Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Faradillah Dewihidayana

Tingkat Kesadaran Pendaki Gunung dalam Menjaga Kebersihan Lingkungan Pendakian

Wisata | 2021-12-29 11:25:48

Pendakian sebagai bentuk penaklukan diri sendiri dan kalangan. Untuk menikmati hidup dengan cara mendekat kepada alam. Fenomena pendaki yang hanya ingin mengikuti tren, tak luput dari sorotan penambahan korban jiwa yang relatif besar akibat kelalaian. Kode etik pendakian yang sering diabaikan menyebabkan tingginya pencemaran di sekitar gunung. Adapun akibat buruknya persiapan, baik fisik maupun materi menjadi penyebab utama banyaknya korban jiwa. Terlebih lagi untuk kalangan pemula yang naik gunung secara asal-asalan, tanpa panduan tepat yang menyebabkan banyak resiko dari sisi alam maupun individu. Sifat individual maupun egois, sudah selayaknya tidak ditanam dalam diri para pendaki karena dapat berakibat buruk.

Pengalaman mendaki gunung maupun melihat dari berbagai media terkait kegiatan pendakian, menjadi daya tarik tersendiri bagi pegiat kegiatan alam, seperti mountaineering (kegiatan yang berkaitan dengan gunung). Mirisnya pendaki yang abai terhadap kode etik, menjadi permasalahan bersama karena dampak yang ditimbulkan bukan hanya terhadap individu, tetapi universal, baik alam maupun manusianya. Pendaki pemula yang melakukan pendakian karena ikut tren, faktanya sedang marak belakangan ini. Kurangnya pengetahuan dari mereka terkait kepencintaalaman maupun kegiatan pendakian menjadi titik fokus timbulnya berbagai permasalahan.

Vandalisme berupa coret-coretan di batuan, papan peringatan, dan sebagainya, tidak seharusnya dilakukan karena mengganggu keindahan maupun kealamian dari objek alam tersebut. Kegiatan ilegal seperti pemetikan bunga Edelweiss, di mana flora tersebut tergolong langka juga menjadi permasalahan. Berbagai alasan yang dilontarkan oleh para pendaki, tentu tidak dapat dibenarkan. Bunga Edelweiss pun sebenarnya sudah mulai dibudidayakan oleh masyarakat sekitar Bromo yang diperjualbelikan sebagai buah tangan ketika berlibur di Bromo, sehingga masyarakat tidak perlu memetik secara ilegal bunga tersebut.

Dampak lainnya yang terkait dengan keselamatan pendaki, yaitu hipotermia. Beragam sebab yang terjadi, hipotermia harus selalu diwaspadai karena berakibat pada kematian. Kurangnya perlengkapan ketika melakukan pendakian, ketidaksiapan fisik, serta minimnya pengetahuan yang dimiliki oleh pendaki pemula, berakibat pada kesulitan mereka untuk mengatasi permasalahan ataupun menangani kendala yang muncul saat turun langsung ke medan pendakian. Semangat mereka untuk menggapai puncak yang tidak diimbangi dengan pengetahuan terkait kondisi alam, juga dapat berakibat buruk. Misalnya, ketika kabut turun cukup tebal, tidak seharusnya melanjutkan perjalanan karena jarak pandang yang dekat, sehingga dapat berakibat tersesat. Sikap individual ataupun egois seharusnya tidak ada di dalam jiwa para pendaki karena dapat berakibat fatal. Solidaritas harus dipupuk sejak awal, di mana ketika naik bersama, turun juga harus bersama tanpa kurang satu anggota pun, sehingga sifat sabar juga harus ditanamkan.

Kegiatan pendakian gunung yang sedang tren menjadi salah satu sarana kebugaran untuk memenuhi kebutuhan olahraga sekaligus rekreasi yang mana kegiatan ini tentunya turut terdampak pandemi COVID-19. Sebelum pandemi, setiap pendaki harus paham mengenai pengetahuan serta seni dalam melakukan pendakian gunung apalagi ketika melakukannya pada masa pandemi seperti ini karena diperlukan tambahan pengetahuan yang terkait dengan protokol kesehatan. Protokol dan prosedur pendakian untuk mengurangi risiko COVID-19 difasilitasi oleh APGI (Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia) dimana tujuannya adalah untuk membantu dan menjaga menjaga para pemandu, porter dan wisatawan pendaki agar tetap aman beraktivitas pada masa pandemi COVID-19. Beberapa protokol wisata pendakian gunung pada masa pandemi menurut APGI (2020) antara lain mendaki dalam kelompok regu kecil yakni 3-4 orang, tetap menjaga kesehatan selama pendakian, membawa dan memakai masker saat berinteraksi dengan orang lain, tetap menjaga tubuh dan peralatan pribadi dalam keadaan bersih (mencuci/menggunakan hand sanitizer, jaga jarak pada saat melakukan tracking, menghindari pinjam-meminjam barang dengan orang lain, mengurangi kapasitas tenda hingga 50%, menghindari kegiatan kebersamaan pada saat di area tenda, dan memahami berbagai risiko yang mungkin dihadapi saat di lapangan.

Pendakian harus dipersiapkan dengan baik, misalnya memakai pakaian dan perlengkapan pendakian yang memadai, serta membawa obat-obatan pribadi. Pengetahuan yang cukup dan sikap ketika mendaki disertai kode etik yang mumpuni sangat diperlukan. Persiapan fisik tidak luput dari catatan untuk melakukan pendakian, supaya kegiatan pendakian dapat berjalan lancar dan tidak membebani rekan satu tim. Selain itu, para pendaki pemula sebenarnya juga dapat meminta bantuan dari relawan, polisi hutan, atau pemandu untuk menemani pendakian. Keselamatan sangatlah penting di dunia pendakian, terlebih lagi di saat pandemi, di mana prokes harus tetap dijaga, anjuran dari tim gunung harus ditaati, serta apabila ada penutupan gunung harus patuh untuk tidak melakukan pendakian ‘jangan ngeyel’. Pengalaman pendakian bukan dari puncaknya, tetapi dari perjalanannya. Jangan mengambil apapun, kecuali foto, dan jangan meninggalkan jejak apapun.

Selasa (30/11) komunikats pecinta pendaki untuk melakukan diskusi dan solusi dari para milenials untuk alam, Acara tersebut banyak dihadiri oleh anak-anak muda dari berbagai komunitas pecinta pendaki, diskusi yang berlangsung sangat apik, mampu membuat anak-anak muda untuk memberikan solusi yang nyata untuk menjaga bumi. Salah satunya ajakan stop menggunakan kemasan plastik sekali pakai, membawa botol minuman sendiri, membawa wadah makanan sendiri dan tolak sedotan. Diskusi ini dibagi dalam beberapa sesi antara lain, Nature and Nature Collaboration, Nature and Life Style dan eco futures and youth. Narasumber yang dihadirkan dari tiga sisi ini, merupakan anak-anak muda yang kreatif inovatif dan memiliki keingan yang kuat untuk menyalamatkan bumi, diantaranya adalah Alfin, Udin, dan Nanda.

Hal yang paling menarik dalam diskusi ini adalah ketika Alfin bercerita bagaimana ia dan teman-teman pegiat lingkungan lainnya mengedukasi warga Jateng untuk tidak lagi menggunakan sedotan plastik dan beralih kepada kemasan tradisional yang biasanya masyarakat Jateng gunakan. Yakni dengan menggunakan daun pisang dan wadah dari anyaman daun kelapa. Selain itu Robi juga mengajak peserta untuk menggaungkan kalimat bawa botol, bawa wadah, stop kantong plastik dan tolak sedotan. Dilain sisi pembahasan, ada Udin dalam Nature and Life Style menyatakan bahwa setiap memproduksi satu baju membutuhkan satu galon air bersih, dan bayangkan jika setiap hari indusrti textile menghasilkan baju dalam tiap kodinya berapa jumlah air galon yang harus dikeluarkan. “Kami selalu menggunakan bahan daur ulang untuk membuat sebuah produk/pakaian baru, profesi kami memulung kain bekas yang tak terpakai di gundang-gundang textil dan kami merancangnya kembali agar masih layak untuk digunakan,” ujar Udin. Sebab bersama perusahaan startup, Evoware, Nanda menciptakan gelas yang dapat dimakan maupun didaur ulang. Dan bahkan menciptakan wadah kopi yang ketika dicelupkan kedalam air panas, wadahnya ikutan larut kedalam air tersebut. Bahan baku dari wadah yang mereka ciptakan ini berasal dari rumput laut. Wadah gelas yang mereka ciptakan dapat memiliki beragam rasa, mulai dari mint hingga memiliki rasa green tea.

Para pendaki juga harus dapat menerapkan prinsip responsibility travel, yaitu jaga alam. Artinya, alam atau gunung tidak hanya harus bersih dari sampah, tetapi juga jangan mengubah kondis alam. Biarkan alam begitu adanya. Lalu, prinsip local economy support, artinya saat berkunjung atau mendaki ke suatu wilayah, kita harus berbelanja atau memanfaatkan jasa ekonomi di masyarakat setempat. Misal, belanja di warung, menginap di homestay, hingga jasa transportasi. Intinya, harus membangkitkan ekonomi masyarakat lokal. Berikutnya, suitanable lifestyle, artinya konsep berkelanjutan atau lestari menjadi gaya hidup, seperti mengurangi penggunaan sampah plastik saat mendaki.

“Tidak seharusya gunung disediakan tempat sampah. Sudah hukumnya, semua yang dibawa pendaki harus dibawa turun. Semua itu dampak dari serba sachet atau kaleng seperti sekarang,” kata salah satu pendaki.

“Pendaki seharusnya berperan sebagai pembawa pesan untuk isu-isu kelestarian lingkungan, kesehatan, maupun pendidikan,” tuturnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image