Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gili Argenti

Gerakan Mahasiswa Pro Palestina di Amerika Serikat

Politik | Monday, 29 Apr 2024, 05:18 WIB
Ilustrasi gambar aksi mahasiswa di Harvard University, sumber : www.rakyatpos.id

Akhir-akhir ini publik dunia dikejutkan oleh gelombang protes masif, yang melibatkan ribuan mahasiswa mendukung kemerdekaan Palestina di negara Amerika Serikat, salah satu negara menjadi sekutu setianya zionis Israel selama puluhan tahun lamanya.

Gelombang protes di negara paman sam sebenarnya tidak hanya terjadi beberapa pekan terkahir, sebelumnya aksi melibatkan ratusan ribu demonstran mendukung kemerdekaan Palestina sudah lama disuarakan kekuatan civil society di jalanan kota-kota besar di negara itu, bedanya saat ini aksi protes melibatkan mahasiswa dan dosen di dalam kampus terkemuka seperti Institut Teknologi Massachusetts, Universitas Negeri Ohio, Universitas Columbia, Universitas Michigan, Universitas Yale, Universitas Harvard, dan perguruan tinggi lainnya.

Aksi-aksi protes mahasiswa atas kebijakan pemerintah Amerika Serikat dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti mendirikan tenda di halaman kampus sebagai simbolisasi tenda-tenda para pengungsi Palestina, menyelenggarakan aksi doa bersama lintas agama dari Islam, Kristen, dan Yahudi mendoakan keselamatan warga sipil Gaza, dan melakukan aksi long march di dalam kampus sambil berorasi, menggunakan kafiyeh, syal, dan atribut-atribut Palestina.

Menariknya peserta aksi tidak hanya berasal dari mahasiswa muslim, tetapi berasal dari berbagai kelompok keagamaan dan komunitas seperti Kristen, Yahudi, aktifis HAM, dan kelompok anti perang. Keterlibatan mahasiswa berasal dari latar belakang berbeda-beda ini, membuktikan bahwa aksi mahasiswa tidak bermuatan anti Yahudi (anti-semitisme), mereka melakukan aksi protes berdasarkan panggilan nurani kemanusiaan atas tragedi genosida di Gaza, yang mengakibatkan korban jiwa lebih dari 34.356 orang, sebagian besar berasal dari kalangan perempuan dan anak-anak.

Terdapat beberapa tuntutan disuarakan para mahasiswa, yaitu (1) menuntut gencatan sejata permanen antara Israel-Hamas, (2) penarikan dana kampus dari perusahaan-perusahaan terlibat dalam pembuatan senjata dan apartheid Israel, (3) memutuskan hubungan kerjasama dengan perguruan tinggi Israel, karena keterlibatannya dalam aksi genosida, dan (4) mendukung berdirinya negara Palestina merdeka.

Merespon aksi mahasiswa kian membesar dari hari ke hari, pemerintah Amerika Serikat melakukan beberapa tindakan represif, berupa penangkapan para aktifis mahasiswa diberbagai kampus, membubarkan aksi demostrasi dengan dalih mengganggu ketertiban umum, merobohkan tenda-tenda solidaritas Gaza di halaman kampus, serta menetapkan kebijakan pembelajaran secara daring (online) untuk mencegah mobilisasi partisipan aksi mendukung Palestina.

Aktor Gerakan Sosial

Di dalam khazanah ilmu politik modern, mahasiswa kerap disebut sebagai agen perubahan (agent of change), mereka berasal dari kelompok kelas menengah yang memiliki karakter kritis dan mandiri, kelompok mahasiswa diberbagai negara senantiasa menjadi pelopor transformasi sosial-politik, mendobrak kemapanan status quo menuju sistem politik terbuka dan egaliter (Sanit, 1988).

Hampir disetiap negara peran mahasiswa selalu menjadi lokomotif perubahan. Di negara Eropa Timur di awal tahun 1990-an, mahasiswa bersama kekuatan civil society berhasil menggulung sistem Marxisme-Komunisme, sukses memasukan ideologi kiri itu ke dalam museum peradaban (Sanit, 1999). Sedangkan di negara Amerika Serikat kekuatan muda progresif melibatkan diri ke dalam berbagai gerakan hak-hak sipil antara tahun 1950-an dan 1960-an, mereka menuntut penghapusan diskriminasi rasial serta anti perang Vietnam (Albach, 1988).

Peran mahasiswa di panggung politik global, menjadi salah satu bukti otentik, bahwa mahasiswa dimana-mana merupakan aktor dari gerakan sosial, pihak selalu berada digarda terdepan memperjuangkan tatanan sosial-politik berkeadilan dan berkeadaban.

Gerakan sosial sendiri didefinisikan perilaku kolektif terorganisir dengan baik, dimana para partisipan mempunyai kesadaran serta pertimbangan tertentu, ketika melibatkan diri dalam gerakan perlawanan, memiliki durasi waktu relatif lama dalam memperjuangkan keyakinan politiknya (Sukmana, 2016).

Gerakan sosial umumnya berasal dari kelompok kelas menengah, mahasiswa merupakan salah satu bagian kelompok itu. Kelas menengah umumnya memiliki karakteristik sangat khas, yaitu mandiri dan kritis. Mereka relatif memiliki independensi dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Kemandirian dibentuk dari adanya kemapanan ekonomi-finansial, sehingga kelas menengah mampu menjaga jarak, serta tidak tergantung pada pemerintah, akibatnya mampu secara jernih menyampaikan kritiknya pada penguasa.

Kritisme dibangun kelompok kelas menengah berasal dari tingkat pendidikan relatif tinggi, sehingga mampu mengakses berbagai informasi dan referensi, akhirnya dapat melakukan komparasi antara informasi atau narasi idealisme yang diperoleh dengan realitas sosial disekitarnya. Ketika mereka menemukan adanya ketimpangan, kelompok ini tidak ragu menunjukan sikap politiknya dihadapan alat-alat kekuasaan, meski posisi harus berhadap-hadapan, tidak ada keraguan bagi kelompok mahasiswa memilih jalan berbeda bahkan kontradiksi.

Solidaritas Palestina

Solidaritas merupakan prinsip antar individu dalam mencapai tujuan bersama di dalam situasi tertentu, melibatkan rasa persatuan, dukungan, dan tanggung dalam menghadapi tantangan atau memperjuangkan kepentingan bersama. Solidaritas mahasiswa di Amerika Serikat pada Palestina, termasuk ke dalam bentuk solidaritas sosial, yaitu memberikan dukungan dan empati terhadap kelompok yang mengalami kesulitan, penindasan, dan ketidakadilan.

Para mahasiswa Amerika Serikat memiliki kemampuan memahami yang dirasakan masyarakat sipil di Jalur Gaza, membuat mereka tergerak hatinya untuk bertindak dan melakukan sesuatu, salah satunya dengan melakukan aksi unjuk rasa damai di dalam kampus. Berikut ini beberapa faktor yang membuat aksi solidaritas Palestina semakin membesar di kampus-kampus terkemuka Amerika Serikat.

Pertama, di dalam teori gerakan sosial dikenal adanya ideologi sebagai pemersatu partisipan gerakan (Kristeva, 2023). Di maksud ideologi disini bukan narasi ideologi-ideologi besar dunia seperti sosialisme, fasisme, konservatisme, anarkisme, dan liberalisme. Ideologi dapat dipahami sebagai perangkat keyakinan dan tindakan sosial dari suatu kelompok masyarakat mengenai terbentuknya tatanan sosial yang dicita-citakan. Perkembangan ideologi kontemporer menunjukan bahwa sekat satu ideologi dengan ideologi lain kian pudar, tidak terdapat garis tegas pemisah, terkadang satu narasi bisa mempersatukan antar ideologi (Heywood, 2016). Misalnya narasi tentang kemanusiaan (humanisme) hampir ada di dalam setiap ideologi, hal ini menjadi titik temu bersatunya para partisipan aksi solidaritas Palestina, meskipun dari latar belakang berbeda-beda, prinsip kemanusiaan telah menjadi bahasa universal.

Di dalam aksi solidaritas Palestina di Amerika Serikat kita bisa melihat secara kasat mata, beragamanya peserta aksi tidak hanya dari kalangan umat Islam atau keturunan arab saja, tetapi mewakili berbagai kelompok sosial, bahkan dari spektrum ideologi politik yang berbeda-beda. Hal ini menjelaskan kenapa isu kemerdekaan Palestina mendapat dukungan luar biasa besar melintasi sekat-sekat primordial, artinya bahasa kemanusiaan telah menjadi satu bahasa universal dalam membela Palestina.

Kedua, teknologi digital mempercepat arus informasi, sehingga peristiwa genosida di Jalur Gaza terlihat langsung oleh publik dunia melalui layar ponsel mereka. Di dalam teori gerakan sosial terdapat prasyarat sebelum aksi kolektif terjadi, yaitu adanya emosi publik relatif sama (Kristeva, 2023). Ketika kita menyaksikan korban sipil berjatuhan sangat banyak terutama dari kalangan anak-anak dan perempuan, semua orang yang menyaksikan itu, dipastikan akan terketuk pintu nurani dan kemanusiaannya. Sehingga melakukan pembelaan dengan turun aksi mendukung kemerdekaan Palestina menjadi keniscayaan.

Ketiga, keterlibatan para partisipan aksi bela Palestina meminjam teori gerakan sosial telah menjadi ekspresif personal, yaitu penemuan jati diri setiap orang yang sangat kuat mengenai pentingnya bergerak menyelamatkan kemanusiaan, partisipan gerakan bela Palestina menyakini tugas sejarah berada dipundak mereka untuk mengakhiri penjajahan zionis-Israel pada bangsa Palestina yang terjadi puluhan tahun lamanya.

Aksi solidaritas Palestina diprediksi semakin menguat tidak hanya di kampus-kampus Amerika Serikat, tetapi diseantero dunia, tindakan zionis Israel harus segera dihentikan, karena melanggar hukum internasional, mereka melakukan pembunuhan secara sistematis. Masyarakat dunia jangan diam menyaksikan pembantaian penduduk sipil Palestina.

Gili Argenti, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA), Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Karawang.

Sumber Referensi

1. Altbach, Philip G. 1988. Dari Revolusi ke Apati Gerakan Mahasiswa Amerika Serikat pada Tahun 1970-an, Altbach, Philip G (editor), 1988. Politik dan Kekuasaan Prespektif dan Kecenderungan Saat ini. (Jakarta, Pustaka Gramedia).

2. Heywood, Andrew. 2016. Ideologi Politik Sebuah Pengantar. (Pustaka Pelajar, Yogyakarta).

3. Kristeva, Nur Sayyid Santoso. 2023. Analisis Sosial Membentuk Kesadaran Kritis. (Pustaka Pelajar, Yogyakarta).

4. Sanit, Arbi. 1988. Politik Mahasiswa di Antara Ideologi dan Institusionalisasi Politik atau Kekuasaan, Altbach, Philip G (editor), 1988. Politik dan Kekuasaan Prespeltif dan Kecenderungan Saat ini. (Jakarta, Pustaka Gramedia).

5. Sanit, Arbi. 1999. Pergolakan Melawan Kekuasaan : Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik (Yogyakarta, Pustaka Pelajar).

6. Sukmana, Oman. 2016. Konsep dan Teori Gerakan Sosial (Intrans Publishing, Malang).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image