of change), artinya mahasiswa senantiasa menjadi pelopor transformasi sosial-politik di sebuah negara, mendobrak kemapanan status quo menuju sistem politik lebih terbuka dan egaliter.
Hampir disetiap negara peran mahasiswa selalu menjadi lokomotif perubahan. Di negara Eropa Timur di awal tahun 1990-an, mahasiswa bersama kekuatan civil society berhasil menggulung sistem Marxisme-Komunisme, sukses memasukan ideologi kiri itu ke dalam museum peradaban. Sedangkan di negara Amerika Serikat kekuatan muda progresif melibatkan diri ke dalam berbagai gerakan hak-hak sipil antara tahun 1950-an dan 1960-an, mereka menuntut penghapusan diskriminasi rasial serta anti perang Vietnam.
Di kawasan Asia Tenggara, tepatnya di negara Filipina, kekuatan kelompok muda pergerakan di tahun 1986, berhasil melakukan aksi people power mengusir Ferdinand Marcos dari istana Malacanang dengan aksi revolusi damainya, lebih dikenal dengan sebutan revolusi edsa. Sedangkan di Indonesia dipenghujung 1990-an, gerakan mahasiswa berhasil meruntuhkan rezim otoriter-totaliter orde baru telah berkuasa 32 tahun lamanya, kaum muda pergerakan membawa Indonesia memasuki sistem politik lebih demokratis dari sebelumnya.
Aktor Gerakan
Peran sebagai agen perubahan (agent of change) di panggung politik global, menjadi salah satu bukti otentik, bahwa mahasiswa dimana-mana merupakan aktor dari gerakan sosial, pihak selalu berada digarda terdepan memperjuangkan tatanan sosial-politik berkeadilan dan berkeadaban.
Gerakan sosial didefinisikan perilaku kolektif terorganisir dengan baik, dimana para partisipan mempunyai kesadaran serta pertimbangan tertentu, ketika melibatkan diri dalam gerakan perlawanan, memiliki durasi waktu relatif lama dalam memperjuangkan keyakinan politiknya (Sukmana, 2016).
Gerakan sosial umumnya berasal dari kelompok kelas menengah, mahasiswa sendiri merupakan salah satu bagian kelompok itu. Kelas menengah umumnya memiliki karakteristik sangat khas, yaitu mandiri dan kritis. Mereka relatif memiliki independensi dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Kemandirian dibentuk dari adanya kemapanan ekonomi-finansial, sehingga kelas menengah mampu menjaga jarak, serta tidak tergantung pada pemerintah, akibatnya mampu secara jernih dan mandiri menyampaikan kritiknya pada penguasa.
Kritisme dibangun kelompok kelas menengah ini berasal dari tingkat pendidikan relatif tinggi, sehingga mampu mengakses berbagai informasi dan referensi, akhirnya dapat melakukan komparasi antara informasi atau narasi idealisme yang diperoleh dengan realitas sosial disekitarnya. Ketika mereka menemukan adanya ketimpangan, kelompok ini tidak ragu menunjukan sikap politiknya dihadapan alat-alat kekuasaan, meski posisi harus berhadap-hadapan, tidak ada keraguan bagi kelompok kelas menengah memilih jalan berbeda bahkan kontradiksi.
Mahasiswa sebagai aktor gerakan sosial memiliki dua karakter tersebut, yaitu independen dan kritis. Di Indonesia ketika pemerintahan orde baru berkuasa, mahasiswa memiliki dua karakteristik itu, mereka tidak segan bersikap berbeda dengan para elit politik ketika merespon kebijakan pemerintah.
Misalnya ketika pemerintah orde baru menempuh kebijakan membuka investasi dan modal asing diawal 1970-an, alasannya untuk keluar dari inflasi warisan pemerintahan orde lama, para mahasiswa melakukan penolakan keras, aksi mahasiswa ini bukan berarti pro sistem ekonomi sentralistik, tetapi mereka melihat kerugian besar ke depan, bila aturan investasi dan modal asing tidak menguntungkan Indonesia, mereka menuntut regulasi berpihak kepada kepentingan rakyat Indonesia, dengan menjamin adanya alih teknologi dan pembagian keuntungan yang adil (Aly, 2004).
Aksi mahasiswa di awal 1970-an itu bukan anti kebijakan ingin keluar dari krisis ekonomi pemerintahan sebelumnya, tetapi melihat efek jangka panjang, kalau Indonesia terlalu tergantung pada investasi dan modal asing, kita tidak akan menjadi bangsa mandiri dan maju.
Kemudian ditahun 1977/78, kembali mahasiswa menunjukan sikap independen dan kritis, melakukan penolakan terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden, mereka melakukan gerakan dilandasi pemikiran perlunya regulasi membatasi jabatan presiden (dua periode), dengan alasan sistem demokrasi memerlukan pembatasan atas kekuasaan, meskipun ketika itu pemerintah orde baru dinilai sukses membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi warisan orde lama, mahasiswa berusaha untuk berpikir jernih, bahwa kultus individu dalam tradisi budaya demokrasi harus dihilangkan, sebab tidak baik bagi pembangunan demokrasi Indonesia kedepan (Budiyarso, 2000).
Politik Moral
Gerakan mahasiswa meski kerap bersinggungan dengan kekuasaan politik, sejatinya bukanlah gerakan politik praktis. Menurut Soe Hok Gie, intelektual Indonesia alumni Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI), menjelaskan gerakan mahasiswa itu berada dalam koridor gerakan moral, tidak memiliki tujuan politik praktis, seperti merebut kekuasaan politik untuk menjadi penguasa baru.
Gerakan mahasiswa bagi Soe Hok Gie merupakan kekuatan civil society yang menjaga jarak dengan entitas politik praktis, alasannya agar mahasiswa bisa lebih independen melihat berbagai persoalan, tidak dibayang-banyangi kekuataan patron tertentu. Tugas gerakan mahasiswa dianggap selesai ketika berhasil memperjuangkan tuntutannya, mereka kembali ke kampus menyelesaikan masa studinya, sambil mengawasi jalannya pemerintahan dari luar.
Penutup
Mahasiswa tidak lepas dari peran sebagai aktor gerakan sosial, mereka melakukan perubahan menciptakan sistem konstruktif dalam upaya memperbaiki kondisi bangsa dan menegakan nilai bangsa yang tercabik-cabik.
Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA).
Sumber Referensi
1. Aly, Rum. 2004. Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter : Gerakan Kritis Mahasiswa Bandung Di Panggung Politik Indonesia 1970-1974. (Penerbit Buku Kompas, Jakarta).
2. Budiyarso, Edy. 2000. Menentang Tirani : Aksi Mahasiswa 77/78. (PT. Grasindo, Jakarta).
3. Sukmana, Oman. 2016. Konsep dan Teori Gerakan Sosial (Intrans Publishing, Malang).
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.