Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Hukuman di Kotak Suara

Politik | Saturday, 29 Jul 2023, 09:20 WIB

Ada yang menarik dari Pemilu Perancis 12 Dan 17 Juni 2022 lalu. Di negara tersebut, pemilih yang sudah sangat muak dengan keadaan sengaja menghukum rezim dan koalisi berkuasa. Meskipun Emmanuel Macron kembali memenangkan Pilpres sebulan sebelumnya, nyatanya kemarahan rakyat atas Reformasi besar besaran ya ditumpahkan pada Pemilu Legislatif ditanggal 12 dan 17 Juni itu. Koalisi Macron yang berhaluan Liberal Tengah kehilangan kursi mayoritas, yakni 245 Kursi dari 577 Kursi Majelis Nasional. Kurang dari 44 yang dibutuhkan untuk menjadi mayoritas 50%+1. dipepet oleh Blok Oposisi Kiri yang dipimpin oleh Jean-Luc Melenchon yang sebelumnya ikut bertarung dalam Pilpres melawan Macron dan Tokoh Sayap Kanan Konservatif, Marine Le-Pen, dengan meraih 137 Kursi. Ini capaian terbesar partai partai kiri di Perancis dalam waktu 20 tahun terakhir ditambah dengan masuknya Partai Sosialis yang merupakan kejutan di jagad politik di negara Napoleon Bonaparte itu.

Dan, seperti biasa, diantara kita tentu muncul pertanyaan: bisakah hal itu terjadi pula di Indonesia?

Politik di Indonesia sudah lama tak sanggup menyemai harapan. Pemilu gagal menghasilkan politisi-politisi “harapan rakyat”. Sedangkan partai politik, yang mestinya menjadi alat perjuangan, justru menjadi kendaraan segelintir orang penggila kekayaan dan pemuja ketamakan.

Tingkat kepercayaan rakyat Marhaen terhadap politik dan politisi merosot. Berbagai survei menunjukkan, rakyat sudah “patah hati” pada parpol. Katanya, 43,4% orang Indonesia sudah tak percaya parpol. Pada pilkada 2020, tingkat golput juga lumayan yakni 23%, kalau mau dibandingkan dengan perolehan suara partai berkuasa pada Pemilu 2019 yang sekitar 19%, jelas unggul suara golput. Karenanya, di beberapa pilkada, jumlah golput mengungguli perolehan suara sang pemenang.

Situasinya kian diperparah dengan kenyataan: di Indonesia hampir tak ada parpol yang berpanglimakan politik. Untuk kita ketahui, sebagian besar parpol di Indonesia berpanglimakan uang. Tidak ada lagi parpol yang menjual politik, gagasan, dan program. Yang terjadi, parpol berjibaku mengumpulkan uang agar bisa membeli suara rakyat pada saat pemilu.

Politik Indonesia tidak terbelah: kanan, tengah, dan kiri—seperti di Perancis dan Yunani. Politik Indonesia murni beratmosfer sayap kanan yang anti pada kemajemukan demokrasi, Pro Penindasan, Pro Ekonomi Pasar, dan Paranoid pada rakyat yang tertindas. Politik kiri sudah diharamkan sejak tahun 1965-1966. Akibatnya, rakyat Marhaen sulit menemukan alternatif tak kalah yang ‘kanan’ sudah menjenuhkan.

Akan tetapi, jangan kira rakyat Marhaen diam saja. Kita sering mendengar seloroh: “ambil saja uangnya, tapi jangan pilih orangnya”. Inilah gerakan perlawanan yang diam-diam menggerogoti politik uang di Indonesia. Bayangkan, rakyat Marhaen mengambil uang yang dihamburkan sang kandidat, tetapi tak memilihnya pada saat pemilihan umum. Ini bisa disebut bentuk “penghakiman” atau "Hukuman" ala rakyat Indonesia.

Akan tetapi, metode perlawanan itu tidaklah cukup. Rakyat Marhaen harus membangun politik alternatif sebagai ganti politik “kadaluarsa” saat ini, atau minimal memilih Partai Politik yang Program Politiknya bisa menampung aspirasi politik mereka. Rakyat Marhaenharus mengorganisir diri, menciptakan alat politiknya sendiri, dan kemudian melancarkan perjuangan di segala arena: parlemen dan ekstra-parlemen, atau juga memilih Partai Alternatif yang Pro Marhaen Sejati. Sudah tiba saatnya sebuah “partai rakyat” berdiri mewakili suara rakyat Marhaen. Jangan lagi suara rakyat Marhaen dititip kepada partai-partai yang sudah terbukti gagal dan tak punya keberpihakan kepada rakyat Marhaen!.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image