Sampah Itu Berkah: Menghayati Kearifan Lokal untuk Mengelola Lingkungan Lebih Baik
Eduaksi | 2024-11-01 10:10:22Selama ini sampah menjadi permasalahan yang tidak kunjung henti dibicarakan, namun tidak banyak orang yang mencari solusi hingga tuntas. Dengan kata lain, sampah selama ini hanya dianggap sebagai masalah justru ketika orang berlomba-lomba membuang sampah tidak pada tempatnya, sehingga sampah menjadi kasus yang tidak ada pangkal dan ujung.
Solusi yang setengah-setengah menjadikan sampah tetap menjadi masalah bukan berkah, padahal yang menciptakan manusia. Seperti halnya di Yogyakarta, akhir-akhir ini kita mendengar, melihat, dan merasakan dampak penutupan TPA Piyungan, semenjak April 2024, dimana-mana terjadi penumpukan sampah. Hal ini menjadi permasalahan ketika permasalahan sampah tidak lagi dikoordinasi antar lintas sektoral ataupun Pemerintah Pusat, tetapi ke Pemerintah Daerah. Sehingga kota Yogyakarta yang dikenal sebagai tujuan pariwisata sekarang menjadi kota destinasi wisata sampah, karena banyak pemandangan sampah di berbagai sudut kota.
Hal ini menjadi dilema manakala ada beberapa daerah yang sanggup mengelola sampahnya sendiri, tetapi ada pula yang belum sanggup mengelola. Akibatnya bisa ditebak, warga di daerah yang belum bisa mengelola, melempar sampahnya ke daerah yang sudah bisa mengelola. Sehingga di beberapa daerah terjadi over sampah, bahkan di TPS tertentu. Masalah lainnya, adalah perubahan iklim menjadi isu yang santer dibicarakan, karena adanya emisi gas rumah kaca, menyebabkan sampah menjadi pangkal permasalahan karena emisi gas metana yang besar. Padahal untuk mengatasi ini solusinya adalah mengolah sampah organik dan anorganik menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis atau bermanfaat.
Belum lagi adanya kendala di bidang pertanian, yaitu kelangkaan pupuk dan pakan ternak. Hal ini memicu timbulnya efek kontradiktif. Seperti yang dijelaskan Ratri dalam tulisan di buku Biologi Lingkungan menjelaskan bahwa pakan dan pupuk menjadi isu sentral dalam pengambil kebijakan sektor pertanian. Hal ini bisa diatasi dengan menggunakan sampah organik sebagai pupuk dan pakan yang zero waste menggunakan teknologi sederhana. Salah satunya adalah menciptakan pupuk dan pakan dari sampah dengan budidaya Maggot.
Budidaya Maggot sekarang ini menjadi trend di mana-mana, manakala permasalahan sampah bukan lagi sebagai permasalahan, tetapi menjadi peluang usaha. Sampah organik yang selama ini juga menjadi pemicu adanya efek gas rumah kaca, ternyata bisa di daur ulang menjadi pakan. Ratri dalam tulisannya berjudul Pemberdayaan Masyarakat Seyegan dengan penggunaan maggot sebagai sarana pengolahan limbah terpadu, menemukan bahwa dalam 1 kg sampah jika dimasuki baby maggot sebanyak 5 g, mampu menghasilkan pupuk sebanyak 0.5 kg dan maggot sebanyak 10 – 12 kg dalam waktu panen sekitar 7 hari. Dalam tulisannya membuktikan bahwa masyarakat setempat sudah mengolah limbah tahunya (terutama limbah cair) bersama dengan sampah rumah tangga menjadi media perkembangbiakan Maggot.
Masyarakat setempat melalui Rumah Maggot Barepan Bangkit (RMBB), mereduksi sampah menjadi pakan Maggot yang menghasilkan pakan berupa Maggot dan Pellet Maggot untuk pakan ternak mereka dan serta pupuk (kasgot dan POC) yang dijual ke pasar dengan harga Rp 5000/kg atau Rp 300.000/karung isi 25 kg. Dalam penelitian yang dilakukan Ratri (2023), bahwa dari budidaya tersebut, sekarang ini masyarakat Barepan sudah mampu memiliki omset sebesar Rp 6.500.000, dari semula tidak memiliki omset sama sekali.
Selain di Barepan, salah satu desa lain yang sudah membudidayakan Maggot sebagai sarana pengolahan adalah desa Canan Margorejo Klaten, di mana warganya bersama Bank Sampah Margoasri, bisa mengolah sampahnya, baik sampah organik menjadi pakan ternak (Maggot) dan sampah anorganik melalui tabungan bank sampah.
Sampah anorganik diolah menjadi tabungan warga, bekerjasama dengan pengepul barang rongsokan. Sampah organik yang sudah diolah menjadi Maggot, kemudian dijual dalam bentuk Maggot fresh kepada peternak ikan atau ungags Unggas. Jika ada kelebihan, Maggot Maggot tersebut diolah menjadi Maggot kering. Harga jual Maggot kering berbeda dengan Maggot basah. Mereka menjualnya per pak dengan harga Rp 10.000/kg, dengan jangka waktu penyimpanan lebih lama dari Maggot Fresh.
Pengelolaan sampah menjadi pakan dan pupuk dapat menjadi pelajaran bagi anak-anak di sekolah, terutama di Pendidikan Dasar. Misalnya tentang: bagaimana siklus hidup Maggot (belajar metamorfosa), belajar pengelolaan lingkungan (belajar pencegahan kebersihan), dan belajar menghargai sesama (belajar menjaga kebersihan alam). Hal ini nantinya bisa dikaitkan dengan pelajaran IPA, Pendidikan Kewarganegaraan, Matematika, SPDB, Kewirausahaan, dan IPS.
Di pendidikan menengah, bisa diajarakan Kewirausahaan dan Ketrampilan (soft skill) yang berguna untuk masa depan mereka, serta mendidik mereka untuk cinta lingkungan sekaligus bisa mandiri sekaligus dan dijadikan sebagai media pembelajaran (misalnya untuk siklus hidup mahkluk hidup dan simbiosis).
Pada sekolah menengah atas, diajarkan selain Kewirausahaan, diajarkan juga dengan konsep digital marketing, sehingga peserta didik dapat mandiri sedari dini dengan menjalankan pemasaran secara digital. Mulai dari pembukuan sederhana, sampai penjualan dengan marketing menggunakan online system dengan pendidikan sedari dini tentang pengelolaan lingkungan, maka diharapkan sampah bukan lagi masalah, tetapi menjadi solusi dan menjadi berkah, karena mampu menciptakan inovasi sederhana untuk ketersediaan pakan dan pangan.
Selain itu dengan diajarkannya pendidikan cinta lingkungan sedari dini, maka diharapkan tidak ada lagi anggapan sampah itu masalah, tetapi sampah adalah tanggung jawab kita bersama. Dengan melibatkan peran serta masyarakat, akademik, dan pemerintah, sampah bukan lagi masalah, tetapi berkah. Oleh karena itu mulai sekarang mari kita melakukan pengolahan sampah agar sampah bukan lagi musibah tetapi cuan yang membawa berkah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.