Sikap Rezim Tiongkok Terhadap Masjid-Masjid Uighur
Dunia islam | 2024-11-20 20:48:16Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa pihak seperti Amnesti Internasional dan Human Right Watch melaporkan bahwa pemerintah Tiongkok gencar melakukan pembatasan terhadap kehidupan beragama umat Islam Uighur. Di antara upaya yang paling masif adalah merobohkan dan menjadikan masjid sebagai tempat propaganda rezim. Beberapa masjid bersama tempat-tempat bersejarah lain telah dirobohkan dengan berbagai alasan termasuk perluasan atau renovasi.
Sementara itu, di bawah pengawasan ketat, masjid-masjid lainya yang dulunya menjadi pusat ibadah dan kehidupan sosial komunitas Uighur kini dipenuhi simbol-simbol negara, seperti bendera Tiongkok dan slogan-slogan yang memuji Partai Komunis. Selain itu, khutbah diatur untuk mempromosikan nasionalisme dan loyalitas kepada negara, mengurangi muatan ajaran keagamaan yang biasanya disampaikan di tempat ibadah. Langkah ini adalah bagian dari kampanye "Sinifikasi" agama, yang menuntut komunitas Muslim di Xinjiang untuk mengadopsi identitas nasional yang lebih selaras dengan budaya dan nilai-nilai yang dikendalikan oleh pemerintah Tiongkok.
Penghancuran masjid-masjid di Xinjiang yang dianggap tidak sesuai dengan "standar keamanan" pemerintah, sering kali memisahkan Muslim Uighur dari warisan religius dan budaya mereka. Masjid-masjid yang dibiarkan berdiri sering kali hanya boleh dikunjungi oleh orang dewasa, sementara anak-anak dan remaja dilarang mengikuti kegiatan ibadah di dalam masjid. Perubahan ini membuat masjid-masjid kehilangan peran tradisionalnya sebagai pusat spiritual dan sosial, berubah menjadi tempat di mana komunitas Uighur harus menunjukkan kesetiaan politik mereka alih-alih menjalankan ibadah secara bebas. Tindakan ini telah memicu kritik internasional sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan ancaman serius terhadap kebebasan beragama di Xinjiang.
Berikut ini adalah beberapa sikap rezim Tiongkok terhadap masjid di Xinjiang sebagaimana dilaporkan berbagai sumber.
Pengawasan Ketat di Masjid
Menurut laporan Uyghur Human Right Project (UHRP) tahun 2019, Pemerintah Tiongkok memasang kamera pengawasan dan alat pemantau di masjid-masjid di Xinjiang untuk mengendalikan aktivitas ibadah, pertemuan, dan perilaku umat Muslim. Langkah ini resmi dilaksanakan oleh pemerintahan Tiongkok di bawah dasar menjaga keamanan dan memantau aktivitas ekstrem. Namun demikian, banyak pihak pengamat internasional menilai bahwa pengawasan tersebut merupakan bentuk kontrol yang mengganggu privasi dan kebebasan beragama. Kamera CCTV dan teknologi pengenal wajah digunakan untuk melacak umat yang datang ke masjid, dan data umat disimpan di sistem pemantauan massal.
Mengubah Fungsi dan Isi Ceramah di Masjid
Berbagai pembatasan termasuk yang paling serius dalam hal ini persyaratan yang mengharuskan khutbah-khutbah di masjid-masjid Xinjiang untuk selaras dengan narasi Partai Komunis. Mereka yang diizinkan untuk memimpin masjid-masjid harus secara teratur menyampaikan pidato patriotik dan pesan-pesan pencegahan ekstrimisme, dan dalam beberapa kasus harus melaporkan teks-teks pidato mereka kepada wakil Partai di komunitas mereka. Seringkali isu-isu ini menggantikan pembahasan perbincangan keagamaan tradisional. Menurut sebuah laporan dari Radio Free Asia, yang diterbitkan pada 2017, sejumlah besar imam Uighur telah terpaksa menghadiri kursus pelatihan politik, di mana mereka diajarkan untuk mempromosikan kebijakan Pemerintah dan menghindari topik-topik berbahaya, dan juga untuk “ melaporkan segala sesuatu ” dan mengecam pengajian yang dianggap tidak sesuai dengan pemerintah.
Simbolisme Negara di Masjid
Perubahan desain masjid di Xinjiang untuk menonjolkan simbol-simbol negara dan propaganda politik adalah fenomena yang tercatat dengan jelas dalam laporan-laporan independen. Sebagai contoh, sebuah masjid di Khotan dilaporkan mengalami renovasi di mana gambar Mao Zedong dan Xi Jinping dipajang bersama slogan-slogan seperti “Cintai Partai, Cintai Negara,” menggantikan ornamen Islami yang biasanya menghiasi dinding masjid. Langkah ini juga termasuk pemasangan bendera nasional Tiongkok di puncak masjid untuk menonjolkan identitas negara daripada agama. Selain itu, Wall Street Journal (2019) melaporkan bahwa di beberapa masjid di kota Kashgar, slogan-slogan seperti "Menjaga Harmoni Etnis" dipasang di pintu masuk masjid. Renovasi semacam ini dirancang untuk menghilangkan karakter tradisional masjid Uighur, sehingga mendekatkannya dengan arsitektur modern yang lebih sesuai dengan narasi negara. Pemerintah mengklaim langkah ini sebagai bagian dari modernisasi, tetapi para kritikus melihatnya sebagai upaya untuk menghapus identitas budaya dan religius Uighur .
Mengurangi Akses ke Masjid
Pembatasan akses ke masjid bagi anak-anak dan remaja di Xinjiang adalah bagian dari upaya pemerintah Tiongkok untuk mengurangi tingkat keagamaan di kalangan generasi muda Uyghur. Menurut laporan Human Rights Watch (2019), pemerintah secara eksplisit melarang anak-anak menghadiri masjid atau kegiatan keagamaan lainnya, dengan dalih melindungi mereka dari ajaran ekstremisme. Larangan ini juga mencakup partisipasi anak-anak dalam pendidikan agama yang dilakukan di luar sekolah umum. Sebaliknya, anak-anak diwajibkan untuk menghadiri sekolah-sekolah sekuler yang kurikulumnya dirancang untuk mempromosikan nilai-nilai negara, sehingga menggantikan peran agama dalam Pendidikan.
Selain itu, laporan dari Radio Free Asia (2017) menyebutkan bahwa beberapa masjid di Xinjiang hanya dibuka pada waktu-waktu tertentu dan sering kali memerlukan identifikasi untuk memastikan usia jamaah. Kebijakan ini diperkuat oleh pengawasan ketat melalui kamera CCTV dan petugas keamanan. Langkah ini bertujuan untuk memastikan bahwa generasi muda Uighur semakin terpisah dari tradisi keagamaan mereka, sebagai bagian dari kampanye "deradikalisasi" yang juga mencakup program-program re-edukasi dan Sinifikasi budaya.
Masjid sebagai Objek Wisata dan Simbol 'Modernisasi'
Pemerintah Tiongkok telah mengubah beberapa masjid di Xinjiang menjadi objek wisata sebagai bagian dari upaya "modernisasi" wilayah tersebut. Misalnya, di kota Kashgar dan Hotan, masjid-masjid yang masih berfungsi dialihkan menjadi daya tarik turis dengan memasang elemen seperti bendera nasional dan slogan-slogan politik, menggambarkan keharmonisan etnis dan dukungan terhadap kebebasan beragama. Masjid-masjid ini sering kali kehilangan fungsi aslinya sebagai tempat ibadah yang bebas, dan lebih menjadi sarana untuk mendukung narasi pemerintah tentang stabilitas dan pembangunan di Xinjiang. Dalam konteks ini, simbol-simbol religius digabungkan dengan elemen nasionalistik, seperti bendera Tiongkok yang dikibarkan di masjid, untuk menciptakan citra "persatuan" di tengah tuduhan internasional tentang pelanggaran hak asasi manusia di wilayah tersebut.
Penutupan dan Penghancuran Masjid
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Tiongkok telah membongkar atau menutup ribuan masjid di Xinjiang dengan alasan seperti pelanggaran perizinan atau standar keamanan. Sebagai contoh, di kota Wusu pada 2018, dari 14 masjid, hanya satu yang tetap berdiri, sementara yang lain dihancurkan. Di daerah lain seperti Pichan County dan kota Shihezi, pengurangan jumlah masjid juga terlihat signifikan. Proyek ini dijalankan di bawah kampanye "rectifikasi masjid," yang bertujuan untuk menstandarkan arsitektur dan fungsi masjid sesuai kebijakan Partai Komunis Tiongkok, termasuk menghapus elemen-elemen budaya Islam yang khas yang dianggap bukan budaya Tiongkok.
Penghancuran masjid ini juga berkaitan dengan upaya “sinifikasi” agama, yaitu integrasi nilai-nilai agama dengan budaya nasional yang diatur negara. Bahkan, banyak masjid yang tersisa tidak lagi digunakan untuk ibadah karena telah disekulerkan atau diubah menjadi fasilitas lain seperti kafe atau ruang publik lainnya. Data menunjukkan sekitar 75% masjid yang masih berdiri di wilayah tertentu sudah tidak berfungsi sebagai tempat ibadah aktif. Langkah ini menunjukkan bagaimana ruang keagamaan di Xinjiang secara sistematis dihilangkan atau dialihkan untuk mendukung agenda politik dan sosial pemerintah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.