Sulitnya Menjadi Muslim Uighur
Dunia islam | 2024-11-25 18:00:01Sejak menguasai tanah bangsa Uighur, Rezim Tiongkok telah berupaya untuk menghapus pengaruh Islam dari kehidupan Masyarakat Uighur. Upaya ini semakin masif dilakukan setelah tahun 2014 di mana otoritas Tiongkok di Turkistan Timur melarang Pendidikan agama, menekan para ulama, merusak masjid dan makam-makam suci Islam, melarang hijab, mengontrol penerbitan al Qur’an, mengubah doa dan zikir, menghapus kebudayaan Uighur, dan lain sebagainya.
Otoritas juga mengoperasikan kamp-kamp "re-eduaction," yang oleh banyak pihak dianggap sebagai pusat indoktrinasi massal. Menurut berbagai laporan, di tempat-tempat ini, Muslim Uighur dipaksa meninggalkan keyakinan mereka dan mengadopsi nilai-nilai ateistik yang sesuai dengan ideologi Partai Komunis. Berbagai laporan menunjukkan bahwa mereka diintimidasi, mengalami penyiksaan, dan dipaksa untuk menyanyikan lagu-lagu propaganda atau mempelajari doktrin partai. Kampanye ini secara efektif bertujuan menghapus Islam dari kehidupan masyarakat Uighur, dengan dalih memerangi ekstremisme dan menjaga stabilitas nasional.
Pelarangan Pendidikan Agama
Setelah mencaplok Turkistan Timur, pemerintah Tiongkok telah berupaya untuk menutup madrasah-madrasah dan menghapus Islam dari sistem Pendidikan serta memaksakan doktrin komunis kepada anak-anak Uighur. Selama “Revolusi Budaya” dari tahun 1966 hingga tahun 1976, Islam dikategorikan sebagai salah satu dari “empat kemunduran” dan menjadi target penghapusan. Masyarakat Xinjiang sepenuhnya dilarang untuk mendapatkan pendidikana gama hingga awal tahun 1980-an.
Selama dekade itu, pemerintah Tiongkok memang relatif bersikap lunak terhadap Muslim Uighur. Dalam beberapa Batasan tertentu, mereka diizinkan untuk mengamalkan agama mereka. Kesempatan ini membuat Pendidikan Islam kembali menggeliat di seantero Turkistan Timur. Ulama-ulama Uighur yang selamat dari persekusi rezim menjadikan rumah mereka sebagai sekolah untuk mengajar anak-anak. Orang-orang pun berbondong-bondong mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah Islam (madrasah) berbasis rumah ini. Beberapa orang tua juga mengirim anak-anaknya untuk belajar ke negara-negara mayoritas Islam seperti Pakistan, Mesir, Arab Saudi, dan sebagaimnya untuk menjadikan mereka sebagai ulama.
Khawatir akan kebangkitan ini, rezim Tiongkok kemudian berusaha mencegah kebangkitan kebangkitan Pendidikan Islam yang baru muncul ini di awal dekade 1990-an. Ulama yang mengajar di rumah mereka dan orang tua yang mengirim anak-anaknya untuk belajar di negara Muslim dikenai hukuman. Kemudian pemerintah mendirikan pusat Pendidikan Islam yang dikontrol negara di Turkistan Timur untuk mengawasi Pendidikan berbasis keagamaan. Institusi itu memiliki kuota terbatas untuk mendidik imam dan khatib yang loyal kepada partai Komunis sebagai satu-satunya patai penguasa Tiongkok.
Mulai tahun 2014, otoritas Tiongkok menempatkan para petugas di rumah-rumah warga Uighur untuk mengawasi mereka secara terus-menerus secara 24 jam penuh dan menghilangkan kesempatan bagi orang tua untuk mengajarkan anak-anaknya berbagai ibadah dasar Islam seperti salat dan membaca al-Qur’an. Selain itu, mereka memenjarakan orang-orang yang pernah belajar di negara-negara mayoritas Muslim seperti Pakistan, Mesir, Arab Saudi, dan Turki, serta memaksa mereka yang masih berada di luar negeri untuk kembali ke Tiongkok. Pada tahun 2017, polisi Tiongkok, dengan dukungan pemerintah Mesir, secara paksa memulangkan banyak mahasiswa Uighur dari Universitas Al-Azhar ke Tiongkok.
Tekanan terhadap para Ulama
Di Turkistan Timur, kalangan ulama adalah pihak yang paling dipersekusi rezim Tiongkok. Dari saat awal-awal pencaplokan tanah Turkistan hingga saat ini para ulama selalu menjadi target utama partai Komunis Tiongkok dalam apa yang disebut beberapa pihak sebagai Upaya genosida Uighur. Menurut Uyghur Human Right Project (UHRP), lebih dari seribu ulama telah ditangkap sejak tahun 2014 karena aktivitas mereka dalam mengajarkan agama dan pengaruhnya terhadap Masyarakat yang dianggap bertentangan dengan kepentingan rezim. Konon, sekitar 5% dari mereka yang ditangkap adalah ulama-ulama senior yang telah mencapai usia uzur di atas 60-an. Mereka yang ditangkap kebanyakan dijatuhi hukuman penjara 15 hingga 20 tahun.
Hal ini menunjukan bahwa rezim Tiongkok melihat islam dan amalannya sebagai kriminal dan menganggap para ulamanya sebagai pelaku kriminal. Apa yang mereka anggap Tindakan pidana adalah termasuk pendidikan anak-anak “illegal”, ibadah di tempat yang bukan disetujui pemerintah, memiliki buku-buku agama yang tidak disetujui pemerintah, bepergian ke luar negeri, berhubungan dengan orang luar negeri, ceramah di acara pernikahan atau proses penguburan, dan sebagainya.
Sejak 2017, menangkap atau menghinakan para ulama semakin gencar. Banyak paraulama yang ditangkap kemudian dikirim ke kamp konsesntrasi atau dipenjara. Mereka yang tidak dipenjara dipaksa untuk menyanyi dan menari, memuji paratai komunis di depan khalayak. Partai komunis selalu menyasar para ulama untuk menghapus identitas Islam bangsa Uighur dan mengasimilasikan anak-anak Uighur dengan kebudayaan Han. Konon, kondisi yang ada saat ini lebih buruk dari apa yang terjad selama revolusi budaya.
Pembakaran AL Qur’an
Selama Revolusi Budaya, Partai Komunis Tiongkok banyak membakar Al QUr’an dan kitab-kitab agama islam. Namun ternyata, keadaan seperti ini Kembali menimpa muslim Uighur dan semakin meningkat sejak 2014. Seiring dengan upaya Tiongkok dalam memerangi Islam di Turkistan Timur sejak beberapa tahun lalu, mereka yang tidak secara sukarela menyerahkan buku-buku agama kepada polisi akan mendapat hukuman keras ketika ditemukan. Oleh karena itu, banyak umat islam yang di sana yang kadang-kadang membuang Al Qur’an ke Sungai.
Pelarangan HijabPelarangan hijab di Xinjiang adalah salah satu bentuk kebijakan represif terhadap budaya dan agama Uighur. Kebijakan ini bertujuan untuk membatasi ekspresi keagamaan di ruang publik, termasuk melarang wanita mengenakan hijab, cadar, atau pakaian khas Muslim. Pemerintah mengklaim bahwa pelarangan ini adalah bagian dari upaya melawan radikalisasi agama. Dalam pandangan pemerintah Tiongkok, Jilbab dianggap sebagai sebagai simbol keterbelakangan dan tekanan terhadap perempuan. Oleh sebab itu, pemerintah mendorong perempuan-perempuan Muslim Uighur untuk melepaskan jilbab mereka dan meniru cara berpakain perempuan-perempuan Han yang dianggap sebagai simbol kebebasan dan modernitas. Berbagai upaya dilakukan untuk memuluskan program ini. Salah satunya adalah dengan mengadakan kontes kecantikan yang mengharuskan peserta berdandan dengan memperlihatkan rambut mereka. Banyak pihak mengkritik langkah tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan beragama. Pelarangan ini memaksa wanita Uighur untuk mengorbankan identitas religius mereka demi menghindari diskriminasi atau hukuman.
Pelarangan Bahasa ArabBahasa Arab, yang erat kaitannya dengan Islam, juga menjadi sasaran pelarangan di wilayah Uighur. Larangan ini mencakup pembelajaran, penggunaan dalam publikasi, serta pengajaran di sekolah-sekolah. Hal ini dianggap sebagai bagian dari strategi pemerintah Tiongkok untuk menghilangkan koneksi budaya Uighur dengan Islam global dan menggantikannya dengan pengaruh budaya dan bahasa Mandarin. Dampaknya, anak-anak Uighur tumbuh dengan minim pengetahuan tentang warisan religius mereka, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang hilangnya identitas keagamaan dan budaya dalam generasi mendatang.
Doa dan Zikir DiubahTerdapat laporan yang mengatakan bahwa ada upaya dari rezim Tiongkok untuk mengubah teks-teks doa dan zikir umat Islam. Misalnya, doa-doa yang mengandung pujian kepada Allah diganti dengan ungkapan loyalitas kepada negara atau Partai Komunis Tiongkok. Dalam sebuah laporan yang ditulis Center for Uyghur Studies, disebutkan bahwa umat islam yang dipenjara dipaksa untuk memuji Partai Komunis dan Xi Jinping sebelum makan dan berterima kasih kepada keduanya setelah makan. Praktik ini tidak hanya merusak kemurnian ibadah umat Islam, tetapi juga merupakan bentuk penindasan terhadap kebebasan beragama. Kebijakan ini bertujuan untuk melemahkan keyakinan spiritual masyarakat Uighur sekaligus memperkuat kontrol ideologis negara.
Penghapusan Adat UighurAdat dan tradisi Uighur yang kental dengan pengaruh Islam juga menjadi target penghapusan dalam kebijakan pemerintah. Upacara pernikahan, perayaan keagamaan, hingga praktik budaya lainnya sering kali dilarang atau dibatasi. Sebagai gantinya, adat-adat ini digantikan dengan perayaan yang lebih sejalan dengan budaya Han atau nilai-nilai sekuler. Laporan Amnesty Internasional menunjukan bahwa otoritas Tiongkok melarang ungkapan-ungkapan seperti “Assalamualaikum”, “Alhamdulillah”, dan “Insyaallah” karena dianggap mengandung fanatisme agama. Penghapusan adat ini bertujuan untuk melemahkan rasa solidaritas dan identitas komunitas Uighur, yang pada akhirnya mempercepat asimilasi ke dalam kebudayaan mayoritas Han.
Sinifikasi Islam di UighurSinifikasi Islam adalah proses di mana ajaran dan praktik Islam di wilayah Uighur disesuaikan agar lebih sesuai dengan ideologi dan budaya Tiongkok. Menurut laporan Radio Free Asia, sinifikasi Islam dikenalkan oleh Xi Jinping tahun 2016. Proyek ini menekankan bahwa agama harus menyesuaikan dengan ideologi masyarakat sosialis dan mendukung integrasi keyakinan agama kepada budaya Tiongkok. Hal ini mencakup perubahan pada arsitektur masjid, penggunaan bahasa Mandarin dalam khotbah, hingga pelarangan ajaran-ajaran tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan "nilai-nilai Tiongkok". Proses ini secara perlahan menggantikan bentuk Islam tradisional yang dipraktikkan oleh masyarakat Uighur dengan versi Islam yang telah diubah oleh negara. Sinifikasi ini dipandang sebagai upaya untuk mengintegrasikan Uighur secara budaya dan agama ke dalam identitas nasional China yang lebih homogen.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.