Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gun Gun Gunawan

Hijab dan Muslimah Uighur: Identitas dan Perjuangan (Bagian 2)

Agama | 2024-11-18 18:49:45
Perempuan Uighur di Xinjiang (Sumber: https://bylinetimes.com/)

Pada periode yang cukup akomodatif, terdapat jenis-jenis penutup kepala yang digunakan oleh Muslimah Uighur. Kerudung pendek adalah yang mudah dijumpai di mana-mana di wilayah Uighur dan sering diasosiasikan dengan identitas dan keanggunan Muslimah Uighur. Gaya, bahan, warna, dan tingkat penutupannya sangat bervariasi. Beberapa kerudung diikat di bagian belakang kepala, menutupi sebagian besar atau seluruh rambut namun membiarkan telinga dan leher tetap terlihat; yang lainnya diikat di bawah dagu, menutupi leher dan telinga namun memperlihatkan dahi dan sebagian rambut.

Dalam beberapa tahun terakhir, dengan masuknya pengaruh tren mode dari Timur Tengah dan Asia Tengah ke Xinjiang melalui televisi, film, media cetak, dan internet, beberapa perempuan Uighur telah mengadopsi hijab, yaitu kerudung satu atau dua lapis yang pas di kepala, menutupi rambut, dahi, dan telinga sepenuhnya, serta sering kali menutupi leher, dada, dan bahu. Penutup kepala yang lebih konservatif secara agama ini dipandang sebagai sesuatu yang asing dan kurang diterima oleh beberapa otoritas Tiongkok meskipun popularitasnya semakin meningkat di Xinjiang dan di seluruh dunia Islam.

Di beberapa kalangan perempuan, hijab juga dipadukan dengan niqab yang menutupi hidung dan bagian bawah wajah. Warna dan gaya niqab ini bervariasi, beberapa perempuan bahkan memakai masker wajah berbahan katun (sering kali dihiasi renda) sebagai dari polusi udara yang tinggi di banyak pusat kota di Tiongkok. Beberapa perempuan Uighur menutup tidak hanya kepala dan wajah, tetapi juga seluruh tubuh, dengan mengenakan jubah panjang atau jilbab, atau gaya jubah longgar lainnya dan cadar yang menutupi hampir seluruh tubuh dan wajah.

Di wilayah Kashgar, beberapa perempuan lanjut usia keluar di depan umum dengan kain kasar berwarna coklat yang dililitkan di kepala, yang dikenal sebagai tor romal (kerudung berjaring), yang dapat ditarik sepenuhnya menutupi kepala dan wajah ketika bertemu dengan pria atau orang asing. Beberapa lainnya mengenakan selembar kain bersulam tunggal (sering kali berwarna putih) yang disampirkan di kepala dan bahu tanpa diikat di dagu atau leher. Perempuan yang mengenakan niqab/chümbäl atau tor romal biasanya disebut dalam bahasa Uyghur sebagai “ropach,” atau mereka yang bercadar secara ketat, dan kelompok ini menjadi sasaran utama dalam upaya anti hijab yang digalakkan oleh rezim penguasa.

Tren berhijab kembali mengalami penurunan pada beberapa tahun berikutnya seiring gencarnya kampanye anti hijab yang dilancarkan rezim Tiongkok. Pada tahun 2013 dan 2014 misalnya, sekitar 30 persen Wanita Uighur pergi keluar rumah tanpa penutup kepala. Sementara itu, perempuan-perempuan usia dibawah 40 tahun dilarang menggunakan hijab selama di sekolah atau di tempat kerja. Namun, hasil penelitian mereka tetap mengenakan hijab saat keluar rumah atau tampil di depan publik.

Konstitusi Republik Rakyat Tiongkok tahun 1982 menjamin hak-hak kelompok minoritas termasuk etnis Uighur dalam hal menjaga dan melestarikan adat istiadatnya serta menjamin kebebasan beragama. Selain itu, konstitusi juga menjamin Xinjiang yang secara resmi dinamai Wilayah Otonomi Uighur Xinjiang sebuah otonomi untuk melindungi dan mengembanhlan warisan budaya mereka. Sayangnya, kebudayaan Uighur sering dibenturkan dengan kebudayaan etnis mayoritas Han yang mana kebudayaan Uighur dianggap sebagai simbol keterbelakangan dan kebudayaan Han dianggap sebagai kemajuan. Akibatnya, beberapa aspek dalam kebudayaan Uighur termasuk hijab dianggap sebagai bentuk keterbelakangan bahkan diasosiasikan dengan ekstrimisme agama. Dalam situasi saat ini, isu-isu yang sebelumnya dianggap sekadar etnis, budaya, atau bahkan bersifat pribadi kini ditafsirkan kembali sebagai tindakan politik dan ideologis yang terang-terangan, yang memerlukan pengawasan dan intervensi lebih ketat dari penguasa.

Ilmuwan sosial berpengaruh yang berbasis di Xinjiang, Li Xiaoxia, pernah menegaskan bahwa penggunaan hijab bukanlah sekadar expresi mode pribadi atau tradisi etnis di Xinjiang, melainkan praktik berbahaya yang mencerminkan situasi politik yang kompleks dan mengancam. Oleh sebab itu, kata dia, pelarangan hijab adalah salah satu tugas terpenting dalam mengawasi aktivitas keagamaan di Xinjiang.

Setelah menjabat sebagai Sekretaris Partai pada tahun 2010, Zhang Chunxian menyerukan promosi “budaya modern” di Xinjiang, termasuk “gaya hidup modern.” Perempuan dari kelompok etnis minoritas (khususnya perempuan Uighur) menjadi sasaran perhatian khusus. Sementara itu, perempuan Han dan gaya busana mereka secara implisit dijadikan standar modernitas. Pejabat di Xinjiang menyatakan kekhawatiran terhadap adanya praktik berhijab, terutama di kalangan perempuan berusia di bawah 30 tahun di daerah perkotaan. Ia menyerukan upaya pelepasan hijab secara mendesak. Federasi Perempuan Xinjiang dalam laporan internal tahun 2011 mengakui bahwa bahkan pejabat pemerintah Uyghur, guru sekolah, tenaga kesehatan, dan mahasiswa kini mulai “membungkus” tubuhnya menggunakan kerudung, jilbab, lengan panjang, dan rok panjang.

Untuk melawan apa yang dianggap sebagai tren kemunduran dan mempromosikan gaya hidup modern, otoritas Xinjiang meluncurkan proyek “Proyek Kecantikan” pada September 2011. Proyek ini, yang berlangsung selama lima tahun dengan anggaran sebesar USD 8 juta, bertujuan untuk memajukan industri mode dan kosmetik di Xinjiang serta menyediakan “pendidikan berkualitas” bagi perempuan di Xinjiang.

Proyek ini bertujuan membentuk “perempuan gaya baru” yang bebas dan tanpa hijab. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah editorial pemerintah pada tahun 2012: “Kerudung dan jubah panjang menutupi keindahan dan pesona perempuan. Tanpa ragu, ini adalah tren yang mundur dan regresif yang menyimpang dari perkembangan modern dan oleh karena itu tidak sesuai dengan keindahan Xinjiang yang luas. Perempuan adalah perwujudan cinta dan keindahan dunia, dan mereka seharusnya menjadi personifikasi keindahan dan duta cinta. Membalut diri tidak hanya tidak menarik, tetapi juga dapat merusak tubuh dan jiwa seseorang. Hati dan jiwa bisa layu akibat terlalu lama berada dalam kegelapan.”

Untuk melancarkan kampanye ini, Federasi Perempuan dan berbagai stakeholder dari Otoritas pemerintah telah menyelenggarakan peragaan busana, pameran, pertunjukan, dan kegiatan propaganda lainnya, di mana perempuan Uighur dan perempuan dari etnis minoritas lainnya didorong untuk memperlihatkan wajah mereka dan membiarkan rambut indah mereka terurai. Di pusat-pusat kota utama, poster edukasi dan pos pemantauan pakaian telah didirikan di lingkungan Uighur, sementara tim inspeksi mencari perempuan bercadar di pedesaan untuk menjalani pendidikan ulang. Berbagai insentif dan hadiah diberikan untuk mendorong pelepasan hijab, termasuk misalnya wisata ke kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai dengan semua biaya ditanggung, dab hadiah kain ätläs berwarna senilai 5.000 RMB (sekitar USD 800).

Sementara itu, editorial di Xinjiang Daily dan surat kabar lainnya mencoba meyakinkan pembaca bahwa niqab, jilbab, dan hijab bukanlah bagian dari tradisi perhiasan atau busana tradisional Uighur. Sebagai gantinya, berbagai gaya lain secara aktif dipromosikan sebagai bentuk keindahan Uighur yang lebih “otentik,” “tradisional,” dan, secara paradoksal, juga “modern,” seperti rambut dikepang, gaun dan rok dari kain ätläs, serta topi doppa beludru atau bersulam.

Dengan segala retorika tentang kesetaraan dan harmoni multietnis di Tiongkok, rezim penguasa berupaya mendefinisikan ulang “cara berpakaian” agar tidak mencakup hijab, tanpa terlihat memaksakan mode dan budaya Han pada perempuan Uighur. Padahal, banyak perempuan Uighur kini melihat penutup kepala sebagai ekspresi bahwa mereka adalah bagian dari komunitas Islam global, bukan sebagai sesuatu yang “tradisional” atau “terbelakang,” apalagi sebagai ciri khas dari budaya Uighur.

Lebih dari sekadar simbol agama, hijab juga menjadi bentuk perlawanan diam-diam bagi perempuan Uighur dalam menghadapi kebijakan asimilasi dan pengendalian budaya yang dipromosikan oleh rezim komunis. Di tengah propaganda yang menekan mereka untuk meninggalkan pakaian tradisional atau Islami dan menggantinya dengan gaya yang dianggap “lebih modern,” hijab berfungsi sebagai simbol penolakan terhadap dominasi budaya. Ini juga memperlihatkan keinginan untuk mempertahankan otonomi budaya dan kebebasan beragama. Seiring dengan meningkatnya kesadaran tentang hak-hak etnis dan identitas agama, hijab bagi banyak perempuan Uighur telah berkembang menjadi tanda solidaritas dengan komunitas Muslim global, menjadikannya simbol yang menyatukan mereka dengan umat Islam lain di dunia dalam semangat identitas dan perjuangan yang sama.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image